APA yang akan terjadi besok? Rasanya seperti merenungi anak sungai yang bermula pada bersit mata air, menyalurkan rembesan air dari celah bukit, menyusup di celah-celah bebatuan, dan membelah hutan. Menuruni lereng, terjun ke jurang, lalu hilang. Tiba-tiba sudah bermuara di laut yang jauh. Tak terjangkau oleh perhitungan angka, juga waktu. Tak tergambarkan, tak tertangkap oleh insting-insting peradaban yang menghidupkan nalar. Begitulah saat badan sudah dikurung dalam sel penjara.
Jangankan yang akan terjadi besok, yang akan terjadi sebentar lagi pun tak bisa diketahui. Pada detik-detik mendatang yang menimpali detak jantung dalam melanjutkan tarikan napas, adalah ketidaktahuan, kegamangan, dan kesendirian. Aku tidak tahu! Aku hanya berputar dan diputar oleh waktu. Begitu terbatasnya jangkauan, bukan hanya karena berada di dalam sel, tapi lebih-lebih karena dikurung dalam keterpencilan oleh kekuasaan tunggal.
Aku sudah menelentangkan badan di sebelah temanku. Posisi kami, yang seorang sejajar kepala, seorang lagi kakinya menggelonjor di antara dua tubuh, berada di antara dua muka kami. Sebaliknya, kepalanya berada di antara dua pasang kaki kami. Ruang lantai sel tidak cukup buat kami bertiga untuk tidur berjejer sejajar. Kantong-kantong plastik bergelantungan di terali pintu sel. Kantong plastic berfungsi untuk menampung air kencing atau kotoran kalau buang hajat tak bisa ditahan sampai esok hari. Maka, ruangan sel akan diaduk oleh bau keringat, pesing air kencing, juga kotoran.
Mataku nyalang mencari sesuatu yang tidak ada pada langit-langit beton. Lalu, berpindah ke dinding tembok dekil yang ramai oleh bercak-bercak darah nyamuk atau kepinding. Beralih ke lubang angin di bagian atas pintu sel. Pintu besi. Lubang angin itu hanya sebesar gigitan bajing di sebutir kelapa. Aku hanya bisa melihat sampai langit-langit emperan sel. Selebihnya tertutup dan terbendung. Sorot mataku kembali ke dalam ruangan sel, seperti lensa kamera beralih dari satu objek ke objek lainnya.
Apa yang akan terjadi besok?
Nio sudah sebulan tidak datang. Biasanya ia datang setiap sepuluh hari, seperti yang pernah ia janjikan ketika pertemuan setahun lalu. Tapi sudah sebulan ia tidak mengirimkan tas berisi makanan untukku? Yang kemudian kubagi dengan teman-teman lainnya. Mungkin besok ia datang. Besok hari kiriman. Tapi tak bisa diterka. Apalagi dipastikan. Hanya bisa bertanya-tanya, dan tak ada jawabannya.
Teman-teman sudah mempersiapkan sesuatu untuk keluarganya. Sapu tangan disulam. Cincin batok kelapa yang dibuat sendiri atau dipesan dari tahanan lainnya. Aku juga. Telah kubuat sebuah ukiran di batok kelapa, dua ekor burung sedang bercinta. Seekor hinggap di atas kurungan, seekor lagi terbang-terbang kecil mengepakkan sayapnya, meski terkurung dalam sangkar. Kepahitan yang romantis. Ukiran itu kugosok setiap hari dengan kulit bambu supaya mengkilap. Aku membayangkan ukiran itu akan digantungnya di dinding kamar tidur di asrama rumah sakit tempat ia bekerja. Ia bisa memandangnya setiap saat. Buah tangan dari kekasihnya yang sedang dipenjara.
Malam hening. Gelap. Tanpa kepastian. Tak terdengar suara gesekan batang-batang bamboo yang dimainkan angin di halaman.
Tiba-tiba terdengar gemerincing kunci beradu rantai. Pintu blok dibuka. Kupejamkan mata seperti orang tidur. Tapi aku mengintip dari celah kelopak mata. Tok…tok…tok… Suara sepatu bot. Makin mendekat. Berhenti. Sel siapa yang dilongoknya? Kembali terdengar derap langkah. Mendekat. Makin mendekat seperti berjalan di lubang kupingku. Dia berdiri di depan pintu selku. Matanya menembus ke dalam sel. Aku menahan napas.
Apa yang akan terjadi? Mengapa begitu lama ia berhenti? Apa yang dilihatnya? Aku mengingat-ingat apa yang tersampir dan tergantung di tembok. Tas plastikku berisi kain perca dan sobekan kain tua, ada buku agama, juga sepotong pensil tak lebih panjang dari 4 senti, yang kupinjam dari kepala blok. Hanya kepala blok yang boleh punya pensil. Lupakah aku mengembalikannya? Itukah yang dilihatnya? Mungkin ujungnya nongol dari celah rajutan tas. Itukah? Mati aku! Dia pikir aku menulis sesuatu dengan pensil itu.
Sepatunya menyentak lantai. Langkahnya menjauh. Aku menarik napas dalam. Lega. Kemudian terdengar kembali langkah itu. Berhenti. Lalu, mendekat. Semakin jelas. Lewat. Pintu blok berkeriut. Gemerincing rantai dan kunci seperti melerai ketegangan. Aku merasa lepas dari bidikan moncong senjata.
Aku bangun perlahan supaya tidak mengganggu dua teman yang sedang tidur lelap. Kuambil tas. Tak bisa kulihat isinya. Gelap. Kurogoh-rogoh mencari potongan pensil itu. Tidak ketemu. Jantung berdegup lebih kencang. Kusangkutkan tas. Aku terduduk. Di mana potongan pensil itu? Apakah sudah kukembalikan? Rasanya belum. Aku mengingat-ingat apa yang kulakukan seharian. Ah, tidak tahu. Pensil dan kertas barang terlarang bagi tahanan. Kalau tertangkap punya pensil, bisa dituduh gerpol (gerilya politik) dan pasti mendapat hukuman badan.
Kutelentangkan kembali tubuhku, lurus seperti ikan sarden dalam kaleng. Pikiran mengembara. Tidak berjumpa siapa-siapa. Padang pasir yang lengang dan gersang. Aku ingin tidur. Tapi mataku masih liar. Mungkin besok Nio datang. Aku akan minta izin untuk bertemu. Mungkin tidak datang. Mungkin sakit. Mungkin dinas pagi. Mungkin pulang ke daerah. Mungkin ditangkap. Mungkin sudah punya kekasih baru. Ah, tidak mungkin. Itu yang tidak mungkin! Aku menghibur diri. Aku ingin berteriak mengguncangkan sendi-sendi penjara, mengirimkan gaung sampai ke lubang kupingnya.
Tapi ia belum menjadi istriku. Pak Parman yang sudah punya anak tiga bisa diceraikan istrinya minggu lalu. Apalagi yang belum menikah. Mana yang lebih menjadi jaminan: ikatan resmi atau ikatan batin? Ah tolol! “Kau jangan menghibur diri! Jangan onani. Terima saja apa yang terjadi.”
“Tidak.”
“Tidak.”
Aku tidak bisa tidur. Percakapan sahut-menyahut dalam batin. Keringat dingin meleleh di beberapa bagian tubuhku.
Beduk subuh merupakan awal kehidupan setiap pagi. Seperti terompet di tangsi. Lalu, disusul dengan dibukanya pintu sel. Setelah sembahyang subuh terdengar teriakan panggilan dari blok dapur untuk mengangkut air panas ke dalam blok. Seperti tawon buyar dari sarang, tahanan membuat antrean mengambil air panas. Hanya air panas serantang.
Sudah beberapa orang dipanggil untuk mengambil kiriman ke pintu 5, tempat penampungan tas-tas pengirim. Ada tujuh pintu penjagaan yang harus dilewati untuk sampai di luar bui. Satu-dua orang mendapat giliran bertemu dengan keluarganya. Aku menyembunyikan kegelisahan. Nimbrung pada teman-teman yang main kartu. Tapi hanya sebentar, lalu pindah ke pintu blok, berdiri bersama-sama teman lain yang juga mengharap tas kirimannya datang.
“Jangan bergerombol di sana. Nanti dilihat Seksi Satu,” seru kepala blok dari dalam selnya. Kami buyar. Aku ke WC untuk mengencingkan kegelisahan. Cuma dua tetes, sebab sejak pagi sudah berulang kali diperas, sedangkan baru secangkir air putih yang kuteguk. Tak ada sisa lagi di kantong kemih.
Namaku dipanggil. Cepat-cepat kukancingi celana. Aku bergegas ke depan sambil merapikan ikat pinggang. Wajah Nio muncul di anganku. Senyum cerah. Matanya yang sipit mengecil seolah merahasiakan gejolak yang membahana di dalam hatinya. Ia selalu minta pendapatku bila ingin memotong rambutnya. Sekarang macam apa potongan rambutnya? Aku suka potong agak pendek sehingga batang lehernya yang sering kukecup tampak menantang. Dengan blus yang tak berleher penampilannya makin menggairahkan. Sudah beberapa tahun aku tidak mengecupnya. Kini ada panggilan. Ia datang.
“Ada panggilan. Sudah ditunggu di kamar kepala blok,” kata teman yang melihat aku keluar dari WC. Aku bergegas menjumpai petugas itu. Aku memandangi Tisna, tahanan yang bekerja di Biro Dua, yang biasa bertugas memanggil tahanan dalam berbagai urusannya dengan penguasa bui. Ia memegang secarik kertas, namaku tertera di sana.
“Siapkan diri,” suaranya lemah tapi tegas.
“Pertemuan?”
“Siapkan semua barang. Pindah,” suaranya seperti guyuran air panas menyiram tubuhku, memancing kegelisahan.
“Ke mana ?”
“Tunggu saja.”
Beberapa jam kemudian aku dijemput hansip bui, diantar ke blok G tempat para tahanan yang akan dikirim ke penjara Tangerang. Penjara neraka. Petugasnya, menurut cerita tahanan yang sudah pernah ditahan di sana, ganas, sadis. Komandannya, selain mata duitan juga menggoda istri tahanan yang datang membesuk. Penjara kerja paksa.
Selama menunggu diberangkatkan, aku duduk tercenung, sepintas masih mengharapkan kedatangan Nio, masih ingin memberikan ukiran burung bercinta. Tapi aku gelisah.
Aku mau menulis puisi. Jari-jariku terasa gatal digigit puisi. Ada awan berarak di langit. Ada kekuatan yang bangkit dalam tubuhku. Aku seperti mendengar suara puisi. Aku mendengar suara sapaannya. Aku digetarkannya. Aku menahan desakan menulis itu. Meski sudah menjelang sore, aku tidak butuh makan, tidak butuh minum. Aku hanya perlu pensil dan secarik kertas. Puisi sudah menggedor jiwaku. Suaraku berdesis berulang kali. Baris-baris puisi mengalir seperti air curah dari pancuran, tanpa pensil, tanpa kertas. Berarak awan berarak/Melintasi langit penjara/Dambaku melesat menunggangnya/Menjelajah jagat raya/ Tak seutas rantai tersisa/Menambat kebebasan menjadi puisi/Berarak awan berarak/Jiwaku menyatu berkas cahaya
Suara peluit terdengar melengking, menikam keheningan dan memutus komat-kamitku. Kami digiring ke truk yang siap mengantar ke ladang kerja paksa, penjara Tangerang. (*)
Penjara Kedua
4/
5
Oleh
Syaf