Koruptor atau bukan, ada baiknya kalian menyimak cerita anjing Pak Kor ini. Setiap orang punya nasibnya sendiri-sendiri, tetapi kalau ada anjing yang nasibnya lebih beruntung dari manusia, sudah sepantasnya kalau kami iri.
Sebleh, seorang pemulung, menemukan anjing yang sekarat di tempat pembuangan sampah. Tubuh anjing itu bobrok oleh borok, belepotan lumpur penuh kutu dengan kepala belepotan darah terkena bacokan. Begitu menyedihkan anjing itu, sampai maut pun tak berani mendekat. Sebleh membawa anjing itu bukan tersebab kasihan, tapi karena ia berpikir bisa menjual anjing itu ke penjual daging anjing. Sebleh mengikat kedua kaki anjing itu, kemudian berhari-hari menjemurnya di atap seng, berharap luka penuh kutu di kulit anjing itu mengering dan ia bisa menjualnya dengan harga sedikit mahal. Kalau pun tak laku, ia bisa menyembelih anjing itu untuk anak istrinya yang belum tentu setahun sekali makan daging.
Tempat tinggal Sebleh mendempet tembok belakang kediaman Pak Kor. Sebenarnya satpam rumah Pak Kor telah berkali-kali menyuruh Sebleh membongkar rumah liarnya itu. Karenanya Sebleh begitu gugup ketika melihat Pak Kor muncul. Ia langsung pasang wajah mengiba, berharap Pak Kor tak mengusirnya. Ternyata Pak Kor bertanya soal suara anjing yang didengarnya terus-menerus mengerang sepanjang malam. Sebleh menunjuk anjing yang dua hari lalu ditemukan itu. Siang begitu terik, dan anjing itu terus menguik menggeliat kepayahan di atas seng panas seperti digoreng hidup-hidup. Wajah Pak Kor terlihat begitu terguncang. Lalu tanpa banyak cing-cong mengeluarkan uang dari dompetnya, 500 ribu, langsung diserahkan pada Sebleh. “Biar anjing ini saya rawat,” kata Pak Kor.
Mendapat rezeki nomplok yang sama sekali tak diduganya, Sebleh langsung membungkuk-bungkuk dan setelahnya tak henti-henti menceritakan kebaikan Pak Kor pada tetangganya. “Kalau saya jual ke warung sengsu, paling dapat lima puluh ribu,” kata Sebleh. “Benar-benar beruntung kita punya tetangga sebaik Pak Kor. Meski kaya, beliau tidak sombong. Ia masih mau menyempatkan menengok kita yang begini melarat. Kalau semua orang kaya di negeri ini sebaik Pak Kor, pasti enggak ada orang miskin yang kelaparan.”
Hari itu, dengan uang pemberian Pak Kor, Sebleh langsung pergi ke restoran Padang yang terkenal paling enak. Sebleh mengembat empat potong rendang sekaligus, membawa pulang banyak lauk-pauk untuk anak istrinya. Tapi tak membagi secuil pun untuk tetangganya.
***
Empat bulan berselang, Sebleh terkejut ketika berpapasan dengan Pak Kor yang sedang berjalan-jalan menuntun seekor anjing yang terlihat begitu ceria. Sesekali anjing itu menyalak riang, dan berlarian kecil mengitari Pak Kor yang tertawa gembira. Sebleh sama sekali tak menyangka, anjing yang beberapa waktu ditemukan nyaris koit itu kini terlihat begitu sehat. Tak pernah Sebleh melihat wajah anjing yang begitu bahagia. Kulitnya coklat bersih, tak ada lagi kutu atau bekas luka, dan matanya begitu jernih penuh syukur dan terima kasih.
Penampilan Pak Kor juga menjadi terlihat lebih gembira, tak tampak kalau ia sudah berumur 60 tahunan. Rambut klimis rapi, tubuh sigap seperti orang yang rajin olah raga; warna sepatu, celana sepertiga kaki dan kaos polo coklat cerah yang dikenakan seperti sengaja diserasikan dengan warna bulu anjing itu. Pak Kor dan anjing itu benar-benar pasangan yang modis.
“Terima kasih telah membuat saya bertemu dengan anjing ini,” ujar Pak Kor. “Perasaan bahagia telah bisa menolongnya membuat saya merasakan sesuatu yang berharga dalam hidup saya. Setiap kali menolong, sebenarnya kita sedang menabung kebahagiaan.” Lalu Pak Kor bercerita, bagaimana ia telah membawa anjing itu ke dokter agar mendapat perawatan terbaik.
Wajah Sebleh hanya cemberut ketika mendengar berapa biaya yang dihabiskan Pak Kor untuk kesembuhan anjing itu.
“Ternyata selama ini saya keliru menilai Pak Kor,” kata Sebleh pada istrinya. Sembari berbaring di tikar, pandangan Sebleh menerawang ke atap seng rombeng bolong-bolong hingga sinar bulan yang lembut menyelusup masuk, membuat kamar petak tak berlistrik itu sedikit mendapat limpahan cahaya. Sementara istrinya duduk bersimpuh sembari menyisir rambut.
“Emang kenapa?”
“Kalau dipikir-pikir, Pak Kor itu bukan orang yang baik, tapi orang yang suka pamer.”
“Kok bisa gitu?”
“Bayangin, kenapa dia mesti ngabisin banyak duit buat nyelamatin itu anjing? Kalau emang dia bener-bener dermawan yang berniat menolong, yang mestinya ditolong ya hidup kita ini, bukan anjing buduk itu!”
“Ah, jangan gitu. Sebaik-baik nasib anjing pastilah masih lebih baik nasib manusia.”
“Kalau keadaannya begini, saya rela bertukar nasib dengan anjing itu. Setidaknya anjing itu kini hidupnya jauh lebih nyaman. Tinggal di rumah mewah. Tiap hari dapat makan enak. Kabarnya kalau makan daging pun selalu daging impor. Kamu tahu, berapa biaya makan untuk anjing itu? Bisa buat biaya makan kita berbulan-bulan. Baru sakit sedikit saja, Pak Kor langsung membawa anjing itu ke dokter. Padahal kamu tahu sendiri, itu Mak Jumi, yang rumahnya di pojok gang itu, sudah bertahun-tahun tergolek digerogoti bermacam penyakit, jangankan ke dokter, beli sebiji obat pun kagak mampu. Nah, kalau memang Pak Kor berniat menolong, kenapa enggak membawa Mak Ijah ke rumah sakit, kenapa malah menghambur-hamburkan uang buat ngobatin anjing yang mungkin hanya masuk angin. Dikerokin juga sembuh!”
“Masa anjing dikerokin.”
“Saya baru ngerti, selama ini Pak Kor sebenarnya sedang meledek kita. Menolong anjing itu hanyalah caranya pamer kekayaan. Sekarang saya benar-benar merasa terhina karena dia telah ngasih 500 ribu buat kita, sementara dengan enteng dia menghambur-hamburkan puluhan juta buat anjing itu.”
“Sudah, jangan marah-marah terus,” istrinya berbaring pelan. Bau keringat istrinya membuat Sebleh menarik nafas dalam-dalam. Lalu beringsut merapatkan tubuhnya. “Makanya, jangan cuman doyan kawin kayak anjing…” Istrinya cekikikan geli. Setelahnya cahaya lembut bulan yang menyelusup kamar terasa gemetar oleh nafas keduanya.
***
Di antara semua penyakit hati manusia, perasaan iri selalu lebih gampang cepat menular. Nasib baik anjing itu seperti pelan-pelan tapi merancap dalam, membuat sayatan panjang yang melukai perasaan kami, menimbulkan perasaan lengang yang semakin lama membuat kami bertambah merana karena telah bertahun-tahun hidup berdesakan di perkampungan yang tak hanya sumpek tapi juga bertambah busuk, sementara anjing itu bisa secepat kilat hidup serba berkecukupan di rumah megah Pak Kor.
Anjing itu mendapatkan semua kemewahan hidup yang tak mungkin dinikmati oleh orang miskin seperti kami. Sudah sepantasnya kami merasa iri pada anjing itu, yang setiap pagi terlihat meloncat-loncat riang ketika Pak Kor hendak berangkat kerja dengan mobil mewahnya.
Orang-orang kini sering menyebut anjing Pak Kor sebagai anjing paling bahagia di dunia. Secara berkelakar, kadang kami membandingkan nasib anak-anak kami dengan anjing Pak Kor. “Semoga anak-anak kita kelak seperti anjing Pak Kor.” Dan kami tertawa, antara nyengir dan getir. Ada lagi kejadian, seorang anak dimarahi ayahnya karena setiap hari hanya malas-malasan, “Mau jadi apa kamu kalau nggak mau belajar?!” Dengan enteng anak itu menjawab, “Mau jadi anjing Pak Kor,” lalu anak itu meloncat-loncat sambil menirukan gongongan anjing: guk guk guk. Kalian bisa bayangkan perasaan ayahnya. Membanding-bandingkan hidup kami dengan nasib baik anjing itu hanya kian menimpulkan perasaan sakit dan terhina.
Beberapa orang sudah merencanakan niat, dengan berbagai cara, untuk mencelakai atau sekalian membunuh anjing itu. Tapi sebagian dari kami mengingatkan, agar jangan cari masalah dengan orang kaya itu. Bagaimana pun kita tak boleh melupakan kebaikan Pak Kor, kata Pak RT mengingatkan, ketika suatu malam duduk-duduk di gardu ronda bersama beberapa warga. Ingat, setelah banjir tahun lalu, siapa yang langsung memperbaiki jalan di depan gang kita yang rusak penuh genangan air itu? Pak Kor, kan! Tiap menjelang Lebaran rumah Pak Kor juga terbuka buat kita, kita selalu diundang makan-makan dan dapat pembagian beras, meski pun cuma beras miskin. Tiap kampung kita ada acara, dari tujuhbelasan sampai perayaan Mauludan, Pak Kor juga selalu ngasih sumbangan.
Benar yang dikatakan Pak RT, bagaimana pun Pak Kor orang yang baik. Kami ingat, dulu sewaktu masih kuliah, Pak Kor juga tinggal sekampung dengan kami. Ia kuliah sambil bekerja serabutan apa saja. Orangnya memang yang ulet dan pintar melihat peluang sekaligus ramah. Keramahan itulah yang membuat nasibnya cepat berubah. Lalu ia pelan-pelan mulai membangun rumahnya, dari rumah sederhana kemudian membeli tanah di sekelilingnya, sampai kini rumah itu menjadi rumah paling mewah di kampung kami. Mengingat kisah hidup Pak Kor kami menjadi bisa memahami, kenapa ia menolong anjing itu. Mungkin ketika melihat anjing itu ia teringat dirinya yang dulu juga rombeng dan compang-camping.
Malam itu, sayup-sayup kami mendengar suara lolong anjing Pak Kor. Betapa bahagianya anjing itu. Ah, kebahagiaan memang gampang menimbulkan cemburu.
Karena itulah, betapa kami kaget dan nyaris tak percaya, ketika mendengar kabar anjing Pak Kor mati bunuh diri. Baru kali ini kami mendengar ada anjing bunuh diri. Kalau pun itu benar terjadi, kami tak habis pikir, kenapa anjing itu mesti bunuh diri padahal hidupnya begitu bahagia?
“Benar, anjing itu gantung diri,” kata satpam yang menjaga rumah Pak Kor, ketika kami datang untuk menanyakan kabar kematian anjing itu. Ini sungguh kejadian paling konyol yang pernah kami dengar. Kami sempat melongok, rumah Pak Kor begitu sepi. Beberapa hari lalu Pak Kor memang tertangkap tangan dan ditahan karena kasus korupsi.
Kami teringat pada anjing yang bahagia itu, ketika ada yang nyeletuk. “Mungkin, ini mungkin lho ya, anjing itu mati bunuh diri karena malu, ternyata selama ini ia makan dengan uang hasil korupsi.” Terdengar lebih konyol dan lucu.
Tapi kami tak bisa tertawa. (*)
Sidoarjo, Agustus 2017
Anjing Bahagia Yang Mati Bunuh Diri
4/
5
Oleh
Syaf