Thursday, 24 August 2017

Gelang Tali Kutang

Gelang Tali Kutang
Dia melekatkan ujung pistol di keningnya. Tangisannya belum berhenti. Air mata membelah sepasang pipinya yang tirus-legam dan mulai keriput. Sebelum pelatuk dia tarik, sebelum dia mengakhiri hidupnya, dia sadar bahwa sudah hampir sebulan pistol itu tidak berisi. Dia masih punya badik di pinggang kirinya, tetapi ….

“Saya harus menemukannya sebelum meninggal. Saya harus menepati janji saya.”

Sehari sebelumnya, dia turun gunung ketika mengetahui gerakannya resmi bergabung dengan Darul Islam Tentara Islam Indonesia. Itu bukan cita-cita perjuangannya. Dia berjuang untuk penerimaan Kesatuan Gerilya Sulawesi-Selatan sebagai tentara resmi, bukan untuk kepentingan agama tertentu.

“Saya tidak bisa menerima Sulawesi sebagai bagian Negara Islam Indonesia.”

Dia menggebu-gebu.

“Kita kekurangan makanan, persenjataan dan bahkan anggota. Kita butuh bantuan dari DI/TII di Jawa.”

Dullah, sahabatnya, kini di pihak yang lain.

“Saya tidak memaksa kalian, termasuk kau, Dullah. Saya kehilangan satu lengan saya tetapi tidak pernah saya sesali karena saya mencintai KGSS. Bahkan ketika Rahing menyerah dan turun gunung, saya tidak terpengaruh. Tetapi, keadaan tidak lagi sama,” Hamma menghela napas kemudian melanjutkan, “Kau lihat ini,” dia mengangkat senapan yang tadinya tersampir di pundak, “ketika saya melewati senapan ini, kita sudah berada di sisi berseberangan.” Kalimat itu, Hamma selesaikan dengan helaan napas yang berat disusul dengan melemparkan senapannya ke arah kaki gunung, sekuat tenaga. Belasan pasukan gerilya yang melihatnya hanya diam. Kecuali Dullah yang memberinya pelukan.

Hamma berjalan menjauh, tangan kirinya menjinjing bungkusan sarung berisi sebilah badik, sebuah pistol serta lengan kanannya yang putus oleh granat di bulan-bulan pertama dia berada di hutan-dua tahun yang lalu. Lengan itu dia bawa setiap berpindah pos. Dia sudah berkali-kali pindah karena tentara semakin nekat memasuki hutan. Lengan yang sisa tulang itu, dia kubur di pos baru dan dia gali kembali ketika harus pindah.

***

Yang dia bayangkan ketika berjalan menjauhi teman-temannya hanya dua, hanya istri dan anaknya. Dia akan mengatakan: saya pulang, saya menepati janji saya. Meski lengan saya putus, saya tetap menepati janji bahwa saya akan pulang tanpa kurang satu apa pun. Kemudian dia akan meraih anaknya—entah lelaki atau perempuan—menggendongnya, menciumnya, dan tak akan lagi meninggalkannya.

Namun kini dia tersungkur, terisak, dan merasa hampa ketika tiba di kampungnya setelah sehari semalam berjalan kaki. Tidak ada istri, tidak ada anak, tidak ada apa pun di kampung itu, selain rongsokan sisa kebakaran. Ke mana orang-orang? Dia bertanya kepada dirinya sendiri. Siapa yang membakar? Tentara atau gerombolan? Dia tidak tahu jawabannya. Rongsokan yang ada di depannya tampak seperti sisa pembakaran yang baru.

Dia merasa semuanya sia-sia belaka. Kembali ke gunung hanya mempersingkat hidupnya dan bertahan di kampung sama menderitanya; menjalani hidup yang kosong dan hampa tidak lebih menyenangkan dibanding mati saat itu juga. Pikiran itulah yang membuatnya menempelkan pistol di keningnya. Pikiran lain bahwa dia harus menemukan istri dan anaknya yang lantas membuat hidupnya tidak berakhir. Kini dia kembali menyusuri jalan setapak menuju kota. Dia berdoa tidak bertemu pasukan gerilya atau tentara—keduanya merupakan musuh baginya. Dia juga berdoa semoga menemui seseorang yang bisa menunjukkan di mana istrinya berada atau paling tidak, ke mana orang-orang di kampungnya mengungsi. Atau mereka semua telah dibunuh? Pertanyaan itu membuat langkahnya semakin gontai dan air matanya kembali jatuh.

“Seharusnya kau tidak ikut naik gunung. Atau tidak seharusnya kau bertahan dua tahun di sana. Ketika tentara mendesak kalian dan membuat kau kehilangan sebelah lenganmu, sudah seharusnya kau turun gunung. Ikut Rahing sahabatmu yang kehilangan kaki kanannya. Istrimu juga sudah tentu melahirkan waktu itu, bukan? Kan .… kandungannya tujuh bulan saat kau tinggalkan. Sekarang kau menyesal? Terlambat!”

Sepanjang jalan, dia tidak berhenti berbicara kepada dirinya sendiri. Seakan semua hal yang patut disesali telah dia lakukan. Dia tiba-tiba mengingat Rahing yang turun gunung setelah mendengar kabar kematian orang tuanya, sekaligus untuk pemulihan luka agar tidak merepotkan. Kemungkinan yang paling baik jika mereka bertemu dan Rahing bisa memberi berita mengenai istri dan orang-orang di kampungnya. Jarak rumah Rahing dari kampungnya sekitar sehari berjalan kaki, itu bukan masalah. Yang jadi masalah, jika Rahing sudah menikah lalu ikut istrinya entah ke mana. Atau jika kampung Rahing dibakar juga, atau jika Rahing ditangkap tentara atau yang paling tidak diinginkannya; jika Rahing sudah mati, sudah tidak ada.

“Jika kau ikut Rahing, kau tidak akan kehilangan semuanya seperti saat ini. Kehilangan kawan seperjuangan, kehilangan keluarga.”

Memang, ada sesal di dalam dirinya. Ketika memutuskan naik gunung dan bertempur dari hutan ke hutan, dia, Dullah, dan Rahing berjanji untuk tidak saling meninggalkan—mereka bersahabat. Mereka sebenarnya tidak bertiga, ada Side—sahabatnya yang lain, yang memilih menjadi guru mengaji untuk anak-anak pedagang pasar di kampungnya. Waktu mengubah keadaan. Waktu pula yang membuatnya kini menyusuri jalan setapak yang membelah perkampungan. Dia hanya menyusurinya, benar-benar menyusurinya. Dia tidak tahu akan ke mana atau paling tidak, berhenti di mana.

“Saya turun gunung, tetapi saya, kau, Side dan Dullah akan selalu bersahabat. Kita akan bertemu di bawah sana, suatu saat nanti.”

Dia tiba-tiba mengingat kalimat terakhir Rahing kepadanya. Ya, kita harus bertemu, Rahing, masalahnya kau ada di mana? Dia terus berjalan.

“Jangan kurang apa pun dari dirimu. Ini kuberikan gelang sebagai jimat untuk keselamatanmu. Kujahit dari tali kutang milikku. Jangan pernah terpisah dari gelang ini, maka kita akan terus menyatu dan kamu akan selalu dalam lindungan Tuhan.”

Itu kalimat terakhir istrinya. Ketika kalimat itu selesai, dengan berat, akhirnya Hamma berangkat setelah berjanji untuk pulang secepat mungkin. Dia tiba-tiba berhenti lalu berteduh di bawah pohon asam di sisi jalan. Dia membuka bungkusannya. Sejak memindahkan badik ke pinggang, isi bungkusan itu sisa pistol dan tulang lengannya. Dia mencari sesuatu—dan selalu tak menemukannya. Sesuatu itu hilang sejak ledakan yang memutus lengannya. Hanya rasa cinta dan rindulah yang membuatnya masih terus mencari meski dia sungguh yakin, gelang itu tak pernah ada dalam bungkusan.

“Seharusnya ketika Rahing turun gunung, saya menitip istri saya agar dibawa ke tempat aman. Tetapi mana saya tahu kalau keadaan akan sekacau ini? Toh, saya juga tidak bisa menebak kalau akhirnya kami akan terdesak. Ini salah saya!”

Dia semakin didera rasa bersalah.

Jarak kampung Rahing sudah dekat. Soal Rahing, Dullah dan Side—ketiganya punya jasa yang cukup besar untuk hidup Hamma yang sekarang. Pada masa perang kemerdekaan, Hamma pernah hampir meninggal dikepung tentara musuh, untung tiga orang itu datang menghalau—sejak itu mereka bersahabat dan berjanji sehidup dan semati. Setelah merdeka, Rahing, Side, dan Dullah pula yang menyampaikan lamaran kepada istrinya yang sekarang dia cari. Meski kini mereka sudah berbeda arah dan tempat—janji itu mereka masih pegang. Itulah yang sedikit memberi harapan buat Hamma. Harapan bernama Rahing. Rahing yang berjanji akan membantu perjuangan meski tidak di gunung lagi, tentu tidak akan menolak diminta bantuan untuk menunjukkan tempat warga mengungsi. Sebenarnya Side bisa pula membantu, tetapi jelas bahwa Rahing lebih tahu banyak mengenai pergerakan tentara.

***

Hamma membenarkan posisi duduknya di atas tikar pandan. Sementara Rahing telah bersila dan menyembunyikan kakinya di balik sarung. Mereka berhadapan-bertatapan dengan mata sepasang sahabat yang seakan begitu lama dipisahkan. Belum ada yang sempat bertanya mengenai kabar masing-masing. Dengan melihat Rahing masih tampak tegap tak termakan usia, itu sudah cukup bagi Hamma untuk menjawab semua pertanyaan tentang kabar. Lagi pula, pelukannya telanjur mendarat di tubuh Rahing tanpa sempat mengucapkan satu kata.

“Kamu tidak seharusnya di sini, bahaya. Tentara mengawasi rumah ini. Dua hari lalu kampungmu dibakar, sebentar lagi kampung ini. Untung saya bersih bagi mereka. Pergi sebelum terlambat!”

Hamma tidak menduga bahwa kalimat itulah yang akan dia dengar pertama kali dari sahabatnya. Tanpa basa-basi, Rahing menyuruhnya pergi.

“Saya ke sini untuk meminta bantuanmu.”

“Tidak menampungmu di rumah ini merupakan bantuan paling berguna, Hamma. Nyawamu sungguh penting.”

“Baik, setelah kau tunjukkan di mana orang-orang di kampung saya mengungsi.”

“Mereka di Sengkang. Diamankan tentara.”

Hamma lega. Lega sekaligus resah. Tidak mungkin menyusul istrinya ke sana.

“Sekarang hari pasar, banyak tentara berkeliaran. Pergi sekarang!”

“Kau tahu istriku di mana?”

Tidak ada jawaban dari Rahing sebab tiba-tiba terdengar tangisan anak kecil yang membuatnya buru-buru meraih tongkat lantas terpincang-pincang ke ruang belakang rumah panggungnya.

“Hamma, ini demi keselamatanmu, pergi sekarang!”

Dengan berat, Hamma berdiri lalu menuruni tangga sambil membayangkan apa yang terjadi pada istrinya di Sengkang. Rahing berlaku demikian, pasti karena keadaan sungguh tidak aman. Hamma kini menyusuri jalan menuju pasar yang juga menjadi penghubung jalan menuju tempat pengungsi berada. Dia sungguh hati-hati dan sesekali mengawasi keadaan di sekelilingnya. Pasar sudah bubar. Dia tidak bisa menghindar dari tatapan orang-orang yang berpapasan dengannya. Beberapa mengabaikan, tetapi lebih banyak yang menatapnya penuh curiga. Semakin dia mendekati pasar, semakin ramai orang yang memperhatikannya.

“Kau, Muhammad Naing?”

Dia mengenal suara itu. Orang-orang sudah berkerumun ketika dia berbalik badan berusaha mencari arah datangnya suara tadi—dan akhirnya dia menemukan Side, sahabatnya yang kini jadi guru mengaji.

“Side? Iya, saya Hamma.”

Mereka berpelukan tidak lama sebelum Side memegangi wajahnya, mencari-cari sisa keperkasaan Hamma dari sesosok tubuh yang ringkih.

“Semua orang mengiramu sudah mati. Bahkan istrimu sudah merelakanmu.”

“Apa maksud kau, Side?”

“Syukurlah kau selamat.” Side mengambil napas, “Rahing turun gunung dan membawa kabar kematianmu sekaligus menyampaikan wasiat darimu.”

“Wasiat?”

“Dia membawa gelang milikmu yang berlumuran darah. Istrimu menangis sepanjang hari. Rahing kemudian menyampaikan wasiatmu bahwa dia harus menikah dengan istrimu agar anakmu tetap memiliki ayah.”

Semua sendi di tubuh Hamma seperti ditanggalkan oleh cerita Side. Dia lemas dan penglihatannya lantas lamur dan merasa tubuh ringkihnya tak punya tenaga lagi.

“Anak dan istrimu sekarang tinggal bersamanya. Rahing menikahi istrimu.”

“Daeng Hamma?”

Suara seorang perempuan menghentikan cerita Side. Hamma sangat mengenal suara dan panggilan itu. Tidak mungkin salah, pasti itu suara istrinya. Tanpa berbalik badan, Hamma buru-buru menutup wajahnya dengan sarung bungkusan lantas berjalan cepat menjauhi kerumunan. Dia kalah, dia menangis—tanpa suara, tetapi air matanya terus jatuh. Semua yang dia miliki kini hanyalah angin dalam genggaman. Dia buah busuk yang jatuh ke batu setelah diempaskan burung yang tidak sudi memakannya.

Dia terus berjalan menuju kaki gunung tetapi tiba-tiba berhenti dan membalik arah menuju pusat kota Sengkang, menuju pos tentara. Belum sepuluh langkah, dia berhenti lagi lalu kembali memutar arah—dia melakukannya berkali-kali. Dan akhirnya, dia melekatkan ujung pistol di keningnya. Tangisannya belum berhenti. Air mata membelah sepasang pipinya yang tirus-legam dan mulai keriput. Sebelum pelatuk dia tarik, sebelum dia mengakhiri hidupnya, dia sadar bahwa sudah hampir sebulan pistol itu tidak berisi. Dia masih punya badik di pinggang kirinya, tetapi …. dia tiba-tiba membayangkan Rahing menimang anaknya, memeluk istrinya—dia melihat keluarga bahagia itu menertawainya. Dia melihat dirinya meringkuk dalam tangisan.

Dia kembali mengubah arah. Dia berjalan dengan badik terhunus, bukan ke arah gunung, bukan juga ke arah Sengkang.

Related Posts

Gelang Tali Kutang
4/ 5
Oleh