SUNGGUH ramai mereka. Bersaf-saf jalan ke depan, belok ke samping, balik lagi ke belakang, dan ke depan lagi. Berulang-ulang seperti itu. Rombongan ini memanggul sesuatu di pundaknya, serupa bungkusan. Bungkusan yang dibungkus kain putih.
Aku belum tahu apa isi bungkusan itu. Aku juga masih bertanya-tanya hendak mereka bawa kemana bungkusan itu? Masing-masing punya satu bungkusan yang besarnya sebanding tubuhnya sendiri. Anak kecil memanggul bungkusan sebesar badannya yang kecil. Orang dewasa memapah bungkusan sebesar badannya pula. Mereka menarikan bungkusan itu hilir mudik tak henti. Sekilas, mereka seperti sedang mencari tempat menitipkan bungkusannya. Mungkin semacam kantor pos.
Dengan susah payah, mereka menyeret bungkusan masing-masing. Ada yang tertatih. Ada juga yang biasa-biasa saja. Ada pula yang seakan menjinjing kapas di kantong plastik, meskipun bungkusannya terbilang besar.
Mereka terus berputar-putar tak tentu arah, seperti mencari suatu tempat persinggahan. Atau mungkin mereka sedang mencari seseorang untuk menyerahkan bungkusan tersebut. Aku semakin ingin tahu.
Pasukan serba putih dengan bungkusan putih tersebut terus lalu lalang. Dari pagi hingga petang. Tak peduli terik maupun hujan. Kalupun mereka berhenti sejenak, hanya sekedip mata. Lalu melanjutkan kembali menyeret bungkusannya. Letih diseret, bungkusan itu dipanggulnya.
Semua orang punya bungkusan. Kuperhatikan diriku. Aku tak punya apa-apa. Mengapa mereka semua punya bungkusan, sedangkan aku tidak? Apakah bungkusan telah dicuri orang? Ayahku membawa bungkusan, ibuku juga, adik, kakak, paman, bibi, tante, oom, nenek, semua memikul bungkusan masing-masing. Mereka semua ikut konvoi serba putih bersama yang lainnya. Persis karnaval tujuh belasan. Mereka pawai beramai-ramai. Kecuali kakek. Ya, seperti aku, kakek juga tidak membawa bungkusan. Kakek hanya menyeret sorbannya yang hampir-hampir menyentuh tanah ditiup angin.
Kakek berdiri di salah satu sisi tanah lapang. Ia menatap jauh ke seberang. Kakek juga tidak mengikuti karnaval seperti orang-orang. Satu hal lagi yang membedakan kakek dengan kebanyakan orang, ia tidak memakai baju putih. Hanya sorbannya yang putih. Seperti sering kutemui, kakek masih dengan baju koko ukiran batik warna coklat tua. Bagian bawah ia kenakan sarung petak-petak cap mangga yang dibelikan ayah ketika lebaran dua tahun lalu—aku tahu kakek sangat menyukai sarung itu.
Kutatap kakek dari tempatku berdiri. Kulihat pula ayah, ibu, kakak, adik, oom, paman, tante, bibi, melintas di hadapan kakek, tapi tak ada tegur sapa di antara mereka. Perlahan aku mulai ingat. Bukankah mereka semua sudah meninggal? Paman dan bibi meninggal saat kampung kami masih konflik bersenjata antara pemerintah dan kelompok yang dicap pemberontak. Paman ditembak oleh tentara di depan bibi. Saat itu paman hendak melawan karena bibi dilecehkan oleh pasukan tentara. Selesai menembak paman, dua tentara menghujami pelurunya ke dada bibi secara bersamaan. Begitu cerita yang kudengar dari banyak orang.
Nasib yang tak jauh beda menimpa oom. Menurut cerita ayah, oom diculik orang tak dikenal. Saat konflik, kampung kami memang terkenal dengan orang tak dikenal. Banyak rumah dibakar oleh orang tak dikenal. Banyak tokoh masyarakat yang diculik, juga oleh orang tak dikenal. Di antaranya oomku.
Tante, ayah, ibu, kakak, dan adik meninggal dalam musibah banjir raya. Aku dan kakek selamat dari banjir. Hari musibah itu, aku salat subuh ke masjid bersama kakek. Usai subuh, aku tertidur. Sudah menjadi kebiasaan kakek pula, ia baru pulang selepas dhuha. Tak ada yang menyangka bajir maharaya tiba pagi hari itu. Hanya aku dan kakek yang tersisa dari keluarga kami. Ya, aku ingat betul, hanya aku dan kakek yang masih tersisa. Lainnya sudah meninggal.
Aku tersentak dari lamunan tatkala kulihat ayah melintas di hadapan kakek. Kakek menegur ayah. Ayah berhenti. Yang lainnya terus melaju, berputar-putar seperti semula, tanpa arah tujuan. Kuamati kakek dan ayah sedang membicarakan sesuatu. Aku mendekat.
“Apa lagi yang Abah tunggu? Ikutlah bersama kami. Lihatlah, tanah sudah penuh semua, apa Abah tidak mau mencarikan kami sepetak tanah? Untuk anak-anak Abah? Abah rela melihat kami berputar-putar seperti ini terus?” ujar ayah pada kakek.
“Begitu luasnya tanah di muka bumi ini, apa kalian tidak bisa menemukan sepetak pun?” sahut kakek.
“Kami menunggu Abah.”
“Kenapa harus menungguku?”
“Jangankan sepetak, sejengkal pun tidak ada, Abah.”
“Di belakang rumah kita masih bisa.”
“Di mana, Ayah? Di bawah batang pisang itu? Sudah dihuni orang. Semua tanah sudah terisi. Patok tanah kita hanya sampai pohon pisang itu. Di sebelahnya sudah dibeli orang dan kabarnya akan dibangun swalayan bertingkat,” ujar ayah dengan nada mengeluh.
Aku terus ‘nguping’ pembicaraan keduanya. Aku masih belum mengerti apa maksud ayah mencari tanah. Kata ayah pada kakek, semua orang sedang mencari tanah. Masalahnya, semua tanah sudah terisi. Ini yang belum kupahami.
“Abah, tolong kami, tolong anakmu. Apa Abah senang melihat kami menyeret-nyeret bungkusan ini? Kemana harus kami tanam tubuh kami ini, Abah?”
“Coba kau lihat,” kata kakek kemudian. “Di balik gunung itu barang kali masih ada tanah kosong. Kalian bisa letakkan jasad kalian di situ.”
“Kami sudah ke sana, tapi tanah di sana juga sudah dihuni. Kabarnya mereka yang kena peluru sewaktu baku tembak banyak yang meletakkan jasadnya di kaki gunung itu.
“Di sebelahnya?” tanya kakek lagi.
“Gunung di sebelahnya tempat para santri yang tewas akibat tuduhan berkomplot dengan teroris.”
Kakek diam sejenak. Ia menghentikan jemarinya pada hitungan biji tasbih. Lalu, “Di pinggir pantai sana?” ujarnya, menunjuk ke arah barat.
“Di situ sudah sesak dengan orang-orang yang diseret ombak laut saat banjir raya tujuh tahun lalu,” sahut ayah memelas.
“Oh… Setiap jengkal tanah sudah berisi?”
“Iya, Abah. Tolong kami, Abah.”
“Sungguh, aku sendiri khawatir, apakah untukku masih ada tempat esok hari,” sahut kakek lemah.
“Abah ikut bersama kami sekarang. Kita sama-sama mencari tanah untuk jasad kita. Paling tidak, untuk kita sekeluarga, Abah.”
Kakek menatap ayah. “Sudah kukatakan, aku belum bisa ikut sekarang. Aku masih harus menjaga Ahmad, anakmu yang tinggal satu-satunya itu.”
Ayah memandang ke arahku. Sontak aku bergidik. Kulihat mata ayah merah. Bibirnya pucat sepucat pakaian yang dikenakannya. Telapak tangan ayah sedikit membiru. Kupandangi ia dari kepala hingga kaki.
“Kemarilah, anakku.”
Aku mendekat. Ayah menyodorkan bungkusannya. Bulu-bulu di sekujur tubuhku berdiri.
“Nak, Ayah sudah mencari tanah ke sana ke mari untuk tempat tinggal, tapi tidak Ayah temui sejengkal pun. Tanah-tanah sudah diisi dengan berbagai macam bangunan pencakar langit. Untuk mengubur jasad sendiri saja Ayah kesulitan.”
Ayah membuka bingkisan yang ditarik-tariknya sedari tadi. Bagian atas kain putih itu terkuak. Kulihat wajah ayah di dalam bungkusan tersebut. Aku hampir terlompat ke belakang. Ayah kemudian menyibak seluruh kain putih yang berbungkus itu. Nyata sekali aku melihat yang tergolek dalam kain putih itu adalah jasad ayah. Tangannya bersila di atas dada. Hidungnya disumbat kapur barus. Bibirnya sangat pucat. Sekujur tubuh itu biru. Tak berdarah.
Rupanya mayat ayah, batinku. Ayah kesulitan meletakkan mayatnya sendiri karena sudah tidak ada lagi lahan yang kosong. Semua tanah di negeri kami sudah terisi. Begitu pula dengan orang-orang yang sedari tadi melintas. Mereka semua ternyata sedang memanggul mayat dirinya sendiri dan sibuk mencari lahan kosong untuk meletakkan jasadnya masing-masing. Kata ayah, tidak ada lagi lahan kosong di negeri ini. Dari pusat kota hingga ke pelosok kampung, sudah berdiri bangunan megah. Kadang, di atas kuburan pun sudah didirikan apartemen, swalayan, dan sejenisnya.
“Terlalu banyak orang yang mati sia-sia zaman sekarang. Jangankan mendirikan bangunan, untuk menguburkan jasad sendiri saja, kita sudah kehilangan lahan kosong,” pesan ayah kepadaku. Juga didengar oleh kakek. (*)
Aku belum tahu apa isi bungkusan itu. Aku juga masih bertanya-tanya hendak mereka bawa kemana bungkusan itu? Masing-masing punya satu bungkusan yang besarnya sebanding tubuhnya sendiri. Anak kecil memanggul bungkusan sebesar badannya yang kecil. Orang dewasa memapah bungkusan sebesar badannya pula. Mereka menarikan bungkusan itu hilir mudik tak henti. Sekilas, mereka seperti sedang mencari tempat menitipkan bungkusannya. Mungkin semacam kantor pos.
Dengan susah payah, mereka menyeret bungkusan masing-masing. Ada yang tertatih. Ada juga yang biasa-biasa saja. Ada pula yang seakan menjinjing kapas di kantong plastik, meskipun bungkusannya terbilang besar.
Mereka terus berputar-putar tak tentu arah, seperti mencari suatu tempat persinggahan. Atau mungkin mereka sedang mencari seseorang untuk menyerahkan bungkusan tersebut. Aku semakin ingin tahu.
Pasukan serba putih dengan bungkusan putih tersebut terus lalu lalang. Dari pagi hingga petang. Tak peduli terik maupun hujan. Kalupun mereka berhenti sejenak, hanya sekedip mata. Lalu melanjutkan kembali menyeret bungkusannya. Letih diseret, bungkusan itu dipanggulnya.
Semua orang punya bungkusan. Kuperhatikan diriku. Aku tak punya apa-apa. Mengapa mereka semua punya bungkusan, sedangkan aku tidak? Apakah bungkusan telah dicuri orang? Ayahku membawa bungkusan, ibuku juga, adik, kakak, paman, bibi, tante, oom, nenek, semua memikul bungkusan masing-masing. Mereka semua ikut konvoi serba putih bersama yang lainnya. Persis karnaval tujuh belasan. Mereka pawai beramai-ramai. Kecuali kakek. Ya, seperti aku, kakek juga tidak membawa bungkusan. Kakek hanya menyeret sorbannya yang hampir-hampir menyentuh tanah ditiup angin.
Kakek berdiri di salah satu sisi tanah lapang. Ia menatap jauh ke seberang. Kakek juga tidak mengikuti karnaval seperti orang-orang. Satu hal lagi yang membedakan kakek dengan kebanyakan orang, ia tidak memakai baju putih. Hanya sorbannya yang putih. Seperti sering kutemui, kakek masih dengan baju koko ukiran batik warna coklat tua. Bagian bawah ia kenakan sarung petak-petak cap mangga yang dibelikan ayah ketika lebaran dua tahun lalu—aku tahu kakek sangat menyukai sarung itu.
Kutatap kakek dari tempatku berdiri. Kulihat pula ayah, ibu, kakak, adik, oom, paman, tante, bibi, melintas di hadapan kakek, tapi tak ada tegur sapa di antara mereka. Perlahan aku mulai ingat. Bukankah mereka semua sudah meninggal? Paman dan bibi meninggal saat kampung kami masih konflik bersenjata antara pemerintah dan kelompok yang dicap pemberontak. Paman ditembak oleh tentara di depan bibi. Saat itu paman hendak melawan karena bibi dilecehkan oleh pasukan tentara. Selesai menembak paman, dua tentara menghujami pelurunya ke dada bibi secara bersamaan. Begitu cerita yang kudengar dari banyak orang.
Nasib yang tak jauh beda menimpa oom. Menurut cerita ayah, oom diculik orang tak dikenal. Saat konflik, kampung kami memang terkenal dengan orang tak dikenal. Banyak rumah dibakar oleh orang tak dikenal. Banyak tokoh masyarakat yang diculik, juga oleh orang tak dikenal. Di antaranya oomku.
Tante, ayah, ibu, kakak, dan adik meninggal dalam musibah banjir raya. Aku dan kakek selamat dari banjir. Hari musibah itu, aku salat subuh ke masjid bersama kakek. Usai subuh, aku tertidur. Sudah menjadi kebiasaan kakek pula, ia baru pulang selepas dhuha. Tak ada yang menyangka bajir maharaya tiba pagi hari itu. Hanya aku dan kakek yang tersisa dari keluarga kami. Ya, aku ingat betul, hanya aku dan kakek yang masih tersisa. Lainnya sudah meninggal.
Aku tersentak dari lamunan tatkala kulihat ayah melintas di hadapan kakek. Kakek menegur ayah. Ayah berhenti. Yang lainnya terus melaju, berputar-putar seperti semula, tanpa arah tujuan. Kuamati kakek dan ayah sedang membicarakan sesuatu. Aku mendekat.
“Apa lagi yang Abah tunggu? Ikutlah bersama kami. Lihatlah, tanah sudah penuh semua, apa Abah tidak mau mencarikan kami sepetak tanah? Untuk anak-anak Abah? Abah rela melihat kami berputar-putar seperti ini terus?” ujar ayah pada kakek.
“Begitu luasnya tanah di muka bumi ini, apa kalian tidak bisa menemukan sepetak pun?” sahut kakek.
“Kami menunggu Abah.”
“Kenapa harus menungguku?”
“Jangankan sepetak, sejengkal pun tidak ada, Abah.”
“Di belakang rumah kita masih bisa.”
“Di mana, Ayah? Di bawah batang pisang itu? Sudah dihuni orang. Semua tanah sudah terisi. Patok tanah kita hanya sampai pohon pisang itu. Di sebelahnya sudah dibeli orang dan kabarnya akan dibangun swalayan bertingkat,” ujar ayah dengan nada mengeluh.
Aku terus ‘nguping’ pembicaraan keduanya. Aku masih belum mengerti apa maksud ayah mencari tanah. Kata ayah pada kakek, semua orang sedang mencari tanah. Masalahnya, semua tanah sudah terisi. Ini yang belum kupahami.
“Abah, tolong kami, tolong anakmu. Apa Abah senang melihat kami menyeret-nyeret bungkusan ini? Kemana harus kami tanam tubuh kami ini, Abah?”
“Coba kau lihat,” kata kakek kemudian. “Di balik gunung itu barang kali masih ada tanah kosong. Kalian bisa letakkan jasad kalian di situ.”
“Kami sudah ke sana, tapi tanah di sana juga sudah dihuni. Kabarnya mereka yang kena peluru sewaktu baku tembak banyak yang meletakkan jasadnya di kaki gunung itu.
“Di sebelahnya?” tanya kakek lagi.
“Gunung di sebelahnya tempat para santri yang tewas akibat tuduhan berkomplot dengan teroris.”
Kakek diam sejenak. Ia menghentikan jemarinya pada hitungan biji tasbih. Lalu, “Di pinggir pantai sana?” ujarnya, menunjuk ke arah barat.
“Di situ sudah sesak dengan orang-orang yang diseret ombak laut saat banjir raya tujuh tahun lalu,” sahut ayah memelas.
“Oh… Setiap jengkal tanah sudah berisi?”
“Iya, Abah. Tolong kami, Abah.”
“Sungguh, aku sendiri khawatir, apakah untukku masih ada tempat esok hari,” sahut kakek lemah.
“Abah ikut bersama kami sekarang. Kita sama-sama mencari tanah untuk jasad kita. Paling tidak, untuk kita sekeluarga, Abah.”
Kakek menatap ayah. “Sudah kukatakan, aku belum bisa ikut sekarang. Aku masih harus menjaga Ahmad, anakmu yang tinggal satu-satunya itu.”
Ayah memandang ke arahku. Sontak aku bergidik. Kulihat mata ayah merah. Bibirnya pucat sepucat pakaian yang dikenakannya. Telapak tangan ayah sedikit membiru. Kupandangi ia dari kepala hingga kaki.
“Kemarilah, anakku.”
Aku mendekat. Ayah menyodorkan bungkusannya. Bulu-bulu di sekujur tubuhku berdiri.
“Nak, Ayah sudah mencari tanah ke sana ke mari untuk tempat tinggal, tapi tidak Ayah temui sejengkal pun. Tanah-tanah sudah diisi dengan berbagai macam bangunan pencakar langit. Untuk mengubur jasad sendiri saja Ayah kesulitan.”
Ayah membuka bingkisan yang ditarik-tariknya sedari tadi. Bagian atas kain putih itu terkuak. Kulihat wajah ayah di dalam bungkusan tersebut. Aku hampir terlompat ke belakang. Ayah kemudian menyibak seluruh kain putih yang berbungkus itu. Nyata sekali aku melihat yang tergolek dalam kain putih itu adalah jasad ayah. Tangannya bersila di atas dada. Hidungnya disumbat kapur barus. Bibirnya sangat pucat. Sekujur tubuh itu biru. Tak berdarah.
Rupanya mayat ayah, batinku. Ayah kesulitan meletakkan mayatnya sendiri karena sudah tidak ada lagi lahan yang kosong. Semua tanah di negeri kami sudah terisi. Begitu pula dengan orang-orang yang sedari tadi melintas. Mereka semua ternyata sedang memanggul mayat dirinya sendiri dan sibuk mencari lahan kosong untuk meletakkan jasadnya masing-masing. Kata ayah, tidak ada lagi lahan kosong di negeri ini. Dari pusat kota hingga ke pelosok kampung, sudah berdiri bangunan megah. Kadang, di atas kuburan pun sudah didirikan apartemen, swalayan, dan sejenisnya.
“Terlalu banyak orang yang mati sia-sia zaman sekarang. Jangankan mendirikan bangunan, untuk menguburkan jasad sendiri saja, kita sudah kehilangan lahan kosong,” pesan ayah kepadaku. Juga didengar oleh kakek. (*)
BUNGKUSAN
4/
5
Oleh
Syaf