Monday, 21 August 2017

Bukan Mahasiswa Saya

Bukan Mahasiswa Saya

SAYA yakin tidak pernah mempunyai mahasiswa bernama Abidin. Karena itu, setelah sekian kali Abidin menghubungi saya melalui HP, disusul SMS, dan akhirnya disusul WA, saya tetap yakin orang yang menamakan diri Abidin ini tidak pernah menjadi mahasiswa saya. Tapi, setelah dia nekat menelepon dengan video call, barulah saya ingat bahwa wajah ini pernah saya kenal entah kapan dan entah di mana.

Pada suatu hari Minggu, ketika saya biasanya bangun lebih siang daripada biasanya, orang yang menamakan diri Abidin ini menelepon saya dengan video call lagi.

“Maaf, Pak, sekarang saya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Sebentar lagi saya akan terbang ke Surabaya, khusus untuk menemui Bapak.” Suara Abidin ditimpali pengumuman penggawa bandara agar semua penumpang segera masuk ke pesawat.

Dalam keadaan masih mengantuk, saya segera mandi.

Satu setengah jam kemudian ada taksi datang, dan turunlah Abidin dari taksi. Dengan sikap sangat sopan dan hormat, dia memohon maaf karena telah berkali-kali menghubungi saya dan mengaku-aku sebagai bekas mahasiswa saya.

Setelah berbasa-basi sebentar dia mengaku bahwa dia memang bukan mahasiswa saya. Dengan permohonan maaf dia menyatakan bahwa dahulu sebetulnya dia mahasiswa MIPA jurusan matematika. Dan, karena dia tertarik sastra, khususnya sastra dunia, dia sering menyelundup ke kelas saya. Setiap kali menyelundup dia memilih deretan tempat duduk di belakang, selalu menunduk, supaya bisa memberi kesan bahwa dia tidak ada.

Waktu itu saya mengajar di S-1, mahasiswanya banyak, dan ruangan kelasnya terbatas. Karena itu, dua kelas mahasiswa kadang-kadang harus dijejal dalam satu ruangan kelas besar. Kehadiran Abidin, dengan demikian, tidak saya ketahui.

Lalu, dengan agak mewek-mewek karena terharu, dia mengatakan bahwa dia sudah lulus S-2 matematika di Kanada, dan juga sudah lulus S-3 matematika di Jerman. Dengan gaya sangat tawaduk dia mengatakan, baik di S-2 maupun di S-3 dia lulus dengan predikat cum laude. Setelah lulus S-3 dia bekerja di Jerman, kemudian pindah ke Belanda, dan akhirnya memutuskan untuk bekerja di Jakarta.

Selama bekerja di Jakarta dia sering mendapat tugas untuk bepergian ke luar negeri, tapi dia tetap memakai SIM card Indonesia. Karena itulah, semua pesan kepada saya tidak tampak tanda-tanda dia sedang di Vietnam, India, Brussel, Amsterdam, Paris, dan entah mana lagi.

Hari itu juga, Minggu, dia khusus datang ke Surabaya untuk menemui saya, sebab malam nanti, hari Minggu itu juga, dia akan terbang ke Amerika.

Setelah mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih berkali-kali sampai saya agak risi, dia bertanya, “Mohon maaf, Pak, apakah Bapak pernah mendengar nama Maryam Mirzakhani?”

“Perempuan kelahiran Iran, hijrah ke Amerika, pemenang fields medal mathematics?”

“Ya.”

Fields medal mathematics setara dengan nobel prize untuk fisika, ilmu kedokteran, ekonomi, kimia, fisika, perdamaian, dan sastra. Nobel prize diberikan setiap tahun, sedangkan fi lds medal mathematics diberikan manakala ada pakar matematika yang benar-benar menonjol. Kalau perlu, selama beberapa tahun tidak ada satu orang pun yang dianggap layak menerima fields medal mathematics.

Pada waktu sekolah, Maryam dibenci guru-gurunya karena dia tampak bodoh, dungu, goblok, dan agak terbelakang. Setiap kali mengerjakan apa pun dia pasti terlambat. Berbeda dengan teman-temannya, dia suka menyendiri, melukis, membaca puisi, dan membaca novel.

“Maaf, Pak, pada waktu saya menyelundup ke kuliah-kuliah Bapak, saya tidak mengenal nama Maryam, tapi kemudian saya sadar, seperti Maryam, saya suka menggambar, membaca puisi, dan membaca novel. Karena itulah saya sering menyelundup ke kelas Bapak. Sebetulnya saya ingin juga menyelundup ke kelas seni rupa, tapi saya selalu diusir. Maklumlah, mahasiswa seni rupa kan banyak praktik, kalau saya menyelundup, pasti ketahuan.”

Lalu dia mengaku, andaikata dulu tidak menyelundup ke kelas saya, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Ketika dia kuliah S-2 di Kanada, dia sering teringat kuliah-kuliah saya. Demikian juga ketika dia menyelesaikan S-3 di Jerman. Mengapa dia dapat dengan mudah memenangkan beasiswa S-2 dan S-3, tidak lain, kata dia, karena dia sering teringat kuliah-kuliah saya.

Bukan hanya itu. Kuliah-kuliah saya dulu, kata dia, juga memperlancar pekerjaannya, dan karena itulah dia sering mendapat promosi dan tempat-tempat yang bagus.

Dia masih ingat, dalam kuliah, saya sering menekankan hubungan erat antara sastra, estetika, dan psikologi. Barang siapa banyak membaca karya-karya besar sastra, dengan sendirinya akan memiliki insting untuk mengetahui masalah kejiwaan lawan bicaranya. Meskipun saya mengajarkan sastra dunia dengan bahasa Inggris, kadang-kadang saya juga membicarakan beberapa nilai filsafat Indonesia, antara lain kemampuan meramal Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam tembang-tembangnya, dan pendirian Ki Ageng Suryomentaram mengenai seni kebahagiaan hidup.

Setelah mengobrol tentang pengalamannya menyelundup di kelas saya, dengan nada ragu-ragu dia bertanya, “Maaf, Bapak, bolehkah saya mengeluarkan pendapat saya? Tapi saya malu. Saya takut pendapat saya ngawur.”

Dia menyatakan, sastra yang dianggap sebagai sastra dunia sekarang sangat mengecewakan. Sastra dunia, itulah salah satu mata kuliah saya dulu. Ada beberapa contoh, misalnya, kata dia, novel Orhan Pamuk, novel Najib Mahfudz, novel Adiga, novel Khaled Hosseini, dan yang terbaru novel Han Kang. Novel Orhan Pamuk, setidaknya yang pernah dia baca, terlalu berbelit-belit.

Novel Najib Mahfudz yang pernah dia baca, yaitu Pencopet dan Para Begundal, mirip novel thriller. Daripada membaca Pencopet dan Para Begundal, kata dia, lebih baik membaca novel-novel Sidney Sheldon sekalian. Sidney Sheldon tahu bahwa dia tidak lain adalah pengarang thriller, karena itu Sidney Sheldon, kata Abidin pula, tidak perlu berpura-pura menulis novel sastra kelas atas.

Dalam novel Adiga, kata Abidin, tokoh sentralnya sadar bahwa dia korban kemiskinan, dan karena itulah dia membenci kelas atas, apalagi yang sombong, sampai akhirnya dia membunuh juragannya. Itulah napas novel Adiga, White Tiger. Andaikata tidak ada Taliban di Afghanistan, Hosseini tidak mungkin mampu menulis novel The Kite Runner. Situasi yang sangat buruk dan penderitaan tanpa tara di Afghanistan akibat ulah Taliban dimanfaatkan oleh Hosseini.

Perempuan dalam novel Han Kang The Vegetarian menjadi sinting, atau tambah sinting, karena ayahnya, veteran perang Vietnam, suka menyiksa, kasar, dan kata-katanya juga jorok dan menjijikkan. Andaikata ayahnya tidak begitu, mungkin tokoh utamanya hidup normal.

“Maaf, Bapak, saya bukan siapa-siapa. Dan saya hanya membaca satu novel karya mereka. Mungkin kebetulan yang saya baca bukan novel terbaik mereka. Tapi novel terburuk mereka yang punya nama besar itu.”

“Lalu, novel siapa yang baik?” tanya saya.

“Novel yang tidak menyalahkan siapa-siapa. Tokoh utama Dostoevsky dalam Notes from Underground sinting karena memang dia sinting. Dia tidak menuduh siapa pun sebagai kambing hitam kesintingannya.

“Cerpen Edgar Allan Poe The Tell-Tale Heart bercerita tentang kekejian ‘aku’ karena ‘aku’ sendiri, tanpa kambing hitam kehidupan keluarganya, kemelaratannya, dan entah apalagi. Dalam noveletnya Peristiwa Pembunuhan di Rue Morgue, tokoh bernama Dupin jatuh miskin juga karena dia jatuh miskin, tanpa menyalahkan siapa pun. Hidupnya biasa-biasa saja, pikirannya tetap cemerlang, tanpa kambing hitam kemiskinan.”

Didahuluinya dengan “maaf, saya bukan siapa-siapa,” Abidin memberi banyak contoh lain.

Dengan permintaan maaf, saya tidak bisa memberi pendapat mengenai pendapatnya. Perhatian saya lebih tertarik pada Abidin sebagai pakar matematika, bukan Abidin sebagai pembaca sastra kelas atas. Dan lebih dari itu, saya lebih tertarik pada Abidin sebagai manusia.

Saya teringat zaman Pak Harto masih berkuasa. Selama menjadi presiden dalam jangka waktu tiga puluh dua tahun, adalah masuk akal apabila Pak Harto sering mengganti pejabat-pejabat tinggi negara.

Salah satu jaksa agung dalam pemerintahan Pak Harto, saya ingat, bernama Sukarton, lengkapnya Sukarton Marmosujono SH. Ketika masih menjadi mahasiswa fakultas hukum Universitas Gadjah Mada, Sukarton sering kelayapan ke kampus lain, yaitu ke fakultas sastra dan kebudayaan. Mengapa? Karena dia jatuh cinta pada Lastri Fardani, mahasiswa sastra barat fakultas sastra dan kebudayaan. Akhirnya Sukarton berhasil menikah dengan Lastri Fardani, dan Lastri Fardani juga bisa menyalurkan kegemarannya menulis untuk majalah wanita.

Tidak lama setelah lulus S-1 Sukarton menikah, sementara Abidin sampai sekarang masih jomblo. Dan seperti tokoh dalam novel-novel yang dia kagumi, dia jomblo tanpa menyalahkan siapa pun. Kalau jomblo dianggap sebagai kesalahan, maka kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri.

Tampak Abidin ingin mengemukakan sesuatu, tapi dapat menahan diri. Akhirnya dia saya ajak ke mall untuk makan, dan sesudah makan dia saya antar ke Bandara Juanda.

Ketika semua penumpang diminta untuk masuk paling lama sepuluh menit lagi, Abidin tampak ingin menangis menahan perasaan haru.

“Abidin, kamu memendam rahasia. Katakan apa yang kamu ingin katakan.”

“Bapak tahu di mana Maryam Mirzakhani bekerja?”

“Stanford University di California, Amerika.”

“Saya mendapat pekerjaan di sana, Bapak.”

“Selamat, Abidin. Tidak semua orang bisa menjadi dosen dan peneliti di Stanford.”

Stanford adalah nama orang kaya, murah hati, dan gaya hidupnya sangat sederhana. Bersama istrinya, Stanford mendatangi sebuah universitas tua dan terkenal, yaitu Harvard University di New England, untuk memberi donasi dalam jumlah besar. Tapi karena penampilannya seperti orang melarat, dia dan istrinya diusir. Tidak ada satu orang pun yang percaya bahwa Stanford dan istrinya benar-benar kaya. Meskipun dihina, hati mereka tetap mulia. Mereka ingin melihat anak-anak muda mendapat pendidikan yang baik, dan karena itulah akhirnya mendirikan sebuah universitas, Stanford University di California, sebuah negara bagian yang jauh letaknya dari New England.

“Apakah Bapak tahu keadaan Maryam Mirzakhani?”

“Sudah lama dia berjuang melawan kanker,” kata saya.

Waktu sudah habis, dan Abidin terpaksa meninggalkan saya.

Setelah saya yakin pesawat Abidin sudah terbang, saya masuk ke kedai, memesan teh. Saya membuka HP, langsung menuju ke Fox News. Berita terbaru: Maryam Mirzakhani, empat puluh tahun, dalam keadaan kritis.

Malam harinya saya membuka Fox News lagi, dan dari berita inilah saya tahu bahwa Maryam Mirzakhani, tokoh matematika yang sangat terkemuka, sudah meninggalkan dunia fana.
                                                                     
                                                                        ***





Mojokerto, Agustus 2017



Related Posts

Bukan Mahasiswa Saya
4/ 5
Oleh