“BAPAK balik dulu ke rumah. Ambil perlengkapan Ibu, perlengkapan bayi, juga ember untuk menampung ari-ari.”
Aku sedang memikirkan Jakob Nufer dan perbuatan sintingnya beberapa abad silam saat bidan itu menemuiku di ruang tunggu. “Rahim Ibu tipis, waktunya tidak akan lama lagi,” ia menambahkan.
Aku dan istriku sudah berulang kali mensimulasikan situasi jelang melahirkan, tetapi mengatasi kepanikan bukanlah keahlian yang bisa dipelajari semudah tata cara menyajikan mi instan. Beberapa hal juga sulit ditebak, misalnya, istriku akan melahirkan di sebuah Puskesmas, bukan rumah sakit.
Tidak ada masalah dengan Puskesmas Kampung Baru. Sama sekali tidak ada. Bangunannya sedap dipandang. Satu ruang bersalin dengan dua ranjang. Ruang nifas untuk dua pasien, ruang bidan dengan petugas jaga, dan ruang tunggu yang cukup luas bagi para suami untuk mengatasi kegugupan mereka, misalnya dengan mondar mandir, menari perut, senam kayang atau sekadar duduk kalem. Aku masih terbengong-bengong saat bidan itu meyakinkanku, “Insya Allah melahirkan normal. Sekarang cepatlah pulang. Istri Bapak bisa brojol kapan saja!”
***
Tiga jam sebelumnya aku di pasar buah, memilih-milih durian. Kota Luwuk sedang menerima berkah musim durian dari Pulau Banggai. Kata seorang ahli alam Inggris, Alfred Russel Wallace, durian adalah raja buah-buahan—bersanding dengan jeruk sebagai ratunya. Kata orang-orang tua, durian tidak baik bagi ibu hamil, tetapi istriku adalah ibu hamil kepala batu. “Belikan aku, satu saja,” rengeknya sore itu.
Ibu penjaja buah tengah mengikat sepuluh durian pesananku saat si Kepala Batu mengirimiku sebuah foto lewat layanan percakapan di telepon pintar. Foto secarik tisu tersepuh bercak merah marun. Kak, sudah keluar darah. Begitu keterangannya.
Dari fi lm Perancis berjudul Indigènes, aku memetik hikmah bahwa pemimpin terbaik adalah yang selalu tampak tenang. Cara paling makbul untuk itu adalah melakukan hal-hal yang mungkin kurang penting, namun membuatmu terlihat dapat mengendalikan situasi. Komandan pasukan dalam film tersebut misalnya, merokok agar tampak tenang dengan harapan anak buahnya juga ikut tenang, meski sesungguhnya ia gugup setengah mati di jam-jam menjelang penyerangan besar. Aku sendiri sudah berhenti merokok beberapa bulan lalu. Maka menjelang Magrib itu, aku hanya mampir ke sebuah kedai sari laut terlebih dahulu sebelum membalas pesan istriku: Sebentar lagi, Sayang. Pesan makan dulu.
Setiba di rumah, istriku sedang selonjoran di ruang tamu, menonton televisi. Ia terlihat girang melihat apa yang kubawa dari pasar buah. “Sakit?” pertanyaanku dibalasnya dengan gelengan. “Betul-betul belum terasa sakit?” aku berusaha memastikan, dan kembali dibalas gelengan.
Oke, belum ada rasa sakit. Belum ada kontraksi. Belum ada alasan untuk mengejan, dan si bos kecil masih nyaman meringkuk dalam rahim istriku. Aku hendak menyimpan durian-durian itu di dapur, tapi istriku minta dibelahkan satu. Aku turuti keinginannya. Melihat matanya merem melek mencecap buah yang dahulu digunakan orang-orang Maluku sebagai umpan penangkap musang itu, hatiku lumayan terharu.
Sekitar dua jam kemudian aku dan istriku sepakat memeriksakan kandungannya ke Puskesmas paling dekat dari rumah. Kami sepakat, jika memang sudah waktunya, aku harus segera menelepon kedua mertuaku, dan selekasnya membawa istriku ke rumah sakit. Namun, sebagaimana yang aku ungkapkan di awal cerita ini, kami tidak pernah sempat ke rumah sakit. Tidak ada waktu, istriku bisa brojol kapan saja.
***
Swiss abad 16, Jakob Nufer hanyalah seorang tukang jagal babi. Namun, ketika istrinya yang sedang hamil tua tiba-tiba mengalami pendarahan, ia sadar ia tak boleh menjadi sekadar penjagal babi.
Ketika itu tenaga dan fasilitas medis rumah bersalin belumlah selengkap dan sebanyak sekarang. Nufer tahu, penanganan yang terlambat akan berakibat fatal. Apalagi beberapa hari sebelumnya seorang bidan berkata kepadanya betapa mustahil untuk melahirkan normal karena celah panggul si ibu terlalu kecil. Maka, mengandalkan sebilah gunting baja serta pengalamannya membedah babi, lelaki itu akhirnya membedah istrinya sendiri. Perbuatan nekat, namun anehnya berhasil. Nufer bahkan mengulangi aksinya hingga lima kali. Konon, satu persalinan di antaranya kembar.
“Kenapa sih cerita soal ini?” tanya istriku, cemas sembari berbaring di salah satu ranjang ruang bersalin, menyamping menghadap aku yang duduk menggenggam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam, mertuaku yang tinggal di kecamatan yang seratus kilometer jauhnya dari Luwuk belum juga datang. Begitu pula rentetan rasa sakit, pertanda kesiapan si kecil mendobrak pintu masuknya ke dunia.
“Kemarin kan kamu suruh aku cari info soal bedah caesar. Ya, aku dapatnya info ini,” jawabku polos.
“Info tidak berguna,” istriku tertawa.
“Wah, masih tertawa. Berarti belum,” komentar seorang bidan yang kebetulan lewat.
Agaknya komentar itulah yang mengubah air muka istriku yang ceria jadi kecut. Begitu kesalnya ia sampai-sampai suaminya yang setia dan penuh kasih ini diusirnya dari ruang bersalin. “Nanti saja kembali kalau sudah berasa,” tukasnya.
Dengan enggan aku menurut, duduk di ruang tunggu.
Di ruang itu, bidan jaga sedang berbicara dengan pasien lain. Seorang ibu hamil bertubuh mungil. Dari percakapan mereka, aku dengar pihak Puskesmas terpaksa menolaknya, dan merujuknya ke RSUD. Si ibu mungil memiliki riwayat keguguran dua kali sebelumnya, sementara peralatan bersalin di Puskesmas Kampung Baru belum bisa dikatakan lengkap untuk persalinan dengan risiko tinggi.
Aku tak tahu emosi apa yang sedang menggelayuti paras Si ibu mungil. Perlahan ia bangkit dari kursi tamu, tersaruk menuju halaman, tempat seorang lelaki dengan rompi tukang ojek sedang menunggu.
Ini lima abad setelah Jakob Nufer menggunting perut istrinya, batinku.
***
“Rokok?”
Aku tersenyum seraya mengangkat tangan, menolak tawaran seorang bapak yang baru saja datang. Ia mengantarkan istrinya yang hendak melahirkan anak keempat mereka.
“Pantas Bapak terlihat tenang sekali. Sudah biasa rupanya,” ujarku. Sepuluh menit jelang tengah malam, kedua mertuaku belum juga tiba, sementara istriku belum memanggilku masuk ke ruang bersalin.
“Sebenarnya gugup juga. Bagaimanapun kita sedang mempertaruhkan dua nyawa,” sahutnya seraya mengembuskan asap rokok. “Kalau Bapak? Anak pertama ya?” ia balik bertanya.
Aku mengiyakan. “Sebenarnya istri rencananya melahirkan di RSUD, tapi ditahan sama bidan di sini. Katanya rahim istri saya tipis.”
Bapak itu mengisap lagi rokoknya. “Susah juga sekarang di RSUD. Bangunannya sedang direhab. Sementara pasien melonjak karena sedang musim demam berdarah. Banyak yang terpaksa tidur di koridor. Saya sendiri tadi dari sana. Rumah saya di Luwuk Utara, lebih dekat ke RSUD. Tapi mau bagaimana? Tidak ada ruangan kosong,” tuturnya.
Dalam hati aku mensyukuri kehamilan istriku yang relatif jauh dari masalah, cukup aman untuk melahirkan di Puskesmas, terbebas dari rebut-rebutan ruangan dengan pasien-pasien lain. Lantas aku teringat si ibu mungil yang harus dirujuk ke RSUD itu. Merenungi kesulitankesulitan yang mungkin dihadapinya, rasa syukurku tiba-tiba terasa khas kelas menengah. Individualistis dan kurang peka.
Tak berapa lama suara tangis bayi pecah dari dalam ruang bersalin. Mendengar itu aku dan si bapak serentak mengucap syukur dan saling bersalaman. Aku ucapkan selamat untuknya. Ia doakan persalinan istriku persalinan istrinya.
Tak berapa lama mertuaku tiba. Aku katakan anak mereka belum mengalami kontraksi, meski hampir dipastikan tidak ada masalah pada proses persalinannya nanti. Aku harus menunggu selama hampir setengah jam sampai pasien yang baru melahirkan itu dipindahkan ke ruang nifas, sebelum dapat menemui istriku, memberitahukan kedatangan orangtuanya.
Di dalam ruangan bersalin, alih-alih berbaring, aku mendapati si Kepala Batu berdiri di samping ranjang. Tubuhnya sedikit condong ke depan, bertumpu di atas kasur. Percaya atau tidak, rasanya malam itulah, aku melihat aura istriku terpancar begitu sempurna. Begitu tegar. Begitu cemerlang. Begitu kudus.
“Kau…. cantik sekali, sayang,” ucapku seraya menghujaninya dengan tatapan yang memuja.
Wajahnya memerah. Bukan merah yang biasa kulihat pada wajah seseorang yang merasa malu atau bungah mendengar gombalan. Wajahnya memerah dengan sepasang alis tertekuk, kulit di antaranya berkerut, dan tegangan pada bibirnya mengingatkanku pada tegangan bibir orang yang sedang menekan amarah, atau menahan buang air besar.
Oke, sudah waktunya memanggil bidan!
***
Aku sedang memikirkan Jakob Nufer dan perbuatan sintingnya beberapa abad silam saat bidan itu menemuiku di ruang tunggu. “Rahim Ibu tipis, waktunya tidak akan lama lagi,” ia menambahkan.
Aku dan istriku sudah berulang kali mensimulasikan situasi jelang melahirkan, tetapi mengatasi kepanikan bukanlah keahlian yang bisa dipelajari semudah tata cara menyajikan mi instan. Beberapa hal juga sulit ditebak, misalnya, istriku akan melahirkan di sebuah Puskesmas, bukan rumah sakit.
Tidak ada masalah dengan Puskesmas Kampung Baru. Sama sekali tidak ada. Bangunannya sedap dipandang. Satu ruang bersalin dengan dua ranjang. Ruang nifas untuk dua pasien, ruang bidan dengan petugas jaga, dan ruang tunggu yang cukup luas bagi para suami untuk mengatasi kegugupan mereka, misalnya dengan mondar mandir, menari perut, senam kayang atau sekadar duduk kalem. Aku masih terbengong-bengong saat bidan itu meyakinkanku, “Insya Allah melahirkan normal. Sekarang cepatlah pulang. Istri Bapak bisa brojol kapan saja!”
***
Tiga jam sebelumnya aku di pasar buah, memilih-milih durian. Kota Luwuk sedang menerima berkah musim durian dari Pulau Banggai. Kata seorang ahli alam Inggris, Alfred Russel Wallace, durian adalah raja buah-buahan—bersanding dengan jeruk sebagai ratunya. Kata orang-orang tua, durian tidak baik bagi ibu hamil, tetapi istriku adalah ibu hamil kepala batu. “Belikan aku, satu saja,” rengeknya sore itu.
Ibu penjaja buah tengah mengikat sepuluh durian pesananku saat si Kepala Batu mengirimiku sebuah foto lewat layanan percakapan di telepon pintar. Foto secarik tisu tersepuh bercak merah marun. Kak, sudah keluar darah. Begitu keterangannya.
Dari fi lm Perancis berjudul Indigènes, aku memetik hikmah bahwa pemimpin terbaik adalah yang selalu tampak tenang. Cara paling makbul untuk itu adalah melakukan hal-hal yang mungkin kurang penting, namun membuatmu terlihat dapat mengendalikan situasi. Komandan pasukan dalam film tersebut misalnya, merokok agar tampak tenang dengan harapan anak buahnya juga ikut tenang, meski sesungguhnya ia gugup setengah mati di jam-jam menjelang penyerangan besar. Aku sendiri sudah berhenti merokok beberapa bulan lalu. Maka menjelang Magrib itu, aku hanya mampir ke sebuah kedai sari laut terlebih dahulu sebelum membalas pesan istriku: Sebentar lagi, Sayang. Pesan makan dulu.
Setiba di rumah, istriku sedang selonjoran di ruang tamu, menonton televisi. Ia terlihat girang melihat apa yang kubawa dari pasar buah. “Sakit?” pertanyaanku dibalasnya dengan gelengan. “Betul-betul belum terasa sakit?” aku berusaha memastikan, dan kembali dibalas gelengan.
Oke, belum ada rasa sakit. Belum ada kontraksi. Belum ada alasan untuk mengejan, dan si bos kecil masih nyaman meringkuk dalam rahim istriku. Aku hendak menyimpan durian-durian itu di dapur, tapi istriku minta dibelahkan satu. Aku turuti keinginannya. Melihat matanya merem melek mencecap buah yang dahulu digunakan orang-orang Maluku sebagai umpan penangkap musang itu, hatiku lumayan terharu.
Sekitar dua jam kemudian aku dan istriku sepakat memeriksakan kandungannya ke Puskesmas paling dekat dari rumah. Kami sepakat, jika memang sudah waktunya, aku harus segera menelepon kedua mertuaku, dan selekasnya membawa istriku ke rumah sakit. Namun, sebagaimana yang aku ungkapkan di awal cerita ini, kami tidak pernah sempat ke rumah sakit. Tidak ada waktu, istriku bisa brojol kapan saja.
***
Swiss abad 16, Jakob Nufer hanyalah seorang tukang jagal babi. Namun, ketika istrinya yang sedang hamil tua tiba-tiba mengalami pendarahan, ia sadar ia tak boleh menjadi sekadar penjagal babi.
Ketika itu tenaga dan fasilitas medis rumah bersalin belumlah selengkap dan sebanyak sekarang. Nufer tahu, penanganan yang terlambat akan berakibat fatal. Apalagi beberapa hari sebelumnya seorang bidan berkata kepadanya betapa mustahil untuk melahirkan normal karena celah panggul si ibu terlalu kecil. Maka, mengandalkan sebilah gunting baja serta pengalamannya membedah babi, lelaki itu akhirnya membedah istrinya sendiri. Perbuatan nekat, namun anehnya berhasil. Nufer bahkan mengulangi aksinya hingga lima kali. Konon, satu persalinan di antaranya kembar.
“Kenapa sih cerita soal ini?” tanya istriku, cemas sembari berbaring di salah satu ranjang ruang bersalin, menyamping menghadap aku yang duduk menggenggam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam, mertuaku yang tinggal di kecamatan yang seratus kilometer jauhnya dari Luwuk belum juga datang. Begitu pula rentetan rasa sakit, pertanda kesiapan si kecil mendobrak pintu masuknya ke dunia.
“Kemarin kan kamu suruh aku cari info soal bedah caesar. Ya, aku dapatnya info ini,” jawabku polos.
“Info tidak berguna,” istriku tertawa.
“Wah, masih tertawa. Berarti belum,” komentar seorang bidan yang kebetulan lewat.
Agaknya komentar itulah yang mengubah air muka istriku yang ceria jadi kecut. Begitu kesalnya ia sampai-sampai suaminya yang setia dan penuh kasih ini diusirnya dari ruang bersalin. “Nanti saja kembali kalau sudah berasa,” tukasnya.
Dengan enggan aku menurut, duduk di ruang tunggu.
Di ruang itu, bidan jaga sedang berbicara dengan pasien lain. Seorang ibu hamil bertubuh mungil. Dari percakapan mereka, aku dengar pihak Puskesmas terpaksa menolaknya, dan merujuknya ke RSUD. Si ibu mungil memiliki riwayat keguguran dua kali sebelumnya, sementara peralatan bersalin di Puskesmas Kampung Baru belum bisa dikatakan lengkap untuk persalinan dengan risiko tinggi.
Aku tak tahu emosi apa yang sedang menggelayuti paras Si ibu mungil. Perlahan ia bangkit dari kursi tamu, tersaruk menuju halaman, tempat seorang lelaki dengan rompi tukang ojek sedang menunggu.
Ini lima abad setelah Jakob Nufer menggunting perut istrinya, batinku.
***
“Rokok?”
Aku tersenyum seraya mengangkat tangan, menolak tawaran seorang bapak yang baru saja datang. Ia mengantarkan istrinya yang hendak melahirkan anak keempat mereka.
“Pantas Bapak terlihat tenang sekali. Sudah biasa rupanya,” ujarku. Sepuluh menit jelang tengah malam, kedua mertuaku belum juga tiba, sementara istriku belum memanggilku masuk ke ruang bersalin.
“Sebenarnya gugup juga. Bagaimanapun kita sedang mempertaruhkan dua nyawa,” sahutnya seraya mengembuskan asap rokok. “Kalau Bapak? Anak pertama ya?” ia balik bertanya.
Aku mengiyakan. “Sebenarnya istri rencananya melahirkan di RSUD, tapi ditahan sama bidan di sini. Katanya rahim istri saya tipis.”
Bapak itu mengisap lagi rokoknya. “Susah juga sekarang di RSUD. Bangunannya sedang direhab. Sementara pasien melonjak karena sedang musim demam berdarah. Banyak yang terpaksa tidur di koridor. Saya sendiri tadi dari sana. Rumah saya di Luwuk Utara, lebih dekat ke RSUD. Tapi mau bagaimana? Tidak ada ruangan kosong,” tuturnya.
Dalam hati aku mensyukuri kehamilan istriku yang relatif jauh dari masalah, cukup aman untuk melahirkan di Puskesmas, terbebas dari rebut-rebutan ruangan dengan pasien-pasien lain. Lantas aku teringat si ibu mungil yang harus dirujuk ke RSUD itu. Merenungi kesulitankesulitan yang mungkin dihadapinya, rasa syukurku tiba-tiba terasa khas kelas menengah. Individualistis dan kurang peka.
Tak berapa lama suara tangis bayi pecah dari dalam ruang bersalin. Mendengar itu aku dan si bapak serentak mengucap syukur dan saling bersalaman. Aku ucapkan selamat untuknya. Ia doakan persalinan istriku persalinan istrinya.
Tak berapa lama mertuaku tiba. Aku katakan anak mereka belum mengalami kontraksi, meski hampir dipastikan tidak ada masalah pada proses persalinannya nanti. Aku harus menunggu selama hampir setengah jam sampai pasien yang baru melahirkan itu dipindahkan ke ruang nifas, sebelum dapat menemui istriku, memberitahukan kedatangan orangtuanya.
Di dalam ruangan bersalin, alih-alih berbaring, aku mendapati si Kepala Batu berdiri di samping ranjang. Tubuhnya sedikit condong ke depan, bertumpu di atas kasur. Percaya atau tidak, rasanya malam itulah, aku melihat aura istriku terpancar begitu sempurna. Begitu tegar. Begitu cemerlang. Begitu kudus.
“Kau…. cantik sekali, sayang,” ucapku seraya menghujaninya dengan tatapan yang memuja.
Wajahnya memerah. Bukan merah yang biasa kulihat pada wajah seseorang yang merasa malu atau bungah mendengar gombalan. Wajahnya memerah dengan sepasang alis tertekuk, kulit di antaranya berkerut, dan tegangan pada bibirnya mengingatkanku pada tegangan bibir orang yang sedang menekan amarah, atau menahan buang air besar.
Oke, sudah waktunya memanggil bidan!
***
Menanti Rasa Sakit
4/
5
Oleh
Syaf