ALKISAH, seorang musafir muda tersesat di padang pasir, berhari-hari tidak makan dan minum. Sedemikian kehausan sehingga berjalan terseok-seok. Sepatu dan pakaiannya sudah rusak, rambutnya kusut masai dan berantakan tertiup angin.
Hampir putus asa, akhirnya ia bertemu dengan musafir perempuan yang naik kuda dan membawa dua kantung besar air. Dimintanya air barang beberapa teguk pada perempuan itu. Namun perempuan itu tak mau memberikan. Malah ujarnya, “Aku sendiri perlu air ini untuk perjalanan jauhku. Jika kau mau, kuberikan kamu topi,” seraya mengambil topi yang ada di tasnya.
Musafir muda ini menolak pemberian topi dan bersikeras meminta air. Demikian pula perempuan itu, tidak bersedia memberikan air dan hanya mau memberi topi. Akhirnya musafir muda ini marah dan pergi.
Dua ratus meter ia kembali berjalan terseok-seok, akhirnya bertemu dengan musafir laki-laki tua yang naik keledai dengan membawa dua kantung besar air. Dimintanya air barang beberapa teguk pada laki-laki tua itu. Namun laki-laki tua itu pun tak mau memberikan bekal airnya. “Aku sendiri perlu air ini untuk perjalanan yang masih jauh. Jika kau mau, kuberikan kamu sepatu,” katanya sambil mengambil sepasang sepatu yang ada di tas kulitnya.
Sang musafir muda menolak pemberian sepatu itu, dan tetap bersikeras meminta air. Namun laki-laki tua itu pun tidak bersedia memberi air dan hanya mau memberi sepatu. Sang musafir muda kian bertambah marah dan berlalu pergi membawa dongkol di hatinya.
Selang lima ratus meter dari situ, ia tiba di sebuah oasis besar yang airnya sangat jernih dan teduh. Dengan bergegas ia menuju tepi air untuk mengambil minum. Namun tiba-tiba telah berdiri di depannya dua orang tentara kerajaan yang menjaga oasis itu.
“Dilarang keras mengambil air ini, kecuali kamu memakai topi dan sepatu!” bentak kedua tentara kerajaan itu lantang.
***
Selulus SMA saya bercita-cita menjadi seorang ahli kimia. Membayangkan kesibukan di sebuah lab raksasa dengan deretan bermacam tabung-tabung reaksi dan beraneka cairan kimia sepertinya sangat menggairahkan adrenalin saya. Scientist, ah, sebuah sebutan yang pernah membuat hidung saya kembang kempis kala mendengarnya. Namun kini saya alumnus jurusan Mesin, bukan Kimia. Dan, sepuluh tahun kemudian, cita-cita masa SMA saya pupus, bukan ilmuwan, peneliti, periset atau perekayasa, tetapi sepertinya calon birokrat.
Mungkin tak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi pada diri Anda. Bercita-cita menjadi Q, tetapi yang kesampaian menjadi S. Ingin memiliki kulit wajah putih mulus, malah berminyak dan menjadi ladang subur jerawat. Mau tubuh semampai, ramping dan atletis, justru wujud raga sebaliknya yang kita miliki. Berhasrat segera menikah, jodoh tak kunjung menghampiri. Ingin begini, jadi begitu. Minta ini, dapat itu. Begitu seterusnya. Tak pernah benar-benar tepat yang kita minta adalah selalu yang kita raih. Tapi tidak mengapa, jangan pernah kecewa. Sebab kadang sesuatu yang kita mimpikan hari ini, belum tentu yang sesungguhnya kita butuhkan esok hari.
Mari belajar selalu berpikir positif. Karena Tuhan adalah apa yang kita persangkakan kepada-Nya. Kita tak pernah lebih tahu dari setiap rencana-Nya. Apa pun kita hari ini, terimalah ia dengan sepenuh rasa syukur. Tersenyumlah.
Kita tak harus menjadi replika Sang Musafir Muda pada kisah anonim di atas kan? (*)
Hampir putus asa, akhirnya ia bertemu dengan musafir perempuan yang naik kuda dan membawa dua kantung besar air. Dimintanya air barang beberapa teguk pada perempuan itu. Namun perempuan itu tak mau memberikan. Malah ujarnya, “Aku sendiri perlu air ini untuk perjalanan jauhku. Jika kau mau, kuberikan kamu topi,” seraya mengambil topi yang ada di tasnya.
Musafir muda ini menolak pemberian topi dan bersikeras meminta air. Demikian pula perempuan itu, tidak bersedia memberikan air dan hanya mau memberi topi. Akhirnya musafir muda ini marah dan pergi.
Dua ratus meter ia kembali berjalan terseok-seok, akhirnya bertemu dengan musafir laki-laki tua yang naik keledai dengan membawa dua kantung besar air. Dimintanya air barang beberapa teguk pada laki-laki tua itu. Namun laki-laki tua itu pun tak mau memberikan bekal airnya. “Aku sendiri perlu air ini untuk perjalanan yang masih jauh. Jika kau mau, kuberikan kamu sepatu,” katanya sambil mengambil sepasang sepatu yang ada di tas kulitnya.
Sang musafir muda menolak pemberian sepatu itu, dan tetap bersikeras meminta air. Namun laki-laki tua itu pun tidak bersedia memberi air dan hanya mau memberi sepatu. Sang musafir muda kian bertambah marah dan berlalu pergi membawa dongkol di hatinya.
Selang lima ratus meter dari situ, ia tiba di sebuah oasis besar yang airnya sangat jernih dan teduh. Dengan bergegas ia menuju tepi air untuk mengambil minum. Namun tiba-tiba telah berdiri di depannya dua orang tentara kerajaan yang menjaga oasis itu.
“Dilarang keras mengambil air ini, kecuali kamu memakai topi dan sepatu!” bentak kedua tentara kerajaan itu lantang.
***
Selulus SMA saya bercita-cita menjadi seorang ahli kimia. Membayangkan kesibukan di sebuah lab raksasa dengan deretan bermacam tabung-tabung reaksi dan beraneka cairan kimia sepertinya sangat menggairahkan adrenalin saya. Scientist, ah, sebuah sebutan yang pernah membuat hidung saya kembang kempis kala mendengarnya. Namun kini saya alumnus jurusan Mesin, bukan Kimia. Dan, sepuluh tahun kemudian, cita-cita masa SMA saya pupus, bukan ilmuwan, peneliti, periset atau perekayasa, tetapi sepertinya calon birokrat.
Mungkin tak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi pada diri Anda. Bercita-cita menjadi Q, tetapi yang kesampaian menjadi S. Ingin memiliki kulit wajah putih mulus, malah berminyak dan menjadi ladang subur jerawat. Mau tubuh semampai, ramping dan atletis, justru wujud raga sebaliknya yang kita miliki. Berhasrat segera menikah, jodoh tak kunjung menghampiri. Ingin begini, jadi begitu. Minta ini, dapat itu. Begitu seterusnya. Tak pernah benar-benar tepat yang kita minta adalah selalu yang kita raih. Tapi tidak mengapa, jangan pernah kecewa. Sebab kadang sesuatu yang kita mimpikan hari ini, belum tentu yang sesungguhnya kita butuhkan esok hari.
Mari belajar selalu berpikir positif. Karena Tuhan adalah apa yang kita persangkakan kepada-Nya. Kita tak pernah lebih tahu dari setiap rencana-Nya. Apa pun kita hari ini, terimalah ia dengan sepenuh rasa syukur. Tersenyumlah.
Kita tak harus menjadi replika Sang Musafir Muda pada kisah anonim di atas kan? (*)
Antara Kita Dan Musafir
4/
5
Oleh
Syaf