Mendung menggantung. Serupa enggan, selayak segan. Seperti ia yang sialnya aku jadikan idaman. Di seberang sana membalas pesan setengah mati ogah-ogahan. Di biarkannya harapan ini tergantung, dipikirnya lucu aku terseok sendiri terkatung-katung.
Aku mendesah. Gelisah. Sekali saja aku ingin bercengkerama dengan Hera dan bertanya, apa pernah ia berputus asa menyaksikan Dewa Zeus berkelana dari satu wanita ke lain wanita? Sungguh, tak ada yang lebih perih dari patah hati oleh suami sendiri. Keluar dari istana mewah, berharap jadi ratu di negeri orang, berujung sekadar jadi kacung.
“Tak perlu pakai nasi,” ujarku pada pramusaji yang sedari tadi menanti. Dicatatnya dengan teliti, seolah aku penguasa yang minta dibukakan pintu langit, bukannya sekadar makan tanpa nasi.
“Oh, itu rahasianya langsing begini?” goda mereka yang duduk mengelilingiku.
“Ah, cuma sekadar yoga dan kurangi gula.”
Tak perlu kusebut tentang puluhan kilo lari di sela-sela pekerjaan dan mengasuh anak-anak. Tak perlu juga mereka tahu perih-pedih perut lapar ini setiap tiga jam sekali. Cukup tahu beratku yang dulu seratus kilo kini ciut diserbu olahraga tanpa jeda. Sebut semua yang kau tahu, tubuh ini pasti sudah jejaki. Lari, maraton, yoga, sepeda, body pump, semua.
“Ini kulitmu mulus begini sekarang karena perawatan atau karena makan sayur buah saja?”
“Rajin facial juga ya?”
“Ih, pasti bangga sekali Adnan, istrinya sudah melahirkan berkali-kali, singsetnya seperti perawan. Makin tua, makin cantik.”
Setengah menggoda, setengah iri, aku biarkan jemari mereka menjelajah. Usia mereka sama denganku, bedanya, mereka biarkan usia menjadi alasan, anak menjadi kambing hitam, kesibukan menjadi penghalang. Tak apa, biar mereka raba pinggang yang takkan mereka dapatkan lagi. Rambut yang hanya ada di sampul majalah langganan mereka.
Telepon bergetar. Kini, tak ada lagi yang penting, kuhiraukan kata-kata tembus begitu saja melewati telinga. Akhirnya, Hermes datang mengantarkan sebuah pesan yang kunanti sedari pagi. Hanya untuk lemparkan sepatah kata: Ok.
Padahal, panjang sudah pertanyaan aku rangkai hati-hati dengan cantik. Pa, sudah makan? Papa lagi apa? Kangen Mama kah? Tadi Zaydan tanya, Papa pulang jam berapa? Inap di kantor lagi kah? Mau Mama bawakan bekal? Kuselipkan pula puisi Neruda agar ia tahu rindu kali ini bersemu sendu.
Hatiku patah sekali lagi, meski ini bukan pertama kalinya, aku yakin bukan pula untuk terakhir kalinya. Lunglai, kucoba menjawab obrolan yang kian tak menarik ini. Aku hanya ingin bergelung di kasur, melilitkan diri dengan selimut yang jauh lebih hangat dari suamiku sendiri.
Sejak anak kami lahir, ia memang semakin asing. Kala malam, kami selayaknya dua orang karam yang terpaksa mengembara bersama. Lebih banyak tidur, jarang sekali ia ajak aku bercengkerama.
Padahal, ingin rasanya aku bicara tentang mimpi, buku-buku puisi, lukisan wajahnya. Atau, tak mengapa aku dengarkan ia cerita. Tentang dunia filosofi, kata-kata, kerumitan hidupnya yang entah semrawut seperti apa. Tapi, setiap pertanyaan diiringi jawaban singkat antara ya dan tidak. Sebagai dosen, seharusnya ia tahu jawaban atas pertanyaan esai yang kulontarkan tak layak mendapat nilai C sekali pun.
“Berhenti bertanya akan hal yang takkan kamu pahami. Sudah, lanjutkan saja memasak atau lari.” Pernah ia tutup pintu sekaligus mulutku dengan dua kalimat itu.
“Tak apa, Nduk. Kamu ini harus tahu di untung. Sing penting dia masih pulang ke rumah. Tugas kita wanita ini mengabdi tok.” Tanggapan Ibu sewaktu aku masih berkenan untuk mengeluh justru semakin membuatku patah hati.
“Lelaki itu pemimpin. Kita ini takdirnya di rumah. Sediakan semua yang ia perlukan, kita ini harus tahu diri. Biarkan ia berkelana, sepanjang masih memenuhi tanggung jawabnya.”
Maka, berjuanglah aku yang dulunya pendaki gunung menjadi anak rumah. Ralat, anak dapur. Kuantar jemput anak-anaknya. Kumasakkan penganan enak untuk orang tuanya. Kusetrika baju-bajunya. Malamnya, aku mengemis untuk sekadar cinta, tapi mungkin terlalu mahal harganya.
Semua orang yang aku tahu memiliki affair. Setengah mati aku berusaha tidak memikirkannya, tapi apa daya. Lagi dan lagi pertanyaan itu muncul di kepala: Apa Adnan memiliki simpanan? Sering kutanya, Adnan selalu menjawab, sumpah tak ada wanita lain! Sungguh sia-sia bertanya, mana ada maling mengaku?
Ibu benar, aku ini sungguh beruntung. Setelah bertahun-tahun bertanya, kini disodorkanlah jawabannya. Langsung ke depan hidung. Kudapati Adnan persis di depan mal. Di sisinya, bergelayut manja sesosok manusia. Kusebut ia manusia karena aku terlalu bermartabat untuk menyebutnya babi, meski sungguh serupa itu penampakannya. Meski berselimut minyak dan jerawat, wajahnya berkali-kali dikecupi Adnan. Kutahan sedemikian rupa agar tidak mati berdiri. Tak pernah ia menciumku sedemikian rupa di depan semua mata.
“Hei, sadar. Kenapa?” tanya temanku setelah cipika-cipiki berpisah dengan yang lain. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Kulirik sedikit di cermin toko, ah aku pucat pasi seperti orang lihat hantu. Aku menggeleng, beruntung sekali kalau saja yang aku lihat adalah hantu bukannya dua sosok tadi. Aku ucapkan selamat tinggal sekali lagi setengah tergesa. Kali ini, melangkahkan kaki mengikuti Adnan dan dia entah siapa namanya.
Film horor picisan. Itu yang mereka pilih. Sungguh, aku tak percaya. Puluhan tahun tak pernah sekali pun ia mau injakkan kaki ke bioskop, sekali-kalinya aku temui ia nonton film, justru film porno berbungkus horor. Berkali-kali kutegaskan mata, apa sungguh ia Adnan? Berkali-kali pula aku dibuat kecewa oleh fakta yang menampar-nampar tanpa ampun, iya, sudah terima saja.
Kuikuti mereka dengan hati-hati seharian. Mungkin aku sakit jiwa, wanita lain akan mengambil foto sekali, lalu pergi. Atau, dengan beringas mengamuk banting ini dan itu di depan publik. Tapi, aku setengah menikmati. Debaran jantung tak habis-habisnya berdetak menghantam tulang rusuk. Seolah berontak ingin meledak. Sudah lama Adnan tak membuatku merasakan apa-apa selain kecewa. Jadi, kali ini aku biarkan ia membuatku merasa, apa pun itu namanya.
Sehabis film yang setengahnya bahkan tak mereka tonton karena sibuk menjilati wajah satu sama lain, Adnan beranjak ke kafe. Kafe dengan minuman anggur terbaik se-Indonesia. Aku tahu jelas karena aku yang pernah memohon-mohon mengajaknya ke tempat ini. Ajakan yang lagi-lagi di jawab singkat dengan ucapan “terlalu sibuk”.
Lihat, seolah tadi kurang, mereka berciuman lagi di balik buku menu. Tak pedulikan orang lewat yang melongok penasaran. Tak pedulikan sang pelayan yang setengah mati gelisah entah mengapa. Kunikmati pemandangan mereka saling suap sambil sesekali kuambil foto. Setengah sinting aku berpikir, mungkin lebih seru kalau aku ini bukan istrinya melainkan fotografer prewedding mereka.
Aku tiba di rumah dengan mendung masih mengiring. Seolah ia terikat denganku. Atau, mungkin aku yang sebenarnya terikat dengan si mendung hingga hidupku harus sama-sama tanggung. Ingin menangis saja aku tak mampu teteskan air mata. Semacam beku. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang setelah melihat mereka berdua dan aku bukan lagi aku melainkan manusia berhati beku yang tak menangis kala menemukan suaminya berselingkuh.
Sesampai di rumah, aku siapkan makan terlebih dahulu. Masakan kesukaannya dan beberapa resep baru. Benar dugaanku, butuh dua jam kemudian untuk ia tiba di rumah. Baru selangkah ia masuk, kusodorkan foto mereka berdua saling bercumbu di mana-mana.
“Aku ingin bicara,” ujarku.
“Aku ingin bercerai,” jawab Adnan lebih cepat lagi.
“Agar kamu bisa menikahi selingkuhan gendutmu?”
Tangannya terangkat. Hendak menampar.
“Jangan sekali-kali kau sebut ia seperti itu.”
Ironis. Aku harus santun pada selingkuhan suamiku. Mungkin kelak aku bertemu, disuruhnya aku cium tangan manusia itu.
“Aku lega akhirnya kamu tahu setelah bertahun-tahun ini.” Ia terdiam sejenak. “Kau tahu kenapa aku selingkuh?” Adnan dengan santainya berjalan ke meja makan yang sudah terisi makanan hangat.
Karena kamu bajingan keparat? Tapi, kutelan jawabanku. Kuangkat bahu seakan tak tahu menahu.
“Ia mengingatkanku akan dirimu yang dulu. Yang galak, penuh cemburu, setengah mati mengesalkan. Sekarang, kau selalu manut, tak pernah cari ribut, takut aku tinggal. Ia membuatku merasa hidup. Kau kini terlalu… sempurna. Tanpa celah. Membosankan.”
Aku mengangguk, terlihat paham, padahal otakku lebih kusut dari sebelumnya. Untungnya, ia terus bicara sambil menyendokkan nasi.
“Baiknya kita berdamai saja. Kau masih muda, masih cantik. Carilah pria lain. Kita hidup masing-masing saja. Bawa anak-anak denganmu, beri aku kesempatan membuat hidup baru.”
Setelah mengambil nasi dan lauk untuknya sendiri, Adnan berhenti sesaat. Ia ambil piring lagi, ia sendokkan nasi, kali ini untukku. Mungkin manifestasi akan rasa bersalah atau caranya memanjakanku agar aku bilang iya. Entah. Kau takkan pernah tahu isi kepala kaum pria.
“Tak perlu pakai nasi,” gumamku. Ia terbahak lama sebelum meletakkan nasi itu kembali.
“Ya, ya, ya. Aku lupa kau takut gemuk,” setengah meledek, dipenuhinya piringku dengan lauk dan sayur.
Adnan sendokkan nasi ke mulutnya. Ditelannya beberapa sendok sebelum kemudian terbatuk. Lagi dan lagi. Ia pukul sekuat tenaga dadanya sendiri. Lalu melambaikan tangan semacam orang yang tenggelam. Aku duduk, dorong sedikit air meski tahu busa di mulutnya takkan hilang hanya oleh beberapa teguk air minum.
Aku sendokkan sayuran tanpa nasiku.
“Sudah kubilang, tak perlu pakai nasi.” Kuelus rambutnya yang kini kotor oleh nasi. Suara tercekik keluar lagi. Aku menghela napas menahan kesal. Sungguh, tidak sopan berisik kala makan. Contoh yang tidak baik untuk anak-anak.
Foto Adnan dan dewa bercumbu masih terpampang di layar ponselku. Pria tua berjambang yang bertubuh gemuk. Mana kutahu Adnan tak suka wanita muda yang langsing penurut. Adnan tak suka wanita muda. Ah, Adnan bahkan tak suka wanita sama sekali.
Mendung masih menggantung. Kini, aku berdiri di penghujung, tapi sungguh beruntung, tak perlu lagi bingung. Tak perlu pula merajuk meraung-raung. Kurapikan posisi duduk Adnan, kepalanya kini lunglai. Kulihat dahinya tengah sibuk bercengkrama dengan nasi. Tak apa, biar kuberi waktu agar ia merenung.
Kutatap langit kelabu dari sisi lain jendela. Hari ini tak perlu joging. Ada olahraga yang lebih melelahkan menanti. Tak perlu lagi berusaha kurus untuk mempertahankan orang yang sedari awal memang tak pernah tinggal. Kuletakkan hatiku di tepian waktu yang menggaung. Biar menggantung. Seperti mendung.
Satu tarikan napas terdengar sekali lagi. Kali ini, untuk terakhir kali. Ah. Akhirnya langit pecah. Hujan pun membucah.
Aku mendesah. Gelisah. Sekali saja aku ingin bercengkerama dengan Hera dan bertanya, apa pernah ia berputus asa menyaksikan Dewa Zeus berkelana dari satu wanita ke lain wanita? Sungguh, tak ada yang lebih perih dari patah hati oleh suami sendiri. Keluar dari istana mewah, berharap jadi ratu di negeri orang, berujung sekadar jadi kacung.
“Tak perlu pakai nasi,” ujarku pada pramusaji yang sedari tadi menanti. Dicatatnya dengan teliti, seolah aku penguasa yang minta dibukakan pintu langit, bukannya sekadar makan tanpa nasi.
“Oh, itu rahasianya langsing begini?” goda mereka yang duduk mengelilingiku.
“Ah, cuma sekadar yoga dan kurangi gula.”
Tak perlu kusebut tentang puluhan kilo lari di sela-sela pekerjaan dan mengasuh anak-anak. Tak perlu juga mereka tahu perih-pedih perut lapar ini setiap tiga jam sekali. Cukup tahu beratku yang dulu seratus kilo kini ciut diserbu olahraga tanpa jeda. Sebut semua yang kau tahu, tubuh ini pasti sudah jejaki. Lari, maraton, yoga, sepeda, body pump, semua.
“Ini kulitmu mulus begini sekarang karena perawatan atau karena makan sayur buah saja?”
“Rajin facial juga ya?”
“Ih, pasti bangga sekali Adnan, istrinya sudah melahirkan berkali-kali, singsetnya seperti perawan. Makin tua, makin cantik.”
Setengah menggoda, setengah iri, aku biarkan jemari mereka menjelajah. Usia mereka sama denganku, bedanya, mereka biarkan usia menjadi alasan, anak menjadi kambing hitam, kesibukan menjadi penghalang. Tak apa, biar mereka raba pinggang yang takkan mereka dapatkan lagi. Rambut yang hanya ada di sampul majalah langganan mereka.
Telepon bergetar. Kini, tak ada lagi yang penting, kuhiraukan kata-kata tembus begitu saja melewati telinga. Akhirnya, Hermes datang mengantarkan sebuah pesan yang kunanti sedari pagi. Hanya untuk lemparkan sepatah kata: Ok.
Padahal, panjang sudah pertanyaan aku rangkai hati-hati dengan cantik. Pa, sudah makan? Papa lagi apa? Kangen Mama kah? Tadi Zaydan tanya, Papa pulang jam berapa? Inap di kantor lagi kah? Mau Mama bawakan bekal? Kuselipkan pula puisi Neruda agar ia tahu rindu kali ini bersemu sendu.
Hatiku patah sekali lagi, meski ini bukan pertama kalinya, aku yakin bukan pula untuk terakhir kalinya. Lunglai, kucoba menjawab obrolan yang kian tak menarik ini. Aku hanya ingin bergelung di kasur, melilitkan diri dengan selimut yang jauh lebih hangat dari suamiku sendiri.
Sejak anak kami lahir, ia memang semakin asing. Kala malam, kami selayaknya dua orang karam yang terpaksa mengembara bersama. Lebih banyak tidur, jarang sekali ia ajak aku bercengkerama.
Padahal, ingin rasanya aku bicara tentang mimpi, buku-buku puisi, lukisan wajahnya. Atau, tak mengapa aku dengarkan ia cerita. Tentang dunia filosofi, kata-kata, kerumitan hidupnya yang entah semrawut seperti apa. Tapi, setiap pertanyaan diiringi jawaban singkat antara ya dan tidak. Sebagai dosen, seharusnya ia tahu jawaban atas pertanyaan esai yang kulontarkan tak layak mendapat nilai C sekali pun.
“Berhenti bertanya akan hal yang takkan kamu pahami. Sudah, lanjutkan saja memasak atau lari.” Pernah ia tutup pintu sekaligus mulutku dengan dua kalimat itu.
“Tak apa, Nduk. Kamu ini harus tahu di untung. Sing penting dia masih pulang ke rumah. Tugas kita wanita ini mengabdi tok.” Tanggapan Ibu sewaktu aku masih berkenan untuk mengeluh justru semakin membuatku patah hati.
“Lelaki itu pemimpin. Kita ini takdirnya di rumah. Sediakan semua yang ia perlukan, kita ini harus tahu diri. Biarkan ia berkelana, sepanjang masih memenuhi tanggung jawabnya.”
Maka, berjuanglah aku yang dulunya pendaki gunung menjadi anak rumah. Ralat, anak dapur. Kuantar jemput anak-anaknya. Kumasakkan penganan enak untuk orang tuanya. Kusetrika baju-bajunya. Malamnya, aku mengemis untuk sekadar cinta, tapi mungkin terlalu mahal harganya.
Semua orang yang aku tahu memiliki affair. Setengah mati aku berusaha tidak memikirkannya, tapi apa daya. Lagi dan lagi pertanyaan itu muncul di kepala: Apa Adnan memiliki simpanan? Sering kutanya, Adnan selalu menjawab, sumpah tak ada wanita lain! Sungguh sia-sia bertanya, mana ada maling mengaku?
Ibu benar, aku ini sungguh beruntung. Setelah bertahun-tahun bertanya, kini disodorkanlah jawabannya. Langsung ke depan hidung. Kudapati Adnan persis di depan mal. Di sisinya, bergelayut manja sesosok manusia. Kusebut ia manusia karena aku terlalu bermartabat untuk menyebutnya babi, meski sungguh serupa itu penampakannya. Meski berselimut minyak dan jerawat, wajahnya berkali-kali dikecupi Adnan. Kutahan sedemikian rupa agar tidak mati berdiri. Tak pernah ia menciumku sedemikian rupa di depan semua mata.
“Hei, sadar. Kenapa?” tanya temanku setelah cipika-cipiki berpisah dengan yang lain. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Kulirik sedikit di cermin toko, ah aku pucat pasi seperti orang lihat hantu. Aku menggeleng, beruntung sekali kalau saja yang aku lihat adalah hantu bukannya dua sosok tadi. Aku ucapkan selamat tinggal sekali lagi setengah tergesa. Kali ini, melangkahkan kaki mengikuti Adnan dan dia entah siapa namanya.
Film horor picisan. Itu yang mereka pilih. Sungguh, aku tak percaya. Puluhan tahun tak pernah sekali pun ia mau injakkan kaki ke bioskop, sekali-kalinya aku temui ia nonton film, justru film porno berbungkus horor. Berkali-kali kutegaskan mata, apa sungguh ia Adnan? Berkali-kali pula aku dibuat kecewa oleh fakta yang menampar-nampar tanpa ampun, iya, sudah terima saja.
Kuikuti mereka dengan hati-hati seharian. Mungkin aku sakit jiwa, wanita lain akan mengambil foto sekali, lalu pergi. Atau, dengan beringas mengamuk banting ini dan itu di depan publik. Tapi, aku setengah menikmati. Debaran jantung tak habis-habisnya berdetak menghantam tulang rusuk. Seolah berontak ingin meledak. Sudah lama Adnan tak membuatku merasakan apa-apa selain kecewa. Jadi, kali ini aku biarkan ia membuatku merasa, apa pun itu namanya.
Sehabis film yang setengahnya bahkan tak mereka tonton karena sibuk menjilati wajah satu sama lain, Adnan beranjak ke kafe. Kafe dengan minuman anggur terbaik se-Indonesia. Aku tahu jelas karena aku yang pernah memohon-mohon mengajaknya ke tempat ini. Ajakan yang lagi-lagi di jawab singkat dengan ucapan “terlalu sibuk”.
Lihat, seolah tadi kurang, mereka berciuman lagi di balik buku menu. Tak pedulikan orang lewat yang melongok penasaran. Tak pedulikan sang pelayan yang setengah mati gelisah entah mengapa. Kunikmati pemandangan mereka saling suap sambil sesekali kuambil foto. Setengah sinting aku berpikir, mungkin lebih seru kalau aku ini bukan istrinya melainkan fotografer prewedding mereka.
Aku tiba di rumah dengan mendung masih mengiring. Seolah ia terikat denganku. Atau, mungkin aku yang sebenarnya terikat dengan si mendung hingga hidupku harus sama-sama tanggung. Ingin menangis saja aku tak mampu teteskan air mata. Semacam beku. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang setelah melihat mereka berdua dan aku bukan lagi aku melainkan manusia berhati beku yang tak menangis kala menemukan suaminya berselingkuh.
Sesampai di rumah, aku siapkan makan terlebih dahulu. Masakan kesukaannya dan beberapa resep baru. Benar dugaanku, butuh dua jam kemudian untuk ia tiba di rumah. Baru selangkah ia masuk, kusodorkan foto mereka berdua saling bercumbu di mana-mana.
“Aku ingin bicara,” ujarku.
“Aku ingin bercerai,” jawab Adnan lebih cepat lagi.
“Agar kamu bisa menikahi selingkuhan gendutmu?”
Tangannya terangkat. Hendak menampar.
“Jangan sekali-kali kau sebut ia seperti itu.”
Ironis. Aku harus santun pada selingkuhan suamiku. Mungkin kelak aku bertemu, disuruhnya aku cium tangan manusia itu.
“Aku lega akhirnya kamu tahu setelah bertahun-tahun ini.” Ia terdiam sejenak. “Kau tahu kenapa aku selingkuh?” Adnan dengan santainya berjalan ke meja makan yang sudah terisi makanan hangat.
Karena kamu bajingan keparat? Tapi, kutelan jawabanku. Kuangkat bahu seakan tak tahu menahu.
“Ia mengingatkanku akan dirimu yang dulu. Yang galak, penuh cemburu, setengah mati mengesalkan. Sekarang, kau selalu manut, tak pernah cari ribut, takut aku tinggal. Ia membuatku merasa hidup. Kau kini terlalu… sempurna. Tanpa celah. Membosankan.”
Aku mengangguk, terlihat paham, padahal otakku lebih kusut dari sebelumnya. Untungnya, ia terus bicara sambil menyendokkan nasi.
“Baiknya kita berdamai saja. Kau masih muda, masih cantik. Carilah pria lain. Kita hidup masing-masing saja. Bawa anak-anak denganmu, beri aku kesempatan membuat hidup baru.”
Setelah mengambil nasi dan lauk untuknya sendiri, Adnan berhenti sesaat. Ia ambil piring lagi, ia sendokkan nasi, kali ini untukku. Mungkin manifestasi akan rasa bersalah atau caranya memanjakanku agar aku bilang iya. Entah. Kau takkan pernah tahu isi kepala kaum pria.
“Tak perlu pakai nasi,” gumamku. Ia terbahak lama sebelum meletakkan nasi itu kembali.
“Ya, ya, ya. Aku lupa kau takut gemuk,” setengah meledek, dipenuhinya piringku dengan lauk dan sayur.
Adnan sendokkan nasi ke mulutnya. Ditelannya beberapa sendok sebelum kemudian terbatuk. Lagi dan lagi. Ia pukul sekuat tenaga dadanya sendiri. Lalu melambaikan tangan semacam orang yang tenggelam. Aku duduk, dorong sedikit air meski tahu busa di mulutnya takkan hilang hanya oleh beberapa teguk air minum.
Aku sendokkan sayuran tanpa nasiku.
“Sudah kubilang, tak perlu pakai nasi.” Kuelus rambutnya yang kini kotor oleh nasi. Suara tercekik keluar lagi. Aku menghela napas menahan kesal. Sungguh, tidak sopan berisik kala makan. Contoh yang tidak baik untuk anak-anak.
Foto Adnan dan dewa bercumbu masih terpampang di layar ponselku. Pria tua berjambang yang bertubuh gemuk. Mana kutahu Adnan tak suka wanita muda yang langsing penurut. Adnan tak suka wanita muda. Ah, Adnan bahkan tak suka wanita sama sekali.
Mendung masih menggantung. Kini, aku berdiri di penghujung, tapi sungguh beruntung, tak perlu lagi bingung. Tak perlu pula merajuk meraung-raung. Kurapikan posisi duduk Adnan, kepalanya kini lunglai. Kulihat dahinya tengah sibuk bercengkrama dengan nasi. Tak apa, biar kuberi waktu agar ia merenung.
Kutatap langit kelabu dari sisi lain jendela. Hari ini tak perlu joging. Ada olahraga yang lebih melelahkan menanti. Tak perlu lagi berusaha kurus untuk mempertahankan orang yang sedari awal memang tak pernah tinggal. Kuletakkan hatiku di tepian waktu yang menggaung. Biar menggantung. Seperti mendung.
Satu tarikan napas terdengar sekali lagi. Kali ini, untuk terakhir kali. Ah. Akhirnya langit pecah. Hujan pun membucah.
Tak Perlu Pakai Nasi
4/
5
Oleh
Syaf