“LALU yang terjadi, kalian tahu? Semua rig yang mengangguk-angguk itu, yang mereka sebut pipa angguk, yang selama ini memompa minyak dari dalam perut bumi dan mengalirkannya ke pipa-pipa yang panjangnya beratus kilometer menuju penampungan di tepi laut, tiba-tiba berbau amis. Sangat tajam menusuk hidung. Semua pekerja terkejut. Mereka tak mampu menahan bau amis yang menyengat tajam itu. Bahkan lama-lama berubah menjadi bau busuk. Mereka banyak yang muntah meski telah menutup hidung dan mulut dengan sapu tangan atau dengan segala apa yang ada yang bisa digunakan untuk menutup mukanya…”
“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya salah satu anak.
Tuan Tukang Koba itu menghela napas dalam-dalam. Beberapa saat dia terdiam, pandangannya tajam, tetapi kosong tanpa arah. Seperti menyimpan sesuatu.
“Semua rig itu mengeluarkan nanah dan dialirkan ke semua pipa yang bermuara ke penampungan di tepi laut itu…”
“Minyak tanah?” tanya seorang anak lainnya.
“Kan tambang minyak memang mengeluarkan minyak tanah, Tuan?” kata anak yang lain lagi.
Tuan Tukang Koba kembali menghela napas dalam-dalam. Selain pandangannya tetap kosong ke arah entah, kali ini giginya juga bergemerutuk. “Nanah!”
“Nanah???” hampir serentak anak-anak di sanggar cerita itu berucap.
“Kok bisa, Tuan? Bukankah dalam buku pelajaran sekolah kami tambang minyak tanah seharusnya mengeluarkan minyak tanah, tambang batu bara mengeluarkan batu bara, tambang timah mengeluarkan timah…”
“Dengarkan saya!” terdengar suara Tuan Tukang Koba yang seperti gelegar petir di telinga anak-anak itu. Seketika mereka terdiam. Ketakutan. Menyadari itu, Tuan Tukang Koba berusaha tersenyum. Berusaha senyumnya dimanis-maniskan…
“Begini…” dia menghela napas dalam-dalam. “Sebentar lagi saya ceritakan. Tapi kalian tak usah ketakutan, ya. Ayo semuanya senyum…”
***
INI cerita tentang si Mahdi, sekian puluh tahun yang lalu.
Mahdi bukan anak seorang dukun, cenayang, atau semua kata yang sejenis dengan itu. Dia anak Mahruz, yang tinggal tak jauh dari ceruk sungai, tempat hampir 40-an kepala keluarga bermukim di sana. Hampir semuanya bertani atau berkebun. Pohon-pohon getah berejejer tak teratur, yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Setiap pagi hingga sore, mereka menakik getah. Setelah itu, getah yang sudah membeku—mereka menyebutnya ojol—dan terkumpul dibeli oleh seorang tauke yang membawanya ke kota lewat sungai.
Selain itu, ada yang menanami tanah mereka dengan sayur-sayuran. Jika hasilnya banyak, ada pedagang pengumpul dari dusun lain yang datang dan membelinya untuk dijual ke kota, juga dengan perahu lewat sungai.
Tidak hanya bertani dan berkebun, ada juga yang setiap hari memilih mencari ikan di sungai. Mereka memancing ikan-ikan besar yang kemudian juga dibawa ke kota oleh pedagang pengumpul jika jumlah yang didapat banyak. Biasanya, pedagang pengumpul itu datang pagi-pagi saat para pemancing pulang. Hasil pancingan itu dimasukkan dalam sebuah kotak besar di sebuah perahu. Setelah itu, di atasnya diberi balok-balok es yang memang sudah dipersiapkan oleh si pedagang pengumpul. Ikan lomek, tapah, baung, selais, toman, dan banyak jenisnya lagi berharga mahal di kota, seperti Duri atau Pekanbaru.
Abah Mahdi, Mahruz, punya kebun getah yang, meskipun tak luas, cukup untuk menghidupi Mahdi dan ibunya, Siti Muftah. Kadang-kadang Mahruz pergi mencari ikan di malam hari. Jika besoknya hari libur sekolah, Mahdi sering diajak. Senang sekali hati Mahdi. Meski tak dapat banyak, dia bisa ikut memancing dan yang sering memakan umpannya adalah ikan-ikan penuh duri, seperti ikan juaro.
“Mata pancingmu harus yang kecil biar ikan kecil juga yang memakannya. Kalau pakai mata pancing besar, mike nanti tak bisa menahan ikan besar. Bisa-bisa mike tercebur dalam sungai,” kata abahnya, suatu kali.
Mahdi mengiyakan dan senang sekali bisa selalu ikut abahnya memancing meski hanya seminggu sekali. Bahagia sekali anak kelas 4 SD ini. Kadang beberapa teman sebayanya juga diajak abah masing-masing untuk naik perahu dan ikut memancing di malam hari.
Mahdi ingat ketika itu, semuanya sangat menyenangkan bagi kehidupan dia dan keluarganya, juga hampir seluruh warga di ceruk sungai itu. Namun, entah kapan mulainya, kebahagiaan itu terenggut darinya.
Awalnya, di sebuah siang yang terik, datang rombongan orang kota ke kampung mereka. Katanya mereka insinyur, entah ahli geologi atau ahli perminyakan. Mereka mengadakan penelitian di kampung itu. Setelah beberapa hari mereka kembali ke kota. Namun, beberapa pekan setelah itu, rombongan yang lebih besar, termasuk camat, datang lagi. Ada beberapa tentara berbaju loreng. Kelihatan ada senjata yang menempel di pinggang mereka.
Mereka mengatakan kampung di ceruk sungai itu mengandung energi yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Ada minyak di perut kampung itu.
“Sebagai warga negara yang taat kepada pemerintah, maka kita harus maklum. Masyarakat harus pindah karena kawasan ini akan dikuasai negara untuk kepentingan bersama. Akan dibangun kilang minyak di sini. Nanti pemerintah akan mencarikan tempat baru untuk seluruh warga. Percayalah, pemerintah tak akan menyengsarakan rakyatnya. Pembangunan kilang ini juga dalam rangka memakmurkan rakyat…” begitu kata Pak Camat, yang diamini oleh seluruh rombongan dari kota itu.
Tak ada yang berani melawan. Penduduk kampung yang dikumpulkan di balai dusun itu hanya diam. Tak ada yang berani bicara. Sekali-kali mereka melihat pinggang beberapa tentara yang datang, dan melihat ada yang menyembul di sana.
“Lalu, ke mana si Mahdi dan penduduk kampung itu setelah tanah mereka dijadikan kilang minyak, Tuan?” tanya salah seorang anak.
Sejenak, Tuan Tukang Kobaitu menghela napas lagi.
***
MAHDI tak tahu penyebab mengapa kemudian ayahnya seperti orang linglung. Sudah setahun lebih mereka tinggal di seberang sungai, berseberangan dengan kampungnya yang kini sudah mulai terlihat pipa-pipa angguk dan ratusan pekerja tambang yang hilir-mudik. Mahdi dan keluarganya, juga penduduk kampung lainnya, harus membuka lahan baru, hutan baru, menjadi perkampungan. Mereka diberi uang ganti rugi oleh pemerintah atau perusahaan minyak itu untuk jadi modal sampai mereka mandiri lagi.
Awalnya, mereka memang bisa hidup lumayan enak ketika uangnya masih ada. Namun itu hanya dalam hitungan beberapa bulan. Setelah itu, mereka bingung karena tak memiliki kebun karet. Hasil menanam sayur-sayuran cukup untuk dimakan sendiri. Mereka memang masih mencari ikan di sungai, namun hasilnya juga tak seberapa. Lama-lama, banyak penduduk di kampung baru itu yang menghilang. Katanya mereka banyak yang keluar, pergi entah ke mana.
Mahruz dan keluarganya tetap bertahan di kampung itu bersama sekitar lima atau enam kepala keluarga lainnya. Namun, suatu hari, Mahdi tak melihat emaknya berada di rumah. Dia tanyakan ke abahnya. Hanya gelengan kepala yang didapatkannya. Besoknya, dia bertanya lagi, kali ini gelengan kepala berkali-kali yang didapatkannya dari abahnya. Beberapa hari kemudian, ketika dia tanya lagi, abahnya sudah seperti orang linglung. Tak menggeleng, tatapannya kosong ke arah yang tak jelas dengan kepala teleng. Dia tanya ke tetangganya, ada apa dengan abahnya. Mereka menjawab kalau abahnya sudah hilang ingatan.
“Emakmu kepincut dengan pegawai tambang di seberang sana. Emakmu tak tahan hidup susah seperti kita ini…” kata tetangganya.
Mahdi menangis meraung-raung mendengar itu. Dia kemudian berlari ke arah dermaga kecil, melepas perahu kecil dari tambatannya, dan mengayuh perahu itu ke seberang. Sesampai di seberang, dia berlari lagi ke arah para pekerja tambang yang hampir semuanya belepotan minyak dan oli berwarna hitam yang menempel di baju kerja mereka yang berwarna jingga.
“Mana emakku? Mana emakku? Di mana kalian sembunyikan emakku?”
Suara lengkingan Mahdi membuat para pekerja tambang itu berhenti sejenak, namun mereka tetap melanjutkan pekerjaannya karena mata bor sedang menghujam ke perut bumi dan tak bisa ditinggalkan hanya untuk mengurus anak kecil yang sedang mencari emaknya.
“Di mana kalian sembunyikan emakku? Di mana emakku? Kalian apakan emakku?”
Mahdi kemudian meneriakkan hal yang sama ke para pekerja lainnya di kelompok yang lain. Namun tak ada yang menggubrisnya. Lama-lama dia letih dan terduduk sambil menangis tersedu-sedu menyebut emaknya. Tapi, tetap tak ada yang menggubrisnya.
Dalam tangisnya yang mulai pelan karena sedu-sedan, terdengar lirih ucapannya… “Kalau kalian tak kembalikan emakku, minyak kalian akan berubah jadi darah dan nanah. Kalian telah menambang darah dan nanah kami…”
***
PETIR menyambar-nyambar, langit menjadi hitam, dan hujan turun sangat deras ketika Mahdi beringsut dari tempatnya terduduk sambil bersedu-sedan tadi. Dia berjalan menembus hujan deras yang disertai petir dan angin itu, ke arah sungai. Dia buka tali penambat perahu. Dia kayuh perahunya perlahan ke arah timur, mengikuti aliran air. Para pekerja tambang hanya sejenak menjeling ke arah anak umur sepuluh tahunan itu. Hanya sejenak, kemudian mereka sibuk lagi dengan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya meski hujan deras mengguyur mereka.
Dalam diamnya, Mahdi tetap mengayuh pelan perahunya yang dibawa arus air yang tak deras itu. Dia tak tahu mau ke mana, tetapi dia tahu tujuannya. Dia ingin menuju ke titik kegelapan…
***
WAKTU sirene itu terdengar di telinga mereka, beberapa lelaki yang sedang istirahat di bedeng-bedeng darurat itu langsung berlarian ke arah rig. “Ada yang bocor,” kata salah satu dari mereka.
“Iya, ada pipa yang bocor,” kata yang lain.
“Tetapi, kenapa baunya seperti ini? Bukan bau minyak?” kata seorang yang berbadan agak tinggi dan gempal.
“Iya, seperti bau nanah atau darah yang membusuk,” ujar seorang yang baru sampai.
Kemudian, enam lelaki berpakaian lapangan warna jingga itu memeriksa pipa, mulai dari beberapa sekrup hingga gerakan pipa angguk yang melambat. Terlihat ada lelehan yang merembes dari sekrup yang mengendur. Terlihat berwarna kuning. Mereka kira itu vaselin pelumas baru yang memang biasanya berwarna kuning. Salah seorang dari mereka mencoleknya dan didekatkan ke hidung. Spontan dia meringis.
“Nanah! Ini nanah!”
“Nanah???” teriak yang lainnya berbarengan.
“Iya, ini nanah.”
“Rig ini menarik nanah dari perut bumi?”
“Entahlah. Tapi ini nanah, bukan minyak atau oli…”
Salah seorang dari mereka kemudian berlari ke pipa angguk yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari rig sebelumnya. Dia kemudian berteriak. “Di sini juga terlihat rembesan nanah!”
Di semua rig itu, para pekerja berteriak sama bahwa yang dipompa keluar oleh pompa angguk itu bukan minyak, tapi nanah yang sangat amis baunya dan membuat seluruh isi perut mereka nyaris keluar. Namun, lama-lama, meski telah menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan atau alat penutup lainnya, mereka tetap tak bisa menahan bau amis nanah yang luar biasa itu masuk ke dalam hidungnya. Hampir semua pekerja tambang itu muntah-muntah…
***
“DARI mana asal nanah itu, Tuan? Bukankah seharusnya minyak yang keluar dari pipa angguk itu?”
Tuan Tukang Koba itu melihat wajah anak-anak yang masih polos itu. Kemudian dia tersenyum. “Entahlah, saya juga tak tahu…”
“Lalu, ke mana Mahdi pergi dengan perahunya itu Tuan? Dan dia sekarang di mana? Bagaimana nasibnya?”
Sejenak, Tuan Tukang Koba itu terdiam. Kemudian, “Mahdi pergi berkelana sesuka hatinya hingga kini. Dendamnya membuatnya berhubungan dengan segala kegelapan. Lidahnya jadi pahit. Apa yang dia katakan jadi kenyataan. Dia kini pergi dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia masuk ke pelosok kampung dan kota-kota, dan di setiap kerumunan orang, dia berhenti dan menyebarkan cerita. Dia jadi tukang cerita… jadi tukang koba…”
“Seperti Tuan?”tanya salah seorang anak.
Sejenak, lelaki itu, Tuan Tukang Koba itu, terdiam. Kemudian, “Iya…” katanya dengan suara berat. “Seperti saya, jadi tukang koba…”
“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya salah satu anak.
Tuan Tukang Koba itu menghela napas dalam-dalam. Beberapa saat dia terdiam, pandangannya tajam, tetapi kosong tanpa arah. Seperti menyimpan sesuatu.
“Semua rig itu mengeluarkan nanah dan dialirkan ke semua pipa yang bermuara ke penampungan di tepi laut itu…”
“Minyak tanah?” tanya seorang anak lainnya.
“Kan tambang minyak memang mengeluarkan minyak tanah, Tuan?” kata anak yang lain lagi.
Tuan Tukang Koba kembali menghela napas dalam-dalam. Selain pandangannya tetap kosong ke arah entah, kali ini giginya juga bergemerutuk. “Nanah!”
“Nanah???” hampir serentak anak-anak di sanggar cerita itu berucap.
“Kok bisa, Tuan? Bukankah dalam buku pelajaran sekolah kami tambang minyak tanah seharusnya mengeluarkan minyak tanah, tambang batu bara mengeluarkan batu bara, tambang timah mengeluarkan timah…”
“Dengarkan saya!” terdengar suara Tuan Tukang Koba yang seperti gelegar petir di telinga anak-anak itu. Seketika mereka terdiam. Ketakutan. Menyadari itu, Tuan Tukang Koba berusaha tersenyum. Berusaha senyumnya dimanis-maniskan…
“Begini…” dia menghela napas dalam-dalam. “Sebentar lagi saya ceritakan. Tapi kalian tak usah ketakutan, ya. Ayo semuanya senyum…”
***
INI cerita tentang si Mahdi, sekian puluh tahun yang lalu.
Mahdi bukan anak seorang dukun, cenayang, atau semua kata yang sejenis dengan itu. Dia anak Mahruz, yang tinggal tak jauh dari ceruk sungai, tempat hampir 40-an kepala keluarga bermukim di sana. Hampir semuanya bertani atau berkebun. Pohon-pohon getah berejejer tak teratur, yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Setiap pagi hingga sore, mereka menakik getah. Setelah itu, getah yang sudah membeku—mereka menyebutnya ojol—dan terkumpul dibeli oleh seorang tauke yang membawanya ke kota lewat sungai.
Selain itu, ada yang menanami tanah mereka dengan sayur-sayuran. Jika hasilnya banyak, ada pedagang pengumpul dari dusun lain yang datang dan membelinya untuk dijual ke kota, juga dengan perahu lewat sungai.
Tidak hanya bertani dan berkebun, ada juga yang setiap hari memilih mencari ikan di sungai. Mereka memancing ikan-ikan besar yang kemudian juga dibawa ke kota oleh pedagang pengumpul jika jumlah yang didapat banyak. Biasanya, pedagang pengumpul itu datang pagi-pagi saat para pemancing pulang. Hasil pancingan itu dimasukkan dalam sebuah kotak besar di sebuah perahu. Setelah itu, di atasnya diberi balok-balok es yang memang sudah dipersiapkan oleh si pedagang pengumpul. Ikan lomek, tapah, baung, selais, toman, dan banyak jenisnya lagi berharga mahal di kota, seperti Duri atau Pekanbaru.
Abah Mahdi, Mahruz, punya kebun getah yang, meskipun tak luas, cukup untuk menghidupi Mahdi dan ibunya, Siti Muftah. Kadang-kadang Mahruz pergi mencari ikan di malam hari. Jika besoknya hari libur sekolah, Mahdi sering diajak. Senang sekali hati Mahdi. Meski tak dapat banyak, dia bisa ikut memancing dan yang sering memakan umpannya adalah ikan-ikan penuh duri, seperti ikan juaro.
“Mata pancingmu harus yang kecil biar ikan kecil juga yang memakannya. Kalau pakai mata pancing besar, mike nanti tak bisa menahan ikan besar. Bisa-bisa mike tercebur dalam sungai,” kata abahnya, suatu kali.
Mahdi mengiyakan dan senang sekali bisa selalu ikut abahnya memancing meski hanya seminggu sekali. Bahagia sekali anak kelas 4 SD ini. Kadang beberapa teman sebayanya juga diajak abah masing-masing untuk naik perahu dan ikut memancing di malam hari.
Mahdi ingat ketika itu, semuanya sangat menyenangkan bagi kehidupan dia dan keluarganya, juga hampir seluruh warga di ceruk sungai itu. Namun, entah kapan mulainya, kebahagiaan itu terenggut darinya.
Awalnya, di sebuah siang yang terik, datang rombongan orang kota ke kampung mereka. Katanya mereka insinyur, entah ahli geologi atau ahli perminyakan. Mereka mengadakan penelitian di kampung itu. Setelah beberapa hari mereka kembali ke kota. Namun, beberapa pekan setelah itu, rombongan yang lebih besar, termasuk camat, datang lagi. Ada beberapa tentara berbaju loreng. Kelihatan ada senjata yang menempel di pinggang mereka.
Mereka mengatakan kampung di ceruk sungai itu mengandung energi yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Ada minyak di perut kampung itu.
“Sebagai warga negara yang taat kepada pemerintah, maka kita harus maklum. Masyarakat harus pindah karena kawasan ini akan dikuasai negara untuk kepentingan bersama. Akan dibangun kilang minyak di sini. Nanti pemerintah akan mencarikan tempat baru untuk seluruh warga. Percayalah, pemerintah tak akan menyengsarakan rakyatnya. Pembangunan kilang ini juga dalam rangka memakmurkan rakyat…” begitu kata Pak Camat, yang diamini oleh seluruh rombongan dari kota itu.
Tak ada yang berani melawan. Penduduk kampung yang dikumpulkan di balai dusun itu hanya diam. Tak ada yang berani bicara. Sekali-kali mereka melihat pinggang beberapa tentara yang datang, dan melihat ada yang menyembul di sana.
“Lalu, ke mana si Mahdi dan penduduk kampung itu setelah tanah mereka dijadikan kilang minyak, Tuan?” tanya salah seorang anak.
Sejenak, Tuan Tukang Kobaitu menghela napas lagi.
***
MAHDI tak tahu penyebab mengapa kemudian ayahnya seperti orang linglung. Sudah setahun lebih mereka tinggal di seberang sungai, berseberangan dengan kampungnya yang kini sudah mulai terlihat pipa-pipa angguk dan ratusan pekerja tambang yang hilir-mudik. Mahdi dan keluarganya, juga penduduk kampung lainnya, harus membuka lahan baru, hutan baru, menjadi perkampungan. Mereka diberi uang ganti rugi oleh pemerintah atau perusahaan minyak itu untuk jadi modal sampai mereka mandiri lagi.
Awalnya, mereka memang bisa hidup lumayan enak ketika uangnya masih ada. Namun itu hanya dalam hitungan beberapa bulan. Setelah itu, mereka bingung karena tak memiliki kebun karet. Hasil menanam sayur-sayuran cukup untuk dimakan sendiri. Mereka memang masih mencari ikan di sungai, namun hasilnya juga tak seberapa. Lama-lama, banyak penduduk di kampung baru itu yang menghilang. Katanya mereka banyak yang keluar, pergi entah ke mana.
Mahruz dan keluarganya tetap bertahan di kampung itu bersama sekitar lima atau enam kepala keluarga lainnya. Namun, suatu hari, Mahdi tak melihat emaknya berada di rumah. Dia tanyakan ke abahnya. Hanya gelengan kepala yang didapatkannya. Besoknya, dia bertanya lagi, kali ini gelengan kepala berkali-kali yang didapatkannya dari abahnya. Beberapa hari kemudian, ketika dia tanya lagi, abahnya sudah seperti orang linglung. Tak menggeleng, tatapannya kosong ke arah yang tak jelas dengan kepala teleng. Dia tanya ke tetangganya, ada apa dengan abahnya. Mereka menjawab kalau abahnya sudah hilang ingatan.
“Emakmu kepincut dengan pegawai tambang di seberang sana. Emakmu tak tahan hidup susah seperti kita ini…” kata tetangganya.
Mahdi menangis meraung-raung mendengar itu. Dia kemudian berlari ke arah dermaga kecil, melepas perahu kecil dari tambatannya, dan mengayuh perahu itu ke seberang. Sesampai di seberang, dia berlari lagi ke arah para pekerja tambang yang hampir semuanya belepotan minyak dan oli berwarna hitam yang menempel di baju kerja mereka yang berwarna jingga.
“Mana emakku? Mana emakku? Di mana kalian sembunyikan emakku?”
Suara lengkingan Mahdi membuat para pekerja tambang itu berhenti sejenak, namun mereka tetap melanjutkan pekerjaannya karena mata bor sedang menghujam ke perut bumi dan tak bisa ditinggalkan hanya untuk mengurus anak kecil yang sedang mencari emaknya.
“Di mana kalian sembunyikan emakku? Di mana emakku? Kalian apakan emakku?”
Mahdi kemudian meneriakkan hal yang sama ke para pekerja lainnya di kelompok yang lain. Namun tak ada yang menggubrisnya. Lama-lama dia letih dan terduduk sambil menangis tersedu-sedu menyebut emaknya. Tapi, tetap tak ada yang menggubrisnya.
Dalam tangisnya yang mulai pelan karena sedu-sedan, terdengar lirih ucapannya… “Kalau kalian tak kembalikan emakku, minyak kalian akan berubah jadi darah dan nanah. Kalian telah menambang darah dan nanah kami…”
***
PETIR menyambar-nyambar, langit menjadi hitam, dan hujan turun sangat deras ketika Mahdi beringsut dari tempatnya terduduk sambil bersedu-sedan tadi. Dia berjalan menembus hujan deras yang disertai petir dan angin itu, ke arah sungai. Dia buka tali penambat perahu. Dia kayuh perahunya perlahan ke arah timur, mengikuti aliran air. Para pekerja tambang hanya sejenak menjeling ke arah anak umur sepuluh tahunan itu. Hanya sejenak, kemudian mereka sibuk lagi dengan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya meski hujan deras mengguyur mereka.
Dalam diamnya, Mahdi tetap mengayuh pelan perahunya yang dibawa arus air yang tak deras itu. Dia tak tahu mau ke mana, tetapi dia tahu tujuannya. Dia ingin menuju ke titik kegelapan…
***
WAKTU sirene itu terdengar di telinga mereka, beberapa lelaki yang sedang istirahat di bedeng-bedeng darurat itu langsung berlarian ke arah rig. “Ada yang bocor,” kata salah satu dari mereka.
“Iya, ada pipa yang bocor,” kata yang lain.
“Tetapi, kenapa baunya seperti ini? Bukan bau minyak?” kata seorang yang berbadan agak tinggi dan gempal.
“Iya, seperti bau nanah atau darah yang membusuk,” ujar seorang yang baru sampai.
Kemudian, enam lelaki berpakaian lapangan warna jingga itu memeriksa pipa, mulai dari beberapa sekrup hingga gerakan pipa angguk yang melambat. Terlihat ada lelehan yang merembes dari sekrup yang mengendur. Terlihat berwarna kuning. Mereka kira itu vaselin pelumas baru yang memang biasanya berwarna kuning. Salah seorang dari mereka mencoleknya dan didekatkan ke hidung. Spontan dia meringis.
“Nanah! Ini nanah!”
“Nanah???” teriak yang lainnya berbarengan.
“Iya, ini nanah.”
“Rig ini menarik nanah dari perut bumi?”
“Entahlah. Tapi ini nanah, bukan minyak atau oli…”
Salah seorang dari mereka kemudian berlari ke pipa angguk yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari rig sebelumnya. Dia kemudian berteriak. “Di sini juga terlihat rembesan nanah!”
Di semua rig itu, para pekerja berteriak sama bahwa yang dipompa keluar oleh pompa angguk itu bukan minyak, tapi nanah yang sangat amis baunya dan membuat seluruh isi perut mereka nyaris keluar. Namun, lama-lama, meski telah menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan atau alat penutup lainnya, mereka tetap tak bisa menahan bau amis nanah yang luar biasa itu masuk ke dalam hidungnya. Hampir semua pekerja tambang itu muntah-muntah…
***
“DARI mana asal nanah itu, Tuan? Bukankah seharusnya minyak yang keluar dari pipa angguk itu?”
Tuan Tukang Koba itu melihat wajah anak-anak yang masih polos itu. Kemudian dia tersenyum. “Entahlah, saya juga tak tahu…”
“Lalu, ke mana Mahdi pergi dengan perahunya itu Tuan? Dan dia sekarang di mana? Bagaimana nasibnya?”
Sejenak, Tuan Tukang Koba itu terdiam. Kemudian, “Mahdi pergi berkelana sesuka hatinya hingga kini. Dendamnya membuatnya berhubungan dengan segala kegelapan. Lidahnya jadi pahit. Apa yang dia katakan jadi kenyataan. Dia kini pergi dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia masuk ke pelosok kampung dan kota-kota, dan di setiap kerumunan orang, dia berhenti dan menyebarkan cerita. Dia jadi tukang cerita… jadi tukang koba…”
“Seperti Tuan?”tanya salah seorang anak.
Sejenak, lelaki itu, Tuan Tukang Koba itu, terdiam. Kemudian, “Iya…” katanya dengan suara berat. “Seperti saya, jadi tukang koba…”
Tambang Nanah
4/
5
Oleh
Syaf