BERITA kecelakaan yang ditayangkan televisi pagi ini, membuat Pak Toyib terkesiap dan tubuhnya gemetar. Sersan Wardoyo, sahabatnya, pensiunan mantan anggota Kodim, tertabrak truk gandeng di jalan raya. Sepeda motornya ikut tergilas bersama pengendaranya.
Mendadak jari jemari tangannya gemetar. Jari telunjuk tangan kanannya mengejang dan dirasakan seakan jutaan jarum menusuk-nusuk buku jarinya. Teriak kesakitan meledak memenuhi ruangan. Segera Martini, istrinya, datang membawa panci berisi rebusan daun serai yang masih mendidih.
“Wardoyo meninggal!” ujarnya sambil meringis menahan rasa sakit. “Hmmm….” Martini hanya bergumam mendengar ini, sambil mulai memgompres jari telunjuk suaminya dengan handuk setelah beberapa kali dicelup rebusan serai panas. Hampir sepuluh tahun Martini mengerjakan tugas ini. Tugas yang selalu mengingatkan masa lalunya.
“Tergilas truk gandeng!”….. “Hmmm…”…… “Wardoyo hancur, kepalanya terlindas ban!”….. “Hmmm…”….. “Kepalanya pecah rata dengan aspal jalan!”….. “Hmmm…”…… “Darah dan otaknya muncrat berhamburan di aspal jalan!”….. “Hmmm…”
Martini tak begitu peduli, masih tetap mengompres jari telunjuk suaminya berkali-kali. Biasanya tugas ini selesai sekitar satu jam, sampai suaminya mulai merasa berkurang sakitnya. Pak Toyib menangis sesenggukan meratapi kematian Wardoyo, sahabatnya. “Sudahlah Pak, jangan banyak mikir dan nonton televisi. Istirahat saja, tiduran.” Saran Martini sambil menuju dapur. Sudah lama dia ingin membicarakan penyakit aneh suaminya ini, tapi masih ragu. Sudah berbagai dokter ahli mencoba menanganinya, tapi tak ada hasil.
Martini memang menyadari, jari telunjuk suaminya inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Jari telunjuk sakti yang bisa mengubah nasib seseorang dengan hanya menuding. Pak Toyib sangat bangga dengan kesaktiannya ini, meskipun warga kampungnya melecehkannya dengan panggilan Pak Toyip Petruk, nama tokoh punakawan wayang kulit yang tangannya selalu menunjuk. Martini pun hingga sekarang tidak bisa menahan malu bila tetangganya menyebutnya Bu Petruk.
***
Kadang kala Martini masih mempertanyakan nasib dalam perjalanan hidupnya kini, apakah hanya karena Martono, adiknya, yang berpacaran dengan seorang gadis berdarah Melayu, Farida itu. Martini menyadari hubungan Martono, dengan gadis itu, pastilah hanya sekadar cinta monyet belaka. Ternyata memang selepas SMA, mereka berpisah. Gadis itu meneruskan pendidikan ke kota lain, sedang Martono dengan bekal seadanya, meninggalkan kampung untuk cari kerja di Jakarta. Dia rasakan sudahlah cukup kakaknya, Martini, kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membiayai sekolahnya. Apalagi kedua orang tuanya sudah tidak ada.
Beberapa tahun tak ada berita sedikit pun dari adiknya. Tetapi belakangan dia mendengar kabar bahwa pacar adiknya, Farida, telah menikah dengan seorang anggota ABRI yang bertugas di kota. Dan, tidak berapa lama, dengan tiba-tiba Martono pulang dari perantauannya dengan wajah murung. Mungkin karena mendapati kenyataan tentang pacarnya. Tetapi Martini kaget melihat banyak bekas luka di muka dan lengan adiknya.
“Susah Yu, cari kerja di ibu kota,” ujar Martono sambil menangis memeluk mbakyunya. “Ijazah SMA tak ada artinya. Akhirnya saya ikut menjadi pembantu cuci piring di warung Tegal, untuk bisa makan….”
“Lha kamu kena apa sampai begini?”
“13 bulan di penjara, Yu.”
“Mencopet, merampok atau menodong, atau…dihakimi masa?” Martono tak menjawab hanya memeluk mbakyunya semakin erat.
***
Martini merasa lega setelah adiknya akhirnya menghentikan kemurungannya. Tidak lagi hanya termenung seharian. Kini rumahnya tak pernah sepi dengan anak-anak muda sebaya Martono. Mereka berkumpul hampir setiap hari. Semula Martini tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka, kadangkala sering terdengar kata-kata revolusi, Nasakom yang diuraikan panjang lebar oleh seorang pemuda yang sudah dewasa yang rupanya sebagai ketua kelompoknya.
Martini sadar, memang pendidikannya yang cuma sepenggal di sekolah menengah pertama, tak bisa mamahami benar apa yang dilakukan oleh Martono dan teman-temannya. Hingga pada suatu hari, yang katanya akan menghadiri pertemuan pemuda, Martono sudah mengenakan pakaian hitam-hitam dengan kain merah melilit lehernya. Langkahnya tegap dengan sepatu hitam seperti sepatu tentara.
“Sekarang aku punya kerja dan kantor, Yu!” Mendengar ini Martini hanya melongo. Sejak itu setiap hari adiknya berpamitan hendak ke kantor.
“Kamu itu kerja apa dan di kantor mana sih?” tanya Martini, suatu pagi sebelum adiknya beranjak pergi.
“Kantor Pemuda Rakyat di kota!”
“Lha, gajimu berapa Ton?”
“Gajiku hanya kebanggaan berjuang demi kemenangan revolusi!” Martini semakin tidak paham.
Baru setelah di alun-alun malam itu diadakan perayaan Tujuh Belasan, dia sedikit mengerti. Di tengah alun-alun dibangun sebuah panggung besar. Kali itu sekitar panggung sudah dipenuhi para pemuda berseragam hitam, bersyal merah, dan para gadis belia berpakaian kebaya kain lurik dan berkain batik sebatas lutut. Dimulai dengan lagu Nasakom Bersatu yang dikumandangkan penuh semangat oleh sekitar dua puluh pemuda termasuk adiknya, tampil di panggung. Disusul dengan pidato Martono berapi api. Martini tidak begitu mengerti maknanya, yang tertangkap di telinganya adalah kata-kata: “Perjuangan kita adalah perjuangan bersama rakyat untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai!” Disambut tepuk tangan pengunjung diseling teriakan Hidup PKI gegap gempita. Tepuk tangan semakin meriah, ketika rombongan gadis belia, tampil di panggung, berlenggang-lenggok menarikan Tari Genjer-genjer.
Menjelang pertunjukan usai, tiba-tiba, di sekeliling alun-alun dipenuhi ratusan pemuda yang gaduh sambil meneriakkan kata-kata: “Marhen menang yes eyeees…… Marhen menang yes eyeees!” Serta merta para pemuda di dalam alun-alun berhamburan keluar. Keributan dahsyat tak terelakkan. Kemudian nampak polisi berdatangan. Terdengar tembakan pistol ke atas. Melihat gelagat tidak menyenangkan ini, Martini lari tunggang langgang, pulang.
Dini hari adiknya baru pulang dengan wajah penuh darah yang keluar dari luka di pelipisnya. Martini semakin cemas akan keadaan adiknya. Nampaknya yang dilakukan bukanlah perjuangan melainkan sebuah perlawanan. Semakin hari nampaknya kesibukan adiknya semakin banyak, dan wajahnya selalu penuh ketegangan. Beberapa kali tidak pulang berhari-hari.
Pada suatu malam, Martini terkesiap melihat adiknya pulang bersama Farida!
***
Hari-hari menjelang akhir tahun 1965, sebuah helikopter menderu-deru di angkasa, sambil menebarkan kertas selebaran. Semua warga berebutan mendapatkannya. Yang masih tersisa di ingatannya, adalah gambar Garuda Pancasila, di bagian teratas kertas selebaran. Isi kata-kata dalam selebaran tidak begitu dipahaminya, hanya kalimat “harus waspada menghadapi pengkhianat bangsa” dan “atas nama Panglima Tertinggi ABRI” serta “tertanda Mayor Jenderal Soeharto”. Selebaran ini terjadi berulang kali, dan konon hanya disebar di kota ini.
Sementara itu, memang beberapa hari sebelumnya terlihat keganjilan di desanya. Semua warga nampak gugup campur ketakutan. Martono juga jarang pulang. Sekilas Martini mendengar berita dari tetangganya, bahwa ada banyak jenderal yang dibunuh. Banyak warga desanya yang siap di pos jaga dengan menyandang bambu runcing yang masih banyak bercak-bercak darah.
Menjelang tengah malam Paklik Marno, paman Martini, menganjurkan supaya Martini pergi dari desa ini secepatnya, karena Martono.
“Kenapa dengan Martono,” tanya Martini kebingungan.
“Tentara bersama warga sedang mengadakan perburuan mereka yang menjadi anggota PKI.”
“Lalu dengan Martono?”
“Seorang aparat dari Kodim, sersan Wardoyo, bersama seorang jagabaya desa ini sebagai penunjuk jalan, telah menyisir seluruh desa untuk mencari Martono. Kamu tahu kan, istrinya selingkuh dengan adikmu? Dia pasti kemari, sudah 15 orang warga sini dibantai dengan tudingan orang PKI, hanya karena tidak tahu di mana adikmu berada…Sudahlah, cepat pergi!”
Paklik Marno segera bergegas lari, seperti ketakutan. Semula Martini bingung kenapa pamannya yang pensiunan tentara, juga lari. Tanpa pikir panjang dia kemasi beberapa helai baju, dan kemudian berlari menuju kota, ke kediaman Koh Ong, majikannya tempat Martini bekerja sebagai pembantu. Dan ternyata seisi rumah di kediaman majikannya, sudah berantakan. Istrinya menangis sambil menuturkan bahwa Koh Ong diciduk aparat. Martini sadar memang selama ini, majikannya adalah salah seorang guru di sekolah yang didirikan oleh organisasi Baperki.
Tiba-tiba rumah majikannya digedor-gedor. Dua orang merangsek ke dalam, seorang tentara, Sersan Wardoyo dan Pak Toyib, sang jagabaya desa. “Itu mbakyunya!” teriak sang jagabaya sambil menuding Martini. “Tidak mungkin dia tidak tahu di mana Martono! Tangkap dia dulu, pasti nanti adiknya akan menyerah!”
Dalam perjalanan menuju rumah tahanan, sang jagabaya mendekati Martini, sambil membisikkan, tentang kemungkinan akan dilepas apabila mau dinikahinya. Martini tak acuh. Yang memenuhi pikirannya hanyalah bagaimana nasib adiknya. Tapi di rumah tahanan, yang lebih merupakan rumah penyiksaan ini, ketegarannya menghadapi penderitaan runtuh. Ketika ujung kawat listrik menyentuh organ vitalnya, dan merasa ajal akan menyambutnya, sang jagabaya datang, berkacak pinggang dengan senyum menyeringai penuh arti. Dan Martini mengangguk lemah. “Betul kan?” ujar sang jagabaya, sambil memapah Martini keluar dari ruang tahanan.
“Dengan tudingan jari telunjuk ini aku bisa bikin orang mati dan hidup kembali. Seperti kamu!”
Tak lama kemudian, terdengar Paklik Marno, pensiunan anggota Batalyon Angkatan Darat yang disinyalir pendukung PKI, ditudingnya juga. Dan akhirnya meninggal oleh siksaan di penjara Beteng Pendem, Ambarawa.
***
Serasa sejuta tusukan jarum tiba-tiba menyerang buku jarinya, teriakan Pak Toyib pun menggetarkan seluruh ruangan.
“Istighfar, Pak, istighfar!” teriak Martini yang muncul begitu saja, karena tak tahan melihat penderitaan suaminya. Sebetulnya tak hendak dia mengucapkan kata itu, karena selama ini pasti akan disambut kemarahan oleh suaminya. Pak Toyib menatap tajam, matanya berkilat penuh kemarahan.
“Jangan menggurui saya!” ucapnya keras, “Kamu kira saya tak tahu, kamu mau mengatakan ini adalah kutukan Tuhan!”
Martini menyadari, rupanya suaminya masih dikuasai keangkuhan lahir akan apa yang telah dilakukan di masa lalu. Dengan bangga pernah diucapkan kepada Martini, bahwa apa yang dilakukan demi memberantas penganut ajaran anti Tuhan.
“Martiniiiiii!” teriak Pak Toyib tiba-tiba sambil mencengkeram jari telunjuk kanannya. “Mana cepat rebusan serainya!!!” Martini diam saja. Pikirannya masih melayang, terbayang akan penderitaan masa lalunya. Siksaan di tahanan, dan siksa lahir batin oleh istri tua suaminya. Yang sangat membuat hatinya hancur, ketika Martono terberitakan dibantai dan dibuang ke Luwengombo.
“Martiniiiiiii!” Suaminya menjerit semakin keras. Martini hanya sedikit menoleh sejenak ke arah suaminya. “Martini! Ambilkan rebusan seraiiii! Sialan kamu!”
“Istighfar Pak, istighfar. Lihat nasib teman bapak, Wardoyo!” Ujar Martini yang lebih seperti bentakan.
“Apa!! Kau anggap ini kutukan?!” Pak Toyib meradang, mukanya merah penuh kemarahan, sambil bangkit dari kursinya. Martini mundur selangkah. Pasti suaminya akan menghajarnya, seperti kerap kali dilakukan apabila suaminya marah.
“Akan kubuktikan! Ini bukan kutukan!” Ujar Pak Toyib, sambil lari ke dapur. Diambilnya parang pemotong daging dengan tangan kiri. Jari telunjuk kanannya ditempelkan di meja dapur. Parangnya diangkatnya tinggi-tinggi….
“Paaaaaaaaaaak!!!” Martini mengejarnya. (*)
Mendadak jari jemari tangannya gemetar. Jari telunjuk tangan kanannya mengejang dan dirasakan seakan jutaan jarum menusuk-nusuk buku jarinya. Teriak kesakitan meledak memenuhi ruangan. Segera Martini, istrinya, datang membawa panci berisi rebusan daun serai yang masih mendidih.
“Wardoyo meninggal!” ujarnya sambil meringis menahan rasa sakit. “Hmmm….” Martini hanya bergumam mendengar ini, sambil mulai memgompres jari telunjuk suaminya dengan handuk setelah beberapa kali dicelup rebusan serai panas. Hampir sepuluh tahun Martini mengerjakan tugas ini. Tugas yang selalu mengingatkan masa lalunya.
“Tergilas truk gandeng!”….. “Hmmm…”…… “Wardoyo hancur, kepalanya terlindas ban!”….. “Hmmm…”….. “Kepalanya pecah rata dengan aspal jalan!”….. “Hmmm…”…… “Darah dan otaknya muncrat berhamburan di aspal jalan!”….. “Hmmm…”
Martini tak begitu peduli, masih tetap mengompres jari telunjuk suaminya berkali-kali. Biasanya tugas ini selesai sekitar satu jam, sampai suaminya mulai merasa berkurang sakitnya. Pak Toyib menangis sesenggukan meratapi kematian Wardoyo, sahabatnya. “Sudahlah Pak, jangan banyak mikir dan nonton televisi. Istirahat saja, tiduran.” Saran Martini sambil menuju dapur. Sudah lama dia ingin membicarakan penyakit aneh suaminya ini, tapi masih ragu. Sudah berbagai dokter ahli mencoba menanganinya, tapi tak ada hasil.
Martini memang menyadari, jari telunjuk suaminya inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Jari telunjuk sakti yang bisa mengubah nasib seseorang dengan hanya menuding. Pak Toyib sangat bangga dengan kesaktiannya ini, meskipun warga kampungnya melecehkannya dengan panggilan Pak Toyip Petruk, nama tokoh punakawan wayang kulit yang tangannya selalu menunjuk. Martini pun hingga sekarang tidak bisa menahan malu bila tetangganya menyebutnya Bu Petruk.
***
Kadang kala Martini masih mempertanyakan nasib dalam perjalanan hidupnya kini, apakah hanya karena Martono, adiknya, yang berpacaran dengan seorang gadis berdarah Melayu, Farida itu. Martini menyadari hubungan Martono, dengan gadis itu, pastilah hanya sekadar cinta monyet belaka. Ternyata memang selepas SMA, mereka berpisah. Gadis itu meneruskan pendidikan ke kota lain, sedang Martono dengan bekal seadanya, meninggalkan kampung untuk cari kerja di Jakarta. Dia rasakan sudahlah cukup kakaknya, Martini, kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membiayai sekolahnya. Apalagi kedua orang tuanya sudah tidak ada.
Beberapa tahun tak ada berita sedikit pun dari adiknya. Tetapi belakangan dia mendengar kabar bahwa pacar adiknya, Farida, telah menikah dengan seorang anggota ABRI yang bertugas di kota. Dan, tidak berapa lama, dengan tiba-tiba Martono pulang dari perantauannya dengan wajah murung. Mungkin karena mendapati kenyataan tentang pacarnya. Tetapi Martini kaget melihat banyak bekas luka di muka dan lengan adiknya.
“Susah Yu, cari kerja di ibu kota,” ujar Martono sambil menangis memeluk mbakyunya. “Ijazah SMA tak ada artinya. Akhirnya saya ikut menjadi pembantu cuci piring di warung Tegal, untuk bisa makan….”
“Lha kamu kena apa sampai begini?”
“13 bulan di penjara, Yu.”
“Mencopet, merampok atau menodong, atau…dihakimi masa?” Martono tak menjawab hanya memeluk mbakyunya semakin erat.
***
Martini merasa lega setelah adiknya akhirnya menghentikan kemurungannya. Tidak lagi hanya termenung seharian. Kini rumahnya tak pernah sepi dengan anak-anak muda sebaya Martono. Mereka berkumpul hampir setiap hari. Semula Martini tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka, kadangkala sering terdengar kata-kata revolusi, Nasakom yang diuraikan panjang lebar oleh seorang pemuda yang sudah dewasa yang rupanya sebagai ketua kelompoknya.
Martini sadar, memang pendidikannya yang cuma sepenggal di sekolah menengah pertama, tak bisa mamahami benar apa yang dilakukan oleh Martono dan teman-temannya. Hingga pada suatu hari, yang katanya akan menghadiri pertemuan pemuda, Martono sudah mengenakan pakaian hitam-hitam dengan kain merah melilit lehernya. Langkahnya tegap dengan sepatu hitam seperti sepatu tentara.
“Sekarang aku punya kerja dan kantor, Yu!” Mendengar ini Martini hanya melongo. Sejak itu setiap hari adiknya berpamitan hendak ke kantor.
“Kamu itu kerja apa dan di kantor mana sih?” tanya Martini, suatu pagi sebelum adiknya beranjak pergi.
“Kantor Pemuda Rakyat di kota!”
“Lha, gajimu berapa Ton?”
“Gajiku hanya kebanggaan berjuang demi kemenangan revolusi!” Martini semakin tidak paham.
Baru setelah di alun-alun malam itu diadakan perayaan Tujuh Belasan, dia sedikit mengerti. Di tengah alun-alun dibangun sebuah panggung besar. Kali itu sekitar panggung sudah dipenuhi para pemuda berseragam hitam, bersyal merah, dan para gadis belia berpakaian kebaya kain lurik dan berkain batik sebatas lutut. Dimulai dengan lagu Nasakom Bersatu yang dikumandangkan penuh semangat oleh sekitar dua puluh pemuda termasuk adiknya, tampil di panggung. Disusul dengan pidato Martono berapi api. Martini tidak begitu mengerti maknanya, yang tertangkap di telinganya adalah kata-kata: “Perjuangan kita adalah perjuangan bersama rakyat untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai!” Disambut tepuk tangan pengunjung diseling teriakan Hidup PKI gegap gempita. Tepuk tangan semakin meriah, ketika rombongan gadis belia, tampil di panggung, berlenggang-lenggok menarikan Tari Genjer-genjer.
Menjelang pertunjukan usai, tiba-tiba, di sekeliling alun-alun dipenuhi ratusan pemuda yang gaduh sambil meneriakkan kata-kata: “Marhen menang yes eyeees…… Marhen menang yes eyeees!” Serta merta para pemuda di dalam alun-alun berhamburan keluar. Keributan dahsyat tak terelakkan. Kemudian nampak polisi berdatangan. Terdengar tembakan pistol ke atas. Melihat gelagat tidak menyenangkan ini, Martini lari tunggang langgang, pulang.
Dini hari adiknya baru pulang dengan wajah penuh darah yang keluar dari luka di pelipisnya. Martini semakin cemas akan keadaan adiknya. Nampaknya yang dilakukan bukanlah perjuangan melainkan sebuah perlawanan. Semakin hari nampaknya kesibukan adiknya semakin banyak, dan wajahnya selalu penuh ketegangan. Beberapa kali tidak pulang berhari-hari.
Pada suatu malam, Martini terkesiap melihat adiknya pulang bersama Farida!
***
Hari-hari menjelang akhir tahun 1965, sebuah helikopter menderu-deru di angkasa, sambil menebarkan kertas selebaran. Semua warga berebutan mendapatkannya. Yang masih tersisa di ingatannya, adalah gambar Garuda Pancasila, di bagian teratas kertas selebaran. Isi kata-kata dalam selebaran tidak begitu dipahaminya, hanya kalimat “harus waspada menghadapi pengkhianat bangsa” dan “atas nama Panglima Tertinggi ABRI” serta “tertanda Mayor Jenderal Soeharto”. Selebaran ini terjadi berulang kali, dan konon hanya disebar di kota ini.
Sementara itu, memang beberapa hari sebelumnya terlihat keganjilan di desanya. Semua warga nampak gugup campur ketakutan. Martono juga jarang pulang. Sekilas Martini mendengar berita dari tetangganya, bahwa ada banyak jenderal yang dibunuh. Banyak warga desanya yang siap di pos jaga dengan menyandang bambu runcing yang masih banyak bercak-bercak darah.
Menjelang tengah malam Paklik Marno, paman Martini, menganjurkan supaya Martini pergi dari desa ini secepatnya, karena Martono.
“Kenapa dengan Martono,” tanya Martini kebingungan.
“Tentara bersama warga sedang mengadakan perburuan mereka yang menjadi anggota PKI.”
“Lalu dengan Martono?”
“Seorang aparat dari Kodim, sersan Wardoyo, bersama seorang jagabaya desa ini sebagai penunjuk jalan, telah menyisir seluruh desa untuk mencari Martono. Kamu tahu kan, istrinya selingkuh dengan adikmu? Dia pasti kemari, sudah 15 orang warga sini dibantai dengan tudingan orang PKI, hanya karena tidak tahu di mana adikmu berada…Sudahlah, cepat pergi!”
Paklik Marno segera bergegas lari, seperti ketakutan. Semula Martini bingung kenapa pamannya yang pensiunan tentara, juga lari. Tanpa pikir panjang dia kemasi beberapa helai baju, dan kemudian berlari menuju kota, ke kediaman Koh Ong, majikannya tempat Martini bekerja sebagai pembantu. Dan ternyata seisi rumah di kediaman majikannya, sudah berantakan. Istrinya menangis sambil menuturkan bahwa Koh Ong diciduk aparat. Martini sadar memang selama ini, majikannya adalah salah seorang guru di sekolah yang didirikan oleh organisasi Baperki.
Tiba-tiba rumah majikannya digedor-gedor. Dua orang merangsek ke dalam, seorang tentara, Sersan Wardoyo dan Pak Toyib, sang jagabaya desa. “Itu mbakyunya!” teriak sang jagabaya sambil menuding Martini. “Tidak mungkin dia tidak tahu di mana Martono! Tangkap dia dulu, pasti nanti adiknya akan menyerah!”
Dalam perjalanan menuju rumah tahanan, sang jagabaya mendekati Martini, sambil membisikkan, tentang kemungkinan akan dilepas apabila mau dinikahinya. Martini tak acuh. Yang memenuhi pikirannya hanyalah bagaimana nasib adiknya. Tapi di rumah tahanan, yang lebih merupakan rumah penyiksaan ini, ketegarannya menghadapi penderitaan runtuh. Ketika ujung kawat listrik menyentuh organ vitalnya, dan merasa ajal akan menyambutnya, sang jagabaya datang, berkacak pinggang dengan senyum menyeringai penuh arti. Dan Martini mengangguk lemah. “Betul kan?” ujar sang jagabaya, sambil memapah Martini keluar dari ruang tahanan.
“Dengan tudingan jari telunjuk ini aku bisa bikin orang mati dan hidup kembali. Seperti kamu!”
Tak lama kemudian, terdengar Paklik Marno, pensiunan anggota Batalyon Angkatan Darat yang disinyalir pendukung PKI, ditudingnya juga. Dan akhirnya meninggal oleh siksaan di penjara Beteng Pendem, Ambarawa.
***
Serasa sejuta tusukan jarum tiba-tiba menyerang buku jarinya, teriakan Pak Toyib pun menggetarkan seluruh ruangan.
“Istighfar, Pak, istighfar!” teriak Martini yang muncul begitu saja, karena tak tahan melihat penderitaan suaminya. Sebetulnya tak hendak dia mengucapkan kata itu, karena selama ini pasti akan disambut kemarahan oleh suaminya. Pak Toyib menatap tajam, matanya berkilat penuh kemarahan.
“Jangan menggurui saya!” ucapnya keras, “Kamu kira saya tak tahu, kamu mau mengatakan ini adalah kutukan Tuhan!”
Martini menyadari, rupanya suaminya masih dikuasai keangkuhan lahir akan apa yang telah dilakukan di masa lalu. Dengan bangga pernah diucapkan kepada Martini, bahwa apa yang dilakukan demi memberantas penganut ajaran anti Tuhan.
“Martiniiiiii!” teriak Pak Toyib tiba-tiba sambil mencengkeram jari telunjuk kanannya. “Mana cepat rebusan serainya!!!” Martini diam saja. Pikirannya masih melayang, terbayang akan penderitaan masa lalunya. Siksaan di tahanan, dan siksa lahir batin oleh istri tua suaminya. Yang sangat membuat hatinya hancur, ketika Martono terberitakan dibantai dan dibuang ke Luwengombo.
“Martiniiiiiii!” Suaminya menjerit semakin keras. Martini hanya sedikit menoleh sejenak ke arah suaminya. “Martini! Ambilkan rebusan seraiiii! Sialan kamu!”
“Istighfar Pak, istighfar. Lihat nasib teman bapak, Wardoyo!” Ujar Martini yang lebih seperti bentakan.
“Apa!! Kau anggap ini kutukan?!” Pak Toyib meradang, mukanya merah penuh kemarahan, sambil bangkit dari kursinya. Martini mundur selangkah. Pasti suaminya akan menghajarnya, seperti kerap kali dilakukan apabila suaminya marah.
“Akan kubuktikan! Ini bukan kutukan!” Ujar Pak Toyib, sambil lari ke dapur. Diambilnya parang pemotong daging dengan tangan kiri. Jari telunjuk kanannya ditempelkan di meja dapur. Parangnya diangkatnya tinggi-tinggi….
“Paaaaaaaaaaak!!!” Martini mengejarnya. (*)
Petruk
4/
5
Oleh
Syaf