Monday, 21 August 2017

Mencari Ustadz

Mencari Ustadz
Mail menahan sesak saat melintasi Mushala Nurul Iman di Kelurahan Iman Sekali. Sungguh, pemuda yang belum genap dua tahun menikah itu tak mengira tempat yang harusnya ramai suara lantunan ngaji anak kecil berubah menjadi tempat kongkow-kongkow anak muda. Dalam hatinya timbul rasa sakit, melebihi sakitnya hati akibat istri merajuk meminta tambahan uang belanjaan.

Langkah kaki lelaki itu pun dijauhkan dari mushala tempatnya mengajar dulu. Tapi, semakin jauh melangkah, semakin sesak merayapi dada. Sesaat ia mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu.

Semua dimulai ketika ia diancam oleh sekelompok pemuda untuk berhenti mengajari ngaji. Mail bukannya takut, ia lebih memerhatikan keamanan istrinya. Apalagi ancaman bukan hanya sekali-dua kali, tapi berkali-kali ia rasakan. Mulai lemparan batu atau tulisan-tulisan bernada ancaman di gedung rumahnya.

Tak ada satu pun tetangga yang tahu mengenai hal itu. Mengingat Mail dan istrinya begitu menutup rapat. Akhirnya, setelah berembuk dengan kekasih hatinya itu, Mail sepakat berhenti mengajar bocah-bocah itu. Tapi, keberhentiannya tidak langsung ia lakukan. Melainkan secara perlahan-lahan. Dimulai dengan tidak menghadiri mushala saat Ustaz Hari yang mengajar. Akibat kejadian tersebut, Ustaz Hari yang seusia ayahnya itu menegur dan menanyakan perihal ke anehan Mail.

Anehnya, Mail menjawab bahwa ia sudah tidak betah lagi mengajar ngaji. Sontak Ustaz Hari marah besar, hingga membuat keduanya tak lagi akur. Pun, Mail juga tak mau menerima zakat fitrah yang menjadi miliknya.

Masalah kian runyam, setelah masalah dualisme ustaz itu terdengar wali santri. Mereka pun secara perlahan menggiring anaknya belajar di TPQ Bonafite. Padahal, demi mencapai TPQ tersebut jarak yang ditempuh lumayan jauh. Tidak hanya itu, wali santri juga terprovokasi untuk berdemo pada Ustaz Hari. Hingga benar-benar mushala itu tutup dan tak lagi ada aktivitas.

Kecuali kini tempat kongkow-kongkow nggak jelas.

Mail menghentikan langkahnya sejenak, ia lalu berbalik arah menuju Mushala Nurul Iman. Di sana tampak beberapa pemuda yang pernah menyuruhnya berhenti mengajar menyambut dengan tatapan penuh kemenangan.

“Terima kasih, Bos. Sudah menyediakan tempat kami!” seru Jurik sambil menepuk bahu Mail.

“Untungnya kamu mengikuti arahan kami, sehingga tidak bernasib sama dengan tua bangka itu!” Mardito menimpali.

Mail tak langsung menanggapi seruan dua pemuda itu, tapi di hatinya ada bara api yang menyala-nyala. Beruntung, lelaki itu masih bisa beristighfar sambil memejamkan mata. Hanya saja, ketika ia membuka mata, lelaki yang baru saja menikah dua tahun itu menemui mata teduh perempuan yang selama ini dihormatinya.

“Ibu, tunggu!”

Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Mail, sambil mengejar perempuan bermata teduh itu.

***

Perempuan itu telah masuk dalam rumahnya dengan bersimbah air mata. Mail kembali memeras rasa sabar. Ia mengucap salam dan mengetok pintu, tapi tak ada sahutan dari pemilik rumah.

Migran lelaki itu mendadak kumat. Seolah-olah ada kunang-kunang betebrangan di atas kepalanya.

Dan ia kembali mengingat semuanya dengan lebih detail.

Saat itu, Mail masih kecil. Ia tinggal dengan kedua orang tua tak jauh dari lingkungan pondok pesantren. Ayahnya yang memiliki rambut gondrong itu merupakan salah satu ustaz sebuah mushala baru yang mengajar baca tulis Alquran. Akibat hal itu, ketentraman dalam rumah selalu tercipta.

Tapi, tak dinyana keindahan itu berlangsung sementara. Ada beberapa pejabat kabupaten yang datang mengunjungi ayahnya. Tentu selaku tuan rumah, tamu perlu di istimewakan. Apalagi ada sebuah pandangan jika dengan bertamu dan menerima tamu menambah rezeki. Hal itu ternyata benar-benar terjadi.

Si Pejabat Kabupaten itu memberikan beberapa juta demi pembangunan mushala. Sungguh, ayah Mail langsung menerima. Sekalipun ibu Mail tak menerima akibat takut jika uang tersebut merupakan suap demi tercapainya kepentingan Si Pejabat. Tapi, ayah Mail bersikukuh menerima pundi-pundi rupiah.

“Si Pejabat itu memberikan hal tersebut katanya sebagai nazar ketika terpilih. Dan bukankah pemilukada telah berakhir. Jadi, apa yang perlu ditakutkan.”

Mendengar penjelasan itu, Mail kecil dan ibunya menjadi lega. Pembangunan mushala pun langsung dilakukan. Mushala yang awalnya hanya berupa ayaman kayu berubah menjadi bangunan permanen dengan baluran semen. Akibatnya, santri di tempat tersebut bertambah.

Selain rezeki tersebut, ayah Mail juga membangun rumahnya dari uang menjual tanah di kota lain. Dan hal tersebutlah yang menjadi masalah.

Beberapa warga ada yang berspekulasi bahwa uang Si Pejabat itu dikorupsi oleh pengajar ngaji itu. Fitnah terus bergulir, semakin banyak masyarakat yang ingin mengusir keluarga itu. Rumah dan mushala dipenuhi coretan kata-kata kotor yang luar biasa. Anak-anak yang terbiasa mengaji dicegat dan disuruh pulang.

Kejadian tersebut membuat masyarakat di wilayah yang tak ingin diingat Mail itu terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang pro dengan keluarga Mail dan kelompok kontra. Walaupun begitu, kelompok kontra memiliki massa yang demikian lebih banyak.

Mail kecil sudah dihadapkan pada trauma yang sedemikian berat itu. Mengingat bukan hanya ayahnya yang mendapatkan ancaman akan dibunuh, tetapi juga dirinya sendiri. Si Ayah bahkan harus menabahkan Mail berkali-kali, bahwa perjalanan yang mereka lakukan itu sebenarnya adalah ujian.

Dari ayahnya pula, Mail belajar tersenyum sekalipun nyawa mereka selalu diancam.
Tepatnya pada malam jahanam itu, kerusuhan pecah menuntut keluarga Mail pergi dari desa itu. Guna mengurangi amuk masa, keluarga Mail diamankan oleh kepolisian. Sekalipun keesokannya muncul rumor bahwa keluarga tersebut di pukuli hingga babak belur. Apalagi, sejak kejadian itu mereka tak pernah kembali ke rumah dan mushala yang dibangun dengan berdarah-darah.

Polisi sebenarnya berupaya melakukan mediasi, tapi keluarga Mail menolak untuk hal tersebut. Mereka lebih memilih hijrah ke tempat lain, sekalipun nahas sebelum menggapai tanah itu. Ayah dan ibu Mail dipanggil oleh Sang Pencipta.

Mail pun merasakan kesakitan dan kehilangan yang berlipat-lipat. Untungya, ia ditemukan oleh orang pesantren teman orang tuanya di jalan. Hingga ia bisa terus mendoakan kedua orang tuanya. Dan satu hal yang tak disangka-sangka Mail, jalan hidupnya kini tak jauh dari kejadian yang pernah menimpa orang tuanya.

Hanya saja, ia memilih jalan aman untuk menuruti permintaan preman yang merasa terganggu dengan kegiatan mengaji itu. Semua demi istrinya, juga demi menghilangkan rasa trauma sewaktu ia masih kecil.

Kenangan hitam itu benar-benar merasuki pikiran Mail. Bak sebuah film yang diputar jelas di depan matanya. Sungguh, ia merasa begitu kerdil dibandingkan usaha dan kegigihan ayahnya dalam berdakwah.

***

“Anakku.”

Suara seorang lelaki yang begitu menggetarkan tubuhnya.

Mail langsung bangkit mendengar suara itu, ia segera memeluk Ustaz Hari. Mereka menangis sesungguhkan. Lalu, keduanya kembali bernostalgia saat membangun Mushala Nurul Iman secara bersama.

“Kamu tidak salah,” tegas lelaki tua itu sambil melepaskan pelukan.

“Rasa trauma yang dialamimu sewaktu masa kecil itu membuatmu melakukan hal tersebut.”

Mail melongo tak percaya penjelasan lelaki yang memiliki tahun lahir sama dengan ayahnya itu. Bukan apa-apa, sejauh ini tak ada satu pun yang tahu atas rasa trauma itu. Kecuali dirinya sendiri. Lantas dari mana Ustaz Hari mengetahui hal tersebut.

“Waktu kamu kecil, saya juga ada di tempat kejadian itu. Fitnah yang dialami orang tuamu itu jauh lebih kejam dibandingkan kita. Ayahmu tak hanya melawan preman yang merasa terganggu dengan aktivitas mengaji, ia juga melawan kelompok kecil yang iri dengan perkembangan pengajiannya. Dalam hal ini, tempat mengaji yang lain.”

Kening Mail berkerut mendengar penuturan Ustaz Hari yang dirasa tak masuk akal itu.

“Tapi, Allah membalas kelakuan mereka. Lambat laun fitnah itu hilang dengan sendirinya. Dan mereka yang memfitnah ketahuan juga aibnya. Sayangnya, masyarakat yang penuh penyesalan itu tak pernah bertemu keluargamu lagi.”

“Lalu, bagaimana mungkin saya tidak mengingat Ustaz sama sekali.”

“Karena kamu masih kecil, apalagi wajahku dulu begitu tampan dan tanpa kerutan seperti sekarang,” Ustaz Hari menjawab penuh tawa.

Mail sedikit lega mendengar penuturan Ustaz Hari. Ia juga sadar bahwa perjuangan yang dialaminya belum seberapa dibandingkan ayahnya. Oleh karena itu, timbul azzam di hatinya untuk kembali ke mushala.

“Sebentar lagi Ramadhan menjelang. Mari kita sama-sama memenuhi mushala dengan kalam-Nya. Aku akan kembali ke Mushala Nurul Iman,” jelas Ustaz Hari disambut senyum mengembang di bibir Mail.

Mail pun segera meminta diri. Di hatinya, ia merasa seperti lahir kembali.

Dan ketika Ramadhan datang, Mushala Nurul Iman kembali dipenuhi sesak orang yang mau terawih. Pada hari pertama itu, Ustaz Hari menjadi imam salat, sedangkan Mail memilih menjadi muazin.

Begitu mereka akan menunaikan salat terawih, suara orang-orang bersahutan di luar mushala membuat jamaah berhamburan keluar.

“Kita harus mengamankan diri!” seru seorang bapak yang tak kuat lagi akan panas api yang menjalar di balik tembok mushala.

Ajakan tersebut membuat bapak-bapak yang lain untuk menerobos ke barisan jamaah perempuan. Mereka tak hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri, tapi juga anak-istrinya.

Sementara itu, api semakin melahap semua yang ada dalam mushala.

“Mas…!”

“Bapak…!”

Sahut-menyahut kedua istri ustaz itu memanggil nama suaminya masing-masing. Tapi, suara itu tak segera ada jawaban. Hanya kobaran si jago merah yang menambah menyala-nyala.

Sejak itu, jamaah mushala yang baru hidup kembali itu tersadar bahwa kedua ustaz mereka masih ada dalam mushala.

Mereka pun segera berusaha memadamkan api, tak peduli keselamatan diri. Mengingat mencari ustaz tak mudah bagi lingkungan yang begitu siap terkobar api permusuhan.



Bedagas, Pungging, 10 Juni 2017

Related Posts

Mencari Ustadz
4/ 5
Oleh