Monday, 28 August 2017

Labirin Kekejaman

Labirin Kekejaman
Aku tahu ketika saat itu tiba kau akan mencariku. Mirip para penjelajah agung, kau akan menafsirkan setiap jejak yang kutinggalkan. Tidak gampang, karena bertahun-tahun aku bungkam, bertahun-tahun aku menyimpan riwayatku di keheningan lereng gunung, di kesunyian ujung tanjung. Mungkin kau tidak akan pernah menemukan aku. Mungkin kau hanya akan memergoki jejak-jejak kaburku.

MEREKA, pada Oktober tanpa tipus atau desentri, mengetuk pintu setiap rumah di Alas, menangkap, dan menciduk secara sembarangan orang-orang yang dianggap berkomplot membunuh para jenderal dalam Tarian Harum Bunga di Lubang Buaya. Para serdadu rahasia yang tidak pernah tercatat dalam kesatuan itu datang seperti wabah. Malam itu, mereka dengan dingin menembak siapa pun yang berlari ke hutan. Mereka juga dengan dingin menusukkan bayonet ke lambung orang-orang malang yang saat diinterogasi menjawab berbelit-belit segala pertanyaan yang merontokkan keberanian.

Jika kau tidak ingin merasakan kekejaman tiada tara, jangan pernah berharap bertemu mereka. Baiklah, jika kau tidak percaya, akan kuceritakan apa yang terjadi pada Magdalena Markini. Hanya karena tidak mau menunjukkan persembunyianku, Magda, kakak perempuanku, dibakar hidup-hidup, di halaman rumah.

Sungguh, sebelum dibakar, kusaksikan dari atas pohon rambutan, seorang serdadu menghajar kepala Magda dengan gagang senapan. Bukan hanya itu. Begitu tersungkur, serdadu yang lain menginjak kepala rapuh Magda dengan sepatu lars, sehingga hidung dan mulutnya penyok.

“Kau sembunyikan di mana Elisabet Rukmini, penari pembunuh itu?” Magda tidak menjawab. Ia membuat tanda salib dengan menempelkan ujung jari di kening, dada, dan kedua bahu, sambil berkomat-kamit.

“Jangan menipu kami dengan pura-pura berdoa!” seorang serdadu menghunjamkan sepatu lars ke dada Magda, “Bukankah telah lama Tuhan telah kalian bunuh? Kenapa sekarang pura-pura memuja-Nya?”

Magda tetap bungkam dan sekali lagi berkomat-kamit. Mungkin dia berharap Kristus akan datang menyelamatkan dirinya pada saat tak seorang pun berani melawan para serdadu bengis itu. Dan Kristus memang telah terbunuh, sehingga tak mungkin turun ke bumi hanya untuk menyelamatkan Magda.

Karena itu, tak ada keajaiban ketika seorang serdadu tiba-tiba berjongkok dan menyundutkan rokok yang masih menyala ke mata Magda. Magda menjerit, tetapi tak satu penduduk kampung mendengar suaranya. Mungkin mereka sudah dibakar juga. Mungkin mereka telah pergi sebelum para serdadu pembunuh tiba.

“Sekali lagi… di mana kau sembunyikan Elisabet Rukmini? Kau tahu apa yang diperbuat adikmu pada 30 September?”

Magda, yang disiksa hanya karena menjadi kakak seorang yang dianggap sebagai pembunuh para jenderal, menggeleng.

“Kau tahu hukuman orang yang menyembunyikan pengkhianat negara?”

Magda tetap menggeleng.

“Baiklah. Sebentar lagi kau akan tahu apa hukuman yang pas untukmu….”

Lalu seorang serdadu mengguyurkan minyak tanah ke tubuh Magda. Mereka membakar tubuh indah kakak perempuanku yang senantiasa merasa hidup sehati dengan Kritus, tetapi tak pernah mendapatkan pertolongan dari Putra Nazareth itu.

Sebenarnya saat melihat Magda berlari ke sana kemari dengan tubuh penuh nyala api itu, aku ingin menjerit. Aku ingin setidak-tidaknya bisa mengalihkan pandangan para serdadu agar mereka tidak terus-menerus menyiksa Magda. Tetapi niat itu kuurungkan. Aku harus hidup. Kelak aku harus mewartakan kekejaman para serdadu bengis itu. Aku tidak mungkin bisa menceritakan apa pun kepadamu jika mereka membunuhku saat itu.

Karena itu, apa boleh buat aku harus menyaksikan tubuh Magda pelan-pelan jadi abu dan debu. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu para serdadu pergi. Sambil menunggu aku tidak berdoa untuk keselamatanku. Tubuh Magda yang pelan-pelan meleleh, mata yang tak bisa berteriak saat disundut rokok, atau bibir yang mengatup saat bayonet ditusukkan ke lambung itu, bagiku cukup menjelaskan Kristus berada di pihak mana?

BULAN tidak menyala di ujung hutan saat aku meninggalkan kampung yang terbakar itu. Karena itu, setelah turun dari pohon rambutan, aku berlari menembus jalanan gelap yang berlawanan dari arah para serdadu pergi. Meskipun demikian, aku tahu ke mana harus melesat, ke mana harus mencari keselamatan.

Hanya, tidak mudah dalam kegelapan yang teramat pekat, aku menemukan tempat persembunyian. Sebab untuk mencapai persembunyian teraman, yakni sebuah gereja di seberang desa, aku harus menembus puluhan kebun mawar penuh duri, menyeberang sungai cukup deras, dan menyusup ke gua penuh kelelawar.

Penderitaanku sepertinya melebihi kesakitan Kristus. Agar sampai ke tiang salib, tiang penyelamatan Allah untuk putra terindah, Kristus memang harus mengenakan mahkota duri. Tetapi aku? Seluruh tubuhku harus ditancap ribuan duri runcing agar sampai ke sungai itu.

Cukup lama aku harus terjebak dalam keindahan kebun mawar yang menyakitkan itu. Cukup lama karena setiap bisa menembus satu kebun, aku harus menembus kebun mawar yang lain.

Pada saat seperti itu, pikiranku sudah melesat ke gereja. Aku bertemu dengan Romo Sindhu dan segera memberi tahu segala hal yang telah terjadi pada Magda. Aku bilang pada paderi santun itu betapa Kristus tidak berkutik di hadapan para serdadu yang bengis dan begitu digdaya.

Akan tetapi, nyatanya, tubuhku masih terjepit di kebun mawar berduri. Jika beberapa saat lagi aku bisa melepaskan diri dari jebakan kesakitan dan keindahan ini, aku juga masih harus berenang di sungai deras dan dingin. Jika sungai itu bisa kutaklukkan, belum tentu aku bisa menyusup gua tanpa obor.

Jadi, memang rasanya mustahil mewartakan kekejaman serdadu kepada orang lain. Sebab jika bisa keluar dari jebakan gua, tidak mungkin para serdadu rahasia dari kesatuan lain membiarkan aku melenggang ke gereja Romo Sindhu.

Meskipun demikian, aku yakin Romo Sindhu menantiku dengan sabar. Romo Sindhu akan sabar pula mendengarkan seorang perempuan yang terluka mewartakan kabar tak menggembirakan tentang sebuah kampung yang terbakar dan puluhan warga yang dihajar serdadu dalam kegelapan.

AKU terjun ke sungai tepat ketika puluhan ular keluar dari lubang persembunyian. Ular-ular itu hendak bermigrasi ke lubang-lubang lain. Aku tak bertanya kepada ular mengapa mereka harus berpindah dari hilir ke muara. Dan karena tidak ingin bersentuhan dengan ular-ular menjijikkan yang hanyut di permukaan air, aku memilih menyelam dan sesekali menongolkan kepala untuk menghirup udara.

Rupa-rupanya ular-ular itu tidak disusupi oleh iblis atau Lucifer, sehingga mereka tidak berhasrat menggoda keturunan Hawa. Bahkan karena pada saat sama mereka memiliki keinginan lain, sedikit pun mereka tidak berkehendak memagut atau membelit tubuh manusia yang telah terluka. Karena itu sambil menahan perih, aku terus menghanyutkan tubuh hingga mencapai ujung, hingga mencapai bibir gua.

Kau tahu, di bibir gua itu, air tak lagi mengalir dengan deras. Sungai di bawah gua juga tidak ganas. Ini memudahkan aku melewati jebakan terakhir dengan sedikit tenang. Meskipun demikian, aku tidak boleh lengah. Di tengah gua yang dialiri sungai di bawah tanah itu, aku pernah mendengar dari para penjelajah, ada pusaran air yang bisa menyedot siapa pun hingga ke kedalaman 20 meter. Jika aku tidak beruntung, bukan tidak mungkin tubuhku akan tersedot dan akhirnya terjepit di gorong-gorong gua.

Hanya, kau pun tahu, gua tidak akan menyakiti siapa pun yang menjelajah rongga-rongga tubuhnya jika mereka patuh pada aturan-aturan yang seakan-akan telah diguratkan di dinding-dindingnya.

Pertama, jangan pernah meneriakkan kata-kata konyol ketika berada di zona kegelapan abadi yang tepat berada di pusat gua. Kata-kata yang kemudian bergema berulang-ulang itu hanya akan membingungkan dan akhirnya berubah jadi dengung yang menyiksa telinga. Jika telinga sudah tersiksa, kau akan bingung, dan akhirnya mencoba menghindar dengan menyusup ke kedalaman sungai di bawah tanah. Pada saat itulah kau tidak tahu pusaran air akan menyedot dan menenggelamkanmu.

Kedua, jangan pernah membunuh segala satwa yang ada di dalam gua. Para satwa sangat peka dan tahu siapa yang berbuat jahat kepada mereka dan sanak saudara. Jika yang kausakiti seekor ular, ular itu akan menyimpan wajahmu di matanya. Sanak saudara ular akan bisa melihat wajahmu di mata ular yang terbunuh sehingga dalam waktu singkat mereka akan memburumu. Ke ujung dunia kau pergi, ular-ular itu akan menguntitmu.

Ketiga, jangan membawa dan meninggalkan apa pun di dalam gua. Kau jangan berhasrat memotong stalaktit atau stalakmit, karena pada saat sama batu-batu runcing itu akan berhasrat menusuk lambungmu.

Karena itu dengan rasa hormat pada segala yang hidup di dalam gua, aku berenang di sungai bawah tanah itu. Aku hafal lekuk liku gua karena sejak kecil bersama teman-teman sebaya, telah berulang-ulang melintasi keindahan alam berjarak kurang lebih 350 meter itu untuk sampai ke gereja Romo Sindhu.

Pada waktu kecil, kami seperti menemukan surga ketika bisa menembus gua itu. Dan selalu sesudah itu Romo Sindhu bilang kepada kami, “Ya, kalian telah menemukan surga!”, sehingga kami berulang-ulang berlomba-lomba menuju ke gereja Romo Sindhu ketika hari Minggu tiba.

Apakah aku akan sampai di ujung gua? Aku tidak tahu. Aku hanya merasa Romo Sindhu dengan wajah berbinar menyambut kedatanganku.

DULU pada usia 12 tahunan, setelah aku berhasil menyembul dari sungai di bawah gua, Romo Sindhu bertanya kepadaku, “Apa saja yang telah kau lihat di dalam gua, Elisabet Rukmini?”

“Aku tidak melihat apa-apa, Romo, kecuali kelelawar dan kegelapan?”

“Kau tidak melihat pahatan tubuh Kristus tersalib?”

“Aku tidak melihat tubuh Kristus, Romo.”

“Kau tidak melihat tubuh Magda dewasa dibakar oleh para serdadu?”

“Aku tidak melihat tubuh Magda, Romo.”

“Kau tidak melihat tubuh dewasamu diburu oleh para serdadu?”

“Aku tidak melihat tubuhku, Romo.”

“Kau tidak melihat semua yang akan terjadi telah diguratkan di dinding gua?”

“Aku tidak melihat semua yang akan terjadi tergurat di dinding gua, Romo.”

“Sungguh?”

“Sungguh, Romo.”

Romo Sindhu tidak marah mendengar jawaban-jawabanku saat itu. Ia mengusap rambutku dan berbicara lirih sekali, “Kelak kau akan melihat semua yang telah tergurat di dinding gua jika waktunya telah tiba.”

LALU, apa yang sesungguhnya kulihat di dalam gua pada Oktober 1965 yang perih itu? Mungkin karena halusinasi, aku seperti melihat tubuhku disalib oleh para serdadu bengis. Mereka beramai-ramai menusukkan bayonet ke lambung, hingga tubuhku terkulai, hingga aku tidak mampu berbuat apa pun.

Tidak kupedulikan pahatan-pahatan aneh itu. Aku hanya ingin segera bertemu Romo Sindhu, paderi yang tampak tidak pernah uzur itu. Aku hanya ingin tersungkur di halaman gereja dan berharap Romo Sindhu membopongku sebagaimana Bunda Maria melakukan hal sama pada tubuh Kritus yang terkulai tak berdaya.

Akan tetapi, nyatanya, aku masih harus melewati sedotan air di zona kegelapan abadi. Sedotan itu sungguh tidak terhindarkan sehingga tidak ada gunanya mengingat apa pun yang layak kita sebut sebagai kehidupan. Pada saat kritis semacam itu, aku hanya percaya pada kata-kata ibuku: ngelia ning aja keli, ikutilah arus, tetapi jangan sampai hanyut.

Karena itu, aku tidak melawan pusaran air. Kubiarkan tubuhku disedot. Kubiarkan tubuhku dilemparkan ke permukaan. Kubiarkan arus yang tenang membawaku ke bibir gua, bibir yang mendekatkan aku pada gereja Romo Sindhu.

AKU merangkak untuk sampai ke pintu gereja. Aku mengetuk keras-keras pintu itu agar Romo Sindhu bergegas membuka dan membopong tubuhku yang tidak berdaya. Akan tetapi seperti tak ada kehidupan di gereja itu. Seperti tak ada yang mendengar ketukanku di pintu yang telah rapuh itu.

“Romo, buka pintu! Tolong aku!”

Tetap tidak ada sahutan dari dalam.

DI MANA paderi terindah itu sekarang? Mengapa dia justru meninggalkan aku pada saat kubutuhkan? Sebagaimana Kristus meninggalkan Magda, mengapa Romo Sindhu juga meninggalkan aku pada saat aku begitu berhasrat memohon pertolongannya?

Jawabannya sungguh di luar dugaan. Begitu pintu yang ternyata tidak terkunci bisa kubuka, aku melihat kepala Romo Sindhu pecah berlumur darah. Matanya yang mendelik ke arahku seakan menahan kesakitan.

Aku tahu: beberapa orang pasti telah menghajar Romo Sindhu dengan sangat kejam. Darah juga mengucur dari lambung Romo. Itu berarti seseorang telah menusukkan semacam tombak atau bayonet atau lembing ke lambung Romo yang rapuh. Dada Romo juga hancur. Seseorang—mungkin lebih—pasti telah menginjak tubuh ramping Romo dengan hentakan sepatu lars yang keras.Yang mengejutkan zakar Romo juga dihabisi. Tampaknya ditembak dari jarak dekat, sehingga zakar itu kocar-kacir.

Kekejaman itu mungkin telah terjadi cukup lama sehingga begitu banyak lalat merubung mayat Romo Sindhu. Tentu saja aku kehilangan senyum Romo Sindhu. Mulutnya penyok. Giginya rompal.

Mayat Romo Sindhu memang belum membusuk. Akan tetapi siapa pun yang melihat, tidak akan sanggup menghindar dari kemualan yang menyodok-nyodok perut. Mayat itu begitu menjijikkan. Mungkin Kristus pun tidak akan sanggup menahan kematian yang mengenaskan itu karena para pembunuh menghabisi Romo Sindhu seperti membantai seekor kambing.

ENGKAU mungkin mengira para iblis sengaja berkomplot menyerbu desa itu untuk membunuh Romo Sindhu. Aku tidak percaya sangkaan semacam itu. Aku punya kesimpulan lain. Mungkin sebagaimana Magda tidak mau membocorkan di mana persembunyianku, Romo juga tidak mau menunjukkan di mana umat-umat yang dicurigai terlibat sebagai pembunuh para jenderal itu berada. Dan karena Romo Sindhu bungkam, para serdadu itu membunuhnya. Ya, sesederhana itu perkiraanku.

Mungkin dugaanku salah. Akan tetapi jika melihat luka-luka di sekujur tubuh Romo Sindhu yang teramat mirip dengan luka-luka Magda, aku yakin pembunuh mereka berdua berasal dari kamp latihan yang sama. Itu berarti jika pembunuh Magda tak kurang dan tak lebih adalah para serdadu, maka pembunuh Romo Sindhu pun tak jauh-jauh amat dari lembaga ketentaraan.

Tentu saja jangan kau tanyakan dari kesatuan mana para serdadu itu. Kehadiran mereka yang bagai wabah jelas tidak tercatat di dokumen mana pun. Para pengadil kejahatan perang tak akan bisa menghukum para petinggi militer karena memang tidak ada satu catatan pun yang mampu melibatkan mereka sebagai otak pembunuhan paling keji di negeri ini.

Lalu, siapa yang membunuh Romo Sindhu? Saat itu tak seorang pun tergerak untuk menjawab. Jika tahu jawabannya pun, mereka tidak akan pernah mewartakan kabar pembunuhan itu kepada orang lain. Pengetahuan tentang pembunuhan, kau tahu, hanya akan berputar-putar di hati dan terkubur bagai mumi.

JADI apa yang bisa kulakukan saat itu? Tak ada. Tindakan ajaib tidak pernah dimiliki oleh perempuan rapuh. Kemenangan dan kedigdayaan dikuasai oleh mereka yang mempunyai senapan dan sepatu lars, sehingga mustahil aku bisa mengubah dunia hanya bermodal keinginan untuk mewartakan kekejaman para serdadu kepada orang lain yang telah kehilangan telinga.

Karena itu lebih baik aku tidak perlu berbuat apa-apa. Aku akan pura-pura mati sehingga ketika para serdadu tiba, mereka tidak perlu capai-capai membunuhku.Ya ya, ini pilihan cerdas. Sebagaimana macan bodoh yang tak mengendus mangsa tak berdaya, para serdadu tidak akan menjamahku. Aku tahu para serdadu akan beringas jika mereka berhadapan dengan mangsa yang juga beringas.

Tetapi untuk pura-pura mati bukanlah pekerjaan gampang. Aku harus bisa mengatur napas agar tidak menimbulkan deru. Aku harus mengatur detak jantung agar tak seorang pun mendengarkan bunyinya yang gaduh.

Dan sial, sebisa-bisa kulakoni kepura-puraan itu tetap saja aku gagal menahan kentut. Entah akibat suara kentut atau memang telah lama para serdadu mengintip seluruh gerak-gerikku, mereka tiba-tiba muncul dari persembunyian dan beradu cepat mengepungku.

“Kau tidak perlu bersembunyi lagi! Kau tidak punya lagi kesempatan untuk lari!”

LARI? Ke mana harus berlari? Pikiranku mungkin bisa berlari, tetapi tubuhku mustahil digerakkan untuk sekadar merangkak. Karena itu, kuputuskan untuk diam saja. Aku yakin begitu aku mematung, para serdadu akan bergeming. Mereka tidak akan menusukkan bayonet ke lambungku. Mereka tidak akan menyundutkan rokok ke mataku. Mereka tidak akan menginjakkan sepatu lars ke wajah sehingga mulutku tidak penyok dan gigi tidak rompal.

“Namamu Elisabet Rukmini?”

Aku diam.

“Namamu Elisabet Rukmini? Jangan sampai kami salah membunuh!”

Aku tetap diam.

“Sekali lagi namamu Elisabet Rukmini? Kau tak ingin kami membunuhmu bukan? Ayo jawab?”

Tak ada gunanya menjawab pertanyaan itu. Aku tahu mungkin mereka memang tidak diperintahkan membunuhku sehingga tidak perlu aku mematuhi gertak sambal sialan itu.

Pada saat-saat seperti itu aku justru punya kekuatan. Kekuatan meredam amarah. Kekuatan untuk tidak melawan kekejaman.

Apakah salah tidak melawan kekejaman?

Aku tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Dijawab atau tak dijawab tetap saja salah seorang serdadu menggebuk tengkukku dengan gagang senapan hingga aku pingsan, hingga aku tak tahu ke mana mereka mereka menyeret tubuhku.

Kekejaman telah menjelma kekuatan yang tidak bisa dilawan, sehingga akan sia-sialah siapa pun yang berusaha mencekik kedigdayaannya. Karena itu, setelah siuman, aku tak peduli lagi pada apa pun yang terjadi. Aku tak takut lagi pada senapan atau sepatu lars yang mengancam. Aku tak takut lagi pada tusukan bayonet di lambung. Aku tak takut lagi apakah dalam semenit atau lima menit ke depan aku masih bisa bernapas atau memimpikan kebebasan.

Sungguh, saat itu aku benar-benar tak takut lagi mendengar hentakan sepatu lars dan senapan yang dikokang. Aku tak takut pada ketakutan. (*)

Related Posts

Labirin Kekejaman
4/ 5
Oleh