SEJAK duduk di kelas satu sekolah dasar, Nina gemar menggambar celeng. Anak kami semata wayang itu menggambar celeng hampir setiap hari. Padahal, kami keluarga muslim. Bagi kami, celeng adalah hewan yang najis, bahkan kadar najisnya mugholladhoh.
Di kampung kami, semua warga juga muslim. Dan bagi keluarga-keluarga muslim, celeng sangat menjijikkan. Jangankan makan daging celeng, menyentuh atau tersentuh kulit celeng saja dianggap sial. Pendek kata, celeng harus dijauhi sejauh-jauhnya.
Suatu siang, ketika aku masih kecil, kampung kami kemasukan seekor celeng. Maklumlah, kampung kami memang di pinggir hutan. Langsung hewan bermulut monyong itu diburu banyak warga untuk dibantai.
Ketika diburu banyak warga, celeng itu sempat berlari-lari menghindari sergapan warga. Celeng itu sempat menabrak beberapa jemuran pakaian warga di halaman rumah, maka pakaian yang tersentuh kulit celeng itu langsung dicuci dengan air bercampur debu oleh pemiliknya, padahal pakaian itu berwarna putih.
Mungkin dasar hewan, tak tahu sopan santun, celeng yang sedang diburu itu masuk ke dalam masjid dan berlari berputar-putar di atas karpet sebelum kemudian berhenti dan kencing di atas sajadah yang selalu tergelar di dalam mihrab.
Semua orang yang memburu celeng itu marah dan mengumpat-umpat.
“Celeng keparat!”
“Mungkin celeng itu jelmaan iblis dari neraka!”
“Celeng itu harus dibakar hidup-hidup!”
Karena celeng itu sudah terpojok di dalam mihrab, dengan mudah orang-orang yang memburunya langsung menyergapnya. Celeng itu babak belur dipukuli dengan kayu. Lalu, dalam keadaan sekarat, celeng itu diseret menuju kebun bambu di belakang masjid, dan kemudian dibakar hingga hangus.
Setelah itu, orang-orang langsung sibuk mencuci karpet dan sajadah di masjid yang telah diinjak-injak dan dikencingi hewan najis itu. Benar-benar pekerjaan yang sangat merepotkan.
“Kita harus memburu celeng yang mungkin jumlahnya sangat banyak di dalam hutan agar semuanya punah! Jangan sampai kampung kita kemasukan celeng lagi!” seru Pak Haji Saleh, tokoh masyarakat yang selalu menjadi imam salat berjemaah di masjid itu.
Pak Haji Saleh nampak murka karena sajadah di dalam mihrab yang biasanya dipakai untuk menjadi imam salat berjemaah telah diinjak-injak dan dikencingi oleh celeng.
Semua pria di kampung kami langsung membentuk satuan regu untuk memburu dan menumpas habis celeng yang mungkin banyak jumlahnya di dalam hutan.
Dengan membawa bambu runcing, arit, dan pedang, mereka masuk hutan. Ternyata di dalam hutan itu sangat banyak celeng berkeliaran. Dengan mudah, mereka menyergap dan membantai celeng satu per satu, hingga habis tak tersisa.
***
Sebagai seorang ayah, aku semakin resah melihat Nina gemar menggambar celeng. Suatu malam menjelang tidur aku menyuruh istriku untuk membujuk Nina agar tidak lagi menggambar celeng. Sudah banyak gambar celeng yang dibuat gadis kecil itu. Hampir semua halaman buku gambarnya penuh dengan gambar celeng. Gambar celeng di atas kertas karton yang dibuat Nina juga dipajang di dinding kamar tidurnya, di dinding ruang keluarga, dan dinding ruang tamu.
Suatu hari aku sudah pernah mencoba melarangnya menggambar celeng, tapi Nina justru semakin gemar menggambar celeng. Bahkan, gambar celeng itu dipajangnya di dinding kamar tidurku, seolah-olah Nina ingin menunjukkan sikap keras kepalanya sebagai pencinta celeng.
“Kamu harus mencoba bersikap keras melarangnya menggambar celeng lagi,” bisikku.
Istriku langsung menggeleng. “Aku tak mau membunuh bakat seni yang baru tumbuh di dalam jiwa Nina, Mas. Biarkan saja Nina mengembangkan bakat seninya. Siapa tahu kelak dia menjadi pelukis yang hebat,” tukasnya.
“Rasanya aneh jika Nina terus-menerus menggambar celeng. Kalau memang dia punya bakat seni, kenapa hanya celeng yang digambarnya, bukan hewan-hewan lain yang lebih menarik?” ujarku.
“Itulah uniknya kalau anak punya bakat seni, Mas. Tak usah heran. Bukankah ada pelukis yang terkenal karena gemar melukis kucing? Ada juga pelukis hebat karena melulu melukis bunga, atau melulu melukis burung, atau melulu melukis wanita-wanita telanjang.” Istriku nampak memperlihatkan sikapnya yang mendukung kegemaran Nina.
“Aku khawatir kalau masyarakat sudah tahu Nina suka menggambar celeng, kemudian mencelanya. Mereka bisa menuduh kita tidak mampu mendidik anak dengan baik. Bahkan, mereka bisa menuduh Nina punya bakat seni yang bisa merusak syariat Islam.”
“Jangan berpikir yang bukan-bukan, Mas. Celeng memang najis, tapi gambar celeng tidak najis.”
“Tapi masyarakat mungkin akan menuduh Nina menyukai sesuatu yang menjijikkan jika terus-menerus gemar menggambar celeng.”
“Jangan berprasangka buruk, Mas.”
“Aku akan mencoba melakukan sesuatu agar Nina tidak menggambar celeng lagi.”
“Apa yang akan kamu lakukan, Mas?”
“Aku akan membelinya, kalau Nina bersedia menggambar bunga atau kupu-kupu, misalnya.”
“Jangan lakukan cara licik seperti itu, Mas. Cara yang akan kamu lakukan itu sama dengan suap, Mas.”
“Tapi di dunia seni rupa banyak juga pelukis yang sudah biasa membuat lukisan pesanan.”
“Pelukis-pelukis yang melayani pesanan seperti itu biasanya disebut melacurkan diri, Mas.”
Dadaku langsung berdebar dan bulu kudukku langsung merinding begitu istriku menyebut istilah melacurkan diri. Sebagai seorang ayah, sudah tentu aku tidak sudi mempunyai anak gadis yang melacurkan diri atau menjadi pelacur.
“Sudahlah, Mas. Biarkan saja Nina menggambar sesuai minatnya. Kalau dia memang hanya berminat menggambar celeng, tak usah dipaksa menggambar obyek lain.”
Dadaku terasa sesak. Pikiran buruk mulai berlintasan di benakku. Ya, mungkin Nina tidak akan menggambar lagi, jika semua alat untuk menggambar miliknya kubuang dan kubakar di tempat sampah.
Setelah istriku terlelap, aku segera bangkit dan keluar kamar. Segera kuambil semua alat menggambar milik Nina dan juga semua gambar celeng yang telah dibuatnya, kemudian kubuang ke tempat sampah di belakang rumah. Lalu segera kubakar.
Sengaja pintu belakang tidak kukunci lagi, setelah aku masuk lagi sehabis membakar alat-alat menggambar dan sejumlah gambar celeng milik Nina di tempat sampah di halaman belakang. Dengan demikian, esok pagi istriku pasti akan menduga rumah kami telah kemasukan pencuri yang lewat pintu belakang itu. Maka, jika kemudian Nina mengeluh kehilangan semua alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya, istriku akan menuduh si pencuri itulah yang menggondolnya.
***
Setelah bangun tidur, Nina langsung menangis dan mengadu kepada kami tentang hilangnya semua alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya.
“Pasti semalam ada pencuri masuk dan menggondol alat menggambar dan semua gambar celeng,” ujarku.
“Pencurinya pasti gila, karena hanya masuk rumah untuk menggondol alat-alat menggambar dan semua gambar celeng milikmu, Nina,” ujar istriku sambil tersenyum sinis kepadaku.
Nina nampak sangat sedih dan dendam kepada si pencuri yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Aku merasa berdosa, karena telah membuatnya sedih dan dendam seperti itu.
“Dasar pencuri gila!” umpat Nina.
Untuk menghiburnya, aku kemudian membelikan alat-alat menggambar lagi untuk Nina. “Sebaiknya Nina tidak usah menggambar celeng lagi, agar tidak digondol pencuri.”
“Persetan dengan pencuri gila! Aku akan tetap menggambar celeng!” tegas Nina.
“Jangan keras kepala, Nina. Apakah kamu tidak takut kalau ada pencuri lagi dan menggondol alat-alat menggambar dan semua gambar celeng milikmu, bahkan juga menggondol kamu?” Aku mencoba mengintimidasi.
“Pasti pencuri itu tidak berani masuk rumah ini lagi, kecuali kalau benar-benar gila,” tukas Nina.
“Seharusnya kamu takut kepada pencuri yang mungkin benar-benar gila, Nina.” Aku tetap berusaha menakutinya. Tapi Nina nampaknya tidak takut. Dan kembali Nina menggambar celeng dengan kertas karton ukuran satu meter persegi, tidak menggambar lagi di buku gambar.
Gambar celeng dengan kertas karton satu meter persegi itu kemudian dipajang di dinding kamar tidurnya, di ruang tamu, di ruang keluarga, bahkan juga di dinding beranda depan. Nina seolah-olah ingin memamerkan gambar-gambar celeng itu kepada semua orang.
Setiap menatap gambar celeng itu, aku menahan rasa jijik dan muak. Rumah kami sering kubayangkan seperti kandang celeng yang jorok sekali. Tapi aku tidak mau lagi mencuri alat-alat menggambar dan gambar celeng milik Nina. Aku juga tak mau bicara lagi dengan istriku tentang kegemaran Nina.
Dan karena selalu jijik dan muak berada di rumah yang dipenuhi gambar celeng itu, aku tiba-tiba muntah-muntah sehabis makan malam.
“Mungkin kamu masuk angin, Mas. Sebaiknya dikeroki saja,” ujar istriku sambil mengambil sekeping uang logam dan balsem.
Ketika punggungku dikeroki istriku, aku mengeluh bahwa aku muntah-muntah karena jijik terhadap gambar-gambar celeng yang dipajang Nina di dinding-dinding itu.
“Tak usah terlalu fanatik, Mas. Dan jangan seperti kanak-kanak. Hanya melihat gambar celeng saja bisa muntah-muntah?!”
“Tapi aku tidak masuk angin. Buktinya, aku tidak kentut, juga tidak bersendawa, setelah kamu keroki?”
Istriku kemudian berhenti mengeroki punggungku. “Nampaknya kamu memang tidak masuk angin, Mas.”
“Nanti malam aku akan mencuri lagi alat-alat menggambar dan semua gambar celeng milik Nina,” ancamku.
“Eh, jangan, Mas. Kasihan Nina kalau sampai sedih kehilangan alat-alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya.”
Aku tak peduli. Dan pada tengah malam, kembali aku mengambil semua alat menggambar dan semua gambar celeng milik Nina, lalu kubakar di tempat sampah.
Ketika pagi tiba, Nina bangun tidur dan langsung menangis karena kehilangan alat-alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya. Tangisan Nina berkepanjangan. Dan sejak hari itu, Nina setiap hari suka duduk terpekur, kemudian menangis berlama-lama. Istriku menduga Nina mengalami cedera mental yang cukup serius.
Menjelang malam, Nina keluar rumah. Sambil berdiri di halaman depan, Nina tiba-tiba berteriak keras-keras memanggil celeng: “Celeng! Datanglah!”
Sekian menit kemudian, celeng dengan jumlah ratusan ekor tiba-tiba datang menyerbu kampung kami. Semua orang panik dan marah. Tapi Nina justru tertawa-tawa sambil mengelus-elus punggung celeng-celeng yang mendekatinya. Celeng-celeng itu nampak bersahabat dengan Nina.(*)
Di kampung kami, semua warga juga muslim. Dan bagi keluarga-keluarga muslim, celeng sangat menjijikkan. Jangankan makan daging celeng, menyentuh atau tersentuh kulit celeng saja dianggap sial. Pendek kata, celeng harus dijauhi sejauh-jauhnya.
Suatu siang, ketika aku masih kecil, kampung kami kemasukan seekor celeng. Maklumlah, kampung kami memang di pinggir hutan. Langsung hewan bermulut monyong itu diburu banyak warga untuk dibantai.
Ketika diburu banyak warga, celeng itu sempat berlari-lari menghindari sergapan warga. Celeng itu sempat menabrak beberapa jemuran pakaian warga di halaman rumah, maka pakaian yang tersentuh kulit celeng itu langsung dicuci dengan air bercampur debu oleh pemiliknya, padahal pakaian itu berwarna putih.
Mungkin dasar hewan, tak tahu sopan santun, celeng yang sedang diburu itu masuk ke dalam masjid dan berlari berputar-putar di atas karpet sebelum kemudian berhenti dan kencing di atas sajadah yang selalu tergelar di dalam mihrab.
Semua orang yang memburu celeng itu marah dan mengumpat-umpat.
“Celeng keparat!”
“Mungkin celeng itu jelmaan iblis dari neraka!”
“Celeng itu harus dibakar hidup-hidup!”
Karena celeng itu sudah terpojok di dalam mihrab, dengan mudah orang-orang yang memburunya langsung menyergapnya. Celeng itu babak belur dipukuli dengan kayu. Lalu, dalam keadaan sekarat, celeng itu diseret menuju kebun bambu di belakang masjid, dan kemudian dibakar hingga hangus.
Setelah itu, orang-orang langsung sibuk mencuci karpet dan sajadah di masjid yang telah diinjak-injak dan dikencingi hewan najis itu. Benar-benar pekerjaan yang sangat merepotkan.
“Kita harus memburu celeng yang mungkin jumlahnya sangat banyak di dalam hutan agar semuanya punah! Jangan sampai kampung kita kemasukan celeng lagi!” seru Pak Haji Saleh, tokoh masyarakat yang selalu menjadi imam salat berjemaah di masjid itu.
Pak Haji Saleh nampak murka karena sajadah di dalam mihrab yang biasanya dipakai untuk menjadi imam salat berjemaah telah diinjak-injak dan dikencingi oleh celeng.
Semua pria di kampung kami langsung membentuk satuan regu untuk memburu dan menumpas habis celeng yang mungkin banyak jumlahnya di dalam hutan.
Dengan membawa bambu runcing, arit, dan pedang, mereka masuk hutan. Ternyata di dalam hutan itu sangat banyak celeng berkeliaran. Dengan mudah, mereka menyergap dan membantai celeng satu per satu, hingga habis tak tersisa.
***
Sebagai seorang ayah, aku semakin resah melihat Nina gemar menggambar celeng. Suatu malam menjelang tidur aku menyuruh istriku untuk membujuk Nina agar tidak lagi menggambar celeng. Sudah banyak gambar celeng yang dibuat gadis kecil itu. Hampir semua halaman buku gambarnya penuh dengan gambar celeng. Gambar celeng di atas kertas karton yang dibuat Nina juga dipajang di dinding kamar tidurnya, di dinding ruang keluarga, dan dinding ruang tamu.
Suatu hari aku sudah pernah mencoba melarangnya menggambar celeng, tapi Nina justru semakin gemar menggambar celeng. Bahkan, gambar celeng itu dipajangnya di dinding kamar tidurku, seolah-olah Nina ingin menunjukkan sikap keras kepalanya sebagai pencinta celeng.
“Kamu harus mencoba bersikap keras melarangnya menggambar celeng lagi,” bisikku.
Istriku langsung menggeleng. “Aku tak mau membunuh bakat seni yang baru tumbuh di dalam jiwa Nina, Mas. Biarkan saja Nina mengembangkan bakat seninya. Siapa tahu kelak dia menjadi pelukis yang hebat,” tukasnya.
“Rasanya aneh jika Nina terus-menerus menggambar celeng. Kalau memang dia punya bakat seni, kenapa hanya celeng yang digambarnya, bukan hewan-hewan lain yang lebih menarik?” ujarku.
“Itulah uniknya kalau anak punya bakat seni, Mas. Tak usah heran. Bukankah ada pelukis yang terkenal karena gemar melukis kucing? Ada juga pelukis hebat karena melulu melukis bunga, atau melulu melukis burung, atau melulu melukis wanita-wanita telanjang.” Istriku nampak memperlihatkan sikapnya yang mendukung kegemaran Nina.
“Aku khawatir kalau masyarakat sudah tahu Nina suka menggambar celeng, kemudian mencelanya. Mereka bisa menuduh kita tidak mampu mendidik anak dengan baik. Bahkan, mereka bisa menuduh Nina punya bakat seni yang bisa merusak syariat Islam.”
“Jangan berpikir yang bukan-bukan, Mas. Celeng memang najis, tapi gambar celeng tidak najis.”
“Tapi masyarakat mungkin akan menuduh Nina menyukai sesuatu yang menjijikkan jika terus-menerus gemar menggambar celeng.”
“Jangan berprasangka buruk, Mas.”
“Aku akan mencoba melakukan sesuatu agar Nina tidak menggambar celeng lagi.”
“Apa yang akan kamu lakukan, Mas?”
“Aku akan membelinya, kalau Nina bersedia menggambar bunga atau kupu-kupu, misalnya.”
“Jangan lakukan cara licik seperti itu, Mas. Cara yang akan kamu lakukan itu sama dengan suap, Mas.”
“Tapi di dunia seni rupa banyak juga pelukis yang sudah biasa membuat lukisan pesanan.”
“Pelukis-pelukis yang melayani pesanan seperti itu biasanya disebut melacurkan diri, Mas.”
Dadaku langsung berdebar dan bulu kudukku langsung merinding begitu istriku menyebut istilah melacurkan diri. Sebagai seorang ayah, sudah tentu aku tidak sudi mempunyai anak gadis yang melacurkan diri atau menjadi pelacur.
“Sudahlah, Mas. Biarkan saja Nina menggambar sesuai minatnya. Kalau dia memang hanya berminat menggambar celeng, tak usah dipaksa menggambar obyek lain.”
Dadaku terasa sesak. Pikiran buruk mulai berlintasan di benakku. Ya, mungkin Nina tidak akan menggambar lagi, jika semua alat untuk menggambar miliknya kubuang dan kubakar di tempat sampah.
Setelah istriku terlelap, aku segera bangkit dan keluar kamar. Segera kuambil semua alat menggambar milik Nina dan juga semua gambar celeng yang telah dibuatnya, kemudian kubuang ke tempat sampah di belakang rumah. Lalu segera kubakar.
Sengaja pintu belakang tidak kukunci lagi, setelah aku masuk lagi sehabis membakar alat-alat menggambar dan sejumlah gambar celeng milik Nina di tempat sampah di halaman belakang. Dengan demikian, esok pagi istriku pasti akan menduga rumah kami telah kemasukan pencuri yang lewat pintu belakang itu. Maka, jika kemudian Nina mengeluh kehilangan semua alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya, istriku akan menuduh si pencuri itulah yang menggondolnya.
***
Setelah bangun tidur, Nina langsung menangis dan mengadu kepada kami tentang hilangnya semua alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya.
“Pasti semalam ada pencuri masuk dan menggondol alat menggambar dan semua gambar celeng,” ujarku.
“Pencurinya pasti gila, karena hanya masuk rumah untuk menggondol alat-alat menggambar dan semua gambar celeng milikmu, Nina,” ujar istriku sambil tersenyum sinis kepadaku.
Nina nampak sangat sedih dan dendam kepada si pencuri yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Aku merasa berdosa, karena telah membuatnya sedih dan dendam seperti itu.
“Dasar pencuri gila!” umpat Nina.
Untuk menghiburnya, aku kemudian membelikan alat-alat menggambar lagi untuk Nina. “Sebaiknya Nina tidak usah menggambar celeng lagi, agar tidak digondol pencuri.”
“Persetan dengan pencuri gila! Aku akan tetap menggambar celeng!” tegas Nina.
“Jangan keras kepala, Nina. Apakah kamu tidak takut kalau ada pencuri lagi dan menggondol alat-alat menggambar dan semua gambar celeng milikmu, bahkan juga menggondol kamu?” Aku mencoba mengintimidasi.
“Pasti pencuri itu tidak berani masuk rumah ini lagi, kecuali kalau benar-benar gila,” tukas Nina.
“Seharusnya kamu takut kepada pencuri yang mungkin benar-benar gila, Nina.” Aku tetap berusaha menakutinya. Tapi Nina nampaknya tidak takut. Dan kembali Nina menggambar celeng dengan kertas karton ukuran satu meter persegi, tidak menggambar lagi di buku gambar.
Gambar celeng dengan kertas karton satu meter persegi itu kemudian dipajang di dinding kamar tidurnya, di ruang tamu, di ruang keluarga, bahkan juga di dinding beranda depan. Nina seolah-olah ingin memamerkan gambar-gambar celeng itu kepada semua orang.
Setiap menatap gambar celeng itu, aku menahan rasa jijik dan muak. Rumah kami sering kubayangkan seperti kandang celeng yang jorok sekali. Tapi aku tidak mau lagi mencuri alat-alat menggambar dan gambar celeng milik Nina. Aku juga tak mau bicara lagi dengan istriku tentang kegemaran Nina.
Dan karena selalu jijik dan muak berada di rumah yang dipenuhi gambar celeng itu, aku tiba-tiba muntah-muntah sehabis makan malam.
“Mungkin kamu masuk angin, Mas. Sebaiknya dikeroki saja,” ujar istriku sambil mengambil sekeping uang logam dan balsem.
Ketika punggungku dikeroki istriku, aku mengeluh bahwa aku muntah-muntah karena jijik terhadap gambar-gambar celeng yang dipajang Nina di dinding-dinding itu.
“Tak usah terlalu fanatik, Mas. Dan jangan seperti kanak-kanak. Hanya melihat gambar celeng saja bisa muntah-muntah?!”
“Tapi aku tidak masuk angin. Buktinya, aku tidak kentut, juga tidak bersendawa, setelah kamu keroki?”
Istriku kemudian berhenti mengeroki punggungku. “Nampaknya kamu memang tidak masuk angin, Mas.”
“Nanti malam aku akan mencuri lagi alat-alat menggambar dan semua gambar celeng milik Nina,” ancamku.
“Eh, jangan, Mas. Kasihan Nina kalau sampai sedih kehilangan alat-alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya.”
Aku tak peduli. Dan pada tengah malam, kembali aku mengambil semua alat menggambar dan semua gambar celeng milik Nina, lalu kubakar di tempat sampah.
Ketika pagi tiba, Nina bangun tidur dan langsung menangis karena kehilangan alat-alat menggambar dan semua gambar celeng miliknya. Tangisan Nina berkepanjangan. Dan sejak hari itu, Nina setiap hari suka duduk terpekur, kemudian menangis berlama-lama. Istriku menduga Nina mengalami cedera mental yang cukup serius.
Menjelang malam, Nina keluar rumah. Sambil berdiri di halaman depan, Nina tiba-tiba berteriak keras-keras memanggil celeng: “Celeng! Datanglah!”
Sekian menit kemudian, celeng dengan jumlah ratusan ekor tiba-tiba datang menyerbu kampung kami. Semua orang panik dan marah. Tapi Nina justru tertawa-tawa sambil mengelus-elus punggung celeng-celeng yang mendekatinya. Celeng-celeng itu nampak bersahabat dengan Nina.(*)
Celeng
4/
5
Oleh
Syaf