Keesokan malam setelah kulantangkan sumpah di halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau kosongkan. Celurit yang tidak terlalu melengkung dan matanya tidak mengilap, justru agak coklat seperti berkarat, itu seolah tidak sabar menanti malam eksekusi.
“Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah.” Jelasmu suatu malam, sepulang dari balai desa. Suaramu tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Kau membasuh celurit berlumur darah dengan air rendaman kertas bertuliskan huruf-huruf hijaiyah yang tidak sempat kubaca isinya.
Kuamati jemari ringkihmu ketika mengusap mata celurit tanpa takut terluka. Bayangan sebuah tangan lepas dari batang lengannya masih menyisakan getaran pada sendi lututku. Hanya sekali tebas tangan itu terdampar ke tanah. Erangan keras penuh kesakitan mengoyak sunyi malam di antara kebungkaman warga yang rapat memagar menyaksikan eksekusi untuk lelaki yang diketahui jadi maling sapi. Ia berhasil ditangkap semalam sebelumnya di perbatasan desa saat tengah menggiring paksa sapi hasil curian milik salah seorang warga desa kita.
Selesai dibasuh, kau mengelap celurit dengan kain putih, lalu membawanya ke dalam dan menggantungnya kembali di tempat biasa.
“Dengan celurit itu, keamanan desa kita cukup aman sejak dulu. Hanya orang luar yang berani macam-macam! Itu pun tidak berlangsung lama!” lanjutmu, melangkah meninggalkan kamar.
“Kenapa tidak diserahkan pada polisi saja?” kuikuti langkahmu dengan pertanyaan bernada protes.
Kau terkekeh sebentar. “Di luar sana, uang bisa membeli apa saja. Itu sebab, mengapa leluhur kita lebih mematuhi hukum yang diajari kiainya!” dengan tenang kau duduk di kursi rotan, lalu mengeluarkan selembar kulit klobot dan sejumput tembakau dari plastik keresek hitam di atas meja. Secangkir kopi tinggal ampasnya dikerubungi semut.
Benar. Turun-temurun keluarga kita dipercaya jadi kalebun (kepala desa), hukum pun kita yang menyetirnya.
***
Dua malam setelah kulantangkan sumpah di halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau kosongkan.
Kupejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam. Aroma tubuhmu serasa membaui penciumanku. Bau keringat, minyak tanah bercampur bau tembakau yang tajam dan pekat tidak pernah hilang dari kamar ini.
Kubuka mata seraya melepas napas dengan berat. Perlahan tanganku merayapi dinding, meraih gagang celurit dan meloloskan tali gantungnya dari paku.
“Celurit ini pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa atas pengabdian leluhur kita pada beliau,” suaramu terngiang di telingaku.
Meraba gagang celurit ini aku seperti meraba batang lenganmu yang ringkih penuh tonjolan urat namun tetap tampak kuat. Katamu, celurit ini diyakini memiliki jiwa. Matanya akan tumpul menghadapi jiwa-raga yang suci. Begitupun sebaliknya. Belum pernah ada pendosa yang selamat dari ketajamannya.
“Sukma leluhur kita menyusup ke dalamnya setelah dia meninggal,” jelasmu, seolah bisa membaca keraguan dalam benakku saat pertama kali mendengarnya.
Setiap malam Jumat manis menjelang magrib, kau tak lupa me-nyonson-nya di atas kepulan asap dupa, tepat di ambang pintu, dengan mulut komat-kamit. Menjelang wafat pun kau berwasiat agar aku selalu menjaga dan merawat celurit warisan ini, sekaligus menjaga keamanan desa kita.
Sampai kini wasiatmu masih kulaksanakan. Akan tetapi, apakah kau tahu peristiwa dua malam lalu?
“Bunuh!”
“Iya, bunuh! Dia harus dibunuh!”
“Nyawa balas nyawa!”
“Dulu Kalebun Towah (kepala desa lama) juga pernah menjatuhkan hukuman serupa! Hukuman mati bagi pembunuh!”
Malam itu lampu padam. Langit muram. Bintang dan sesabit bulan berkelindan di balik awan. Hujan terganjal sejak senja tadi. Angin berembus rendah. Hanya lampu gantung di teras yang sedikit menerangi halaman balai desa.
Aku berdiri di undakan balai desa, menatap warga yang berjejalan di halaman penuh teriakan, tuntutan. Tepat di hadapanku, cucumu membisu, tertunduk layu. Sebelah lengan bajunya robek tak karuan. Ada bercak darah di sudut bibir dan pipinya lebam-lebam. Celurit penuh darah menggantung sungsang di tangannya, hampir menyentuh tanah.
“Celurit ini pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa atas pengabdian leluhur kita pada beliau. Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah!” suaramu menyusup samar ke liang telingaku.
Di sebelahku, menantumu berdiri bisu. Bahunya berguncang halus. Entah sudah berapa kali ia mengusap mata dan lubang hidungnya dengan ujung baju. Sedu tangisnya tertindih riuh teriakan warga yang saling sahut.
“Kami harap Kalebun bertindak adil meskipun kali ini adalah anggota keluarga sendiri!”
“Benar! Hukum tidak boleh pandang kerabat!”
“Setuju! Ini penganiayaan karena lelaki itu tidak bersenjata!”
“Betul! Walaupun korbannya bukan warga desa kita, lelaki itu berhak mendapatkan keadilan!”
Suara-suara lantang saling timpal. Laki-perempuan.
Kulangkahkan kaki menuruni dua undakan balai. Di hadapan cucumu yang masih menunduk dalam, aku bertanya, “Apa benar kau yang membunuhnya?”
“Iya!” cucumu mengangguk sekali. Suaranya lirih.
“Kenapa? Apa kesalahan lelaki itu?”
“Dia menggoda Murtipah.”
Murtipah? Kuulang nama itu dalam hati. Aku ingat. Dua malam sebelumnya, cucumu memang minta izin untuk meminang anak perawan itu. Cucumu menyukainya.
“Menggoda?” mataku memicing.
“Tidak hanya itu. Tadi Murtipah pulang sendirian karena teman-temannya menonton tanggapan saronen. Aku sengaja mengikuti Murtipah diam-diam karena sebelumnya aku dengar lelaki itu memang selalu mengganggu Murtipah dan teman-temannya sepulang dari langgar. Ternyata benar. Lelaki itu mencegat Murtipah di tikungan jalan. Tidak sekadar menggoda, ia juga menyeret Murtipah ke balik rimbun pohon singkong milik Nom Sakrah!”
“Lalu?”
“Kami terlibat perkelahian. Kami sama-sama tidak bersenjata. Tapi dia menantang, menyuruhku mengambil celurit warisan ini karena ia tidak percaya celurit ini mampu melukainya karena dirinya sudah memiliki ilmu kebal.”
Celurit itu memang dikenal tidak hanya di desa kami. “Kau membawa celurit itu tanpa seizinku!”
“Bukankah Eppa’ sedang menghadiri undangan di rumah pengantin yang menanggap saronen?”
Dadaku serasa dipenuhi gumpalan asap tebal. Kulit wajahku seperti diusapi ulekan cabai. Sebagai kalebun, keadilan seperti apa yang harus kutegakkan? Seandainya cucumu tidak menyukai perawan itu, barangkali aku bisa memutuskan lain.
“Bagaimana ini, Pak Kalebun?”
“Kalian sudah mendengar duduk persoalannya. Anakku telah main hakim sendiri. Itu tidak dibenarkan!”
“Lantas keadilan apa yang akan Pak Kalebun berikan?” Murakkab, lelaki yang tadi menggiring cucumu ke halaman balai desa seperti kambing hendak dikembalakan, bertanya lantang dengan muka sinis. Ada bara dendam di matanya. Barangkali karena kau pernah mengeksekusi saudaranya yang tinggal di kampung sebelah setelah kepergok jadi maling sapi di desa ini.
“Kalian sudah tahu, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi! Malam Jumat nanti, datanglah kemari kalau ingin menyaksikan eksekusinya!” keputusanku membuat hadirin terbungkam. Aku tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah mereka masing-masing. Hanya wajah Murakkab yang tampak tersenyum puas karena ia berdiri di baris depan dengan kaki mengangkang.
Apakah keputusanku ini benar? Kuurut dada dengan mata terpejam setelah warga beranjak pulang dan mayat digotong untuk diantarkan ke sanak keluarganya.
Senjata akan makan tuan. Cucumu akan menghadapi eksekusi hukum mati besok malam, dengan celurit ini. Celurit yang leluhur kita wariskan.
Aku terduduk lemas ke kursi. Sedu tangis terdengar tak henti dari kamar tidurku, beradu dengan denyit gesekan pohon bambu di belakang rumah. Sejak malam peristiwa itu, menantumu tidak memiliki pekerjaan lain kecuali menguras air mata. Ia membisu setelah sempat berdebat sengit pada malam peristiwa sepulang dari balai. Ia beranggapan keputusanku salah. Tapi cucumu menyukai perawan itu. Ia bisa saja membunuh karena terbakar api cemburu. Apakah menurutmu keputusanku keliru?
Di atas meja di depanku, ada lipatan kain kafan, buntelan kapas, daun pandan yang sudah dikerat-kerat sepanjang lima sentimenter dan diuntai dengan benang sepanjang satu meter, serbuk dupa dan parutan cendana berwadah mangkok.
Selepas isya, eksekusi akan dilakukan di halaman balai desa.
***
Tubuhku tersandar lemas ke dinding dengan pandangan tak berkedip. Ke mana celurit itu? Celurit itu raib. Padahal, baru tadi menjelang magrib aku me-nyonson-nya. Begitu selesai, celurit itu kuletakkan kembali ke tempatnya, dan kamar ini kukunci seperti biasa. Tidak mungkin ada orang menyusup masuk. Jendela pun masih tertutup rapat.
Tubuhku melorot kulai ke lantai seperti karung kosong. Tidak! Tidak mungkin. Apakah warisan itu lenyap dengan sendirinya?
Tidak ada yang tersisa. Di mata orang-orang aku sudah seperti pecundang yang lari dari medan perang. Jabatan kalebun pun tak berhak kupertahankan. Aku kalah. Mungkin seharusnya aku tidak menyuruh cucumu lari demi menghindari eksekusi yang telah kujatuhkan sendiri. Sekarang, raibnya celurit itu serasa melengkapi kekalahanku.
Maukah kau menemani kesendirianku? Tapi kenapa aroma tubuhmu di kamar ini juga lenyap?
“Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah.” Jelasmu suatu malam, sepulang dari balai desa. Suaramu tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Kau membasuh celurit berlumur darah dengan air rendaman kertas bertuliskan huruf-huruf hijaiyah yang tidak sempat kubaca isinya.
Kuamati jemari ringkihmu ketika mengusap mata celurit tanpa takut terluka. Bayangan sebuah tangan lepas dari batang lengannya masih menyisakan getaran pada sendi lututku. Hanya sekali tebas tangan itu terdampar ke tanah. Erangan keras penuh kesakitan mengoyak sunyi malam di antara kebungkaman warga yang rapat memagar menyaksikan eksekusi untuk lelaki yang diketahui jadi maling sapi. Ia berhasil ditangkap semalam sebelumnya di perbatasan desa saat tengah menggiring paksa sapi hasil curian milik salah seorang warga desa kita.
Selesai dibasuh, kau mengelap celurit dengan kain putih, lalu membawanya ke dalam dan menggantungnya kembali di tempat biasa.
“Dengan celurit itu, keamanan desa kita cukup aman sejak dulu. Hanya orang luar yang berani macam-macam! Itu pun tidak berlangsung lama!” lanjutmu, melangkah meninggalkan kamar.
“Kenapa tidak diserahkan pada polisi saja?” kuikuti langkahmu dengan pertanyaan bernada protes.
Kau terkekeh sebentar. “Di luar sana, uang bisa membeli apa saja. Itu sebab, mengapa leluhur kita lebih mematuhi hukum yang diajari kiainya!” dengan tenang kau duduk di kursi rotan, lalu mengeluarkan selembar kulit klobot dan sejumput tembakau dari plastik keresek hitam di atas meja. Secangkir kopi tinggal ampasnya dikerubungi semut.
Benar. Turun-temurun keluarga kita dipercaya jadi kalebun (kepala desa), hukum pun kita yang menyetirnya.
***
Dua malam setelah kulantangkan sumpah di halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau kosongkan.
Kupejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam. Aroma tubuhmu serasa membaui penciumanku. Bau keringat, minyak tanah bercampur bau tembakau yang tajam dan pekat tidak pernah hilang dari kamar ini.
Kubuka mata seraya melepas napas dengan berat. Perlahan tanganku merayapi dinding, meraih gagang celurit dan meloloskan tali gantungnya dari paku.
“Celurit ini pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa atas pengabdian leluhur kita pada beliau,” suaramu terngiang di telingaku.
Meraba gagang celurit ini aku seperti meraba batang lenganmu yang ringkih penuh tonjolan urat namun tetap tampak kuat. Katamu, celurit ini diyakini memiliki jiwa. Matanya akan tumpul menghadapi jiwa-raga yang suci. Begitupun sebaliknya. Belum pernah ada pendosa yang selamat dari ketajamannya.
“Sukma leluhur kita menyusup ke dalamnya setelah dia meninggal,” jelasmu, seolah bisa membaca keraguan dalam benakku saat pertama kali mendengarnya.
Setiap malam Jumat manis menjelang magrib, kau tak lupa me-nyonson-nya di atas kepulan asap dupa, tepat di ambang pintu, dengan mulut komat-kamit. Menjelang wafat pun kau berwasiat agar aku selalu menjaga dan merawat celurit warisan ini, sekaligus menjaga keamanan desa kita.
Sampai kini wasiatmu masih kulaksanakan. Akan tetapi, apakah kau tahu peristiwa dua malam lalu?
“Bunuh!”
“Iya, bunuh! Dia harus dibunuh!”
“Nyawa balas nyawa!”
“Dulu Kalebun Towah (kepala desa lama) juga pernah menjatuhkan hukuman serupa! Hukuman mati bagi pembunuh!”
Malam itu lampu padam. Langit muram. Bintang dan sesabit bulan berkelindan di balik awan. Hujan terganjal sejak senja tadi. Angin berembus rendah. Hanya lampu gantung di teras yang sedikit menerangi halaman balai desa.
Aku berdiri di undakan balai desa, menatap warga yang berjejalan di halaman penuh teriakan, tuntutan. Tepat di hadapanku, cucumu membisu, tertunduk layu. Sebelah lengan bajunya robek tak karuan. Ada bercak darah di sudut bibir dan pipinya lebam-lebam. Celurit penuh darah menggantung sungsang di tangannya, hampir menyentuh tanah.
“Celurit ini pemberian seorang kiai sebagai tanda jasa atas pengabdian leluhur kita pada beliau. Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah!” suaramu menyusup samar ke liang telingaku.
Di sebelahku, menantumu berdiri bisu. Bahunya berguncang halus. Entah sudah berapa kali ia mengusap mata dan lubang hidungnya dengan ujung baju. Sedu tangisnya tertindih riuh teriakan warga yang saling sahut.
“Kami harap Kalebun bertindak adil meskipun kali ini adalah anggota keluarga sendiri!”
“Benar! Hukum tidak boleh pandang kerabat!”
“Setuju! Ini penganiayaan karena lelaki itu tidak bersenjata!”
“Betul! Walaupun korbannya bukan warga desa kita, lelaki itu berhak mendapatkan keadilan!”
Suara-suara lantang saling timpal. Laki-perempuan.
Kulangkahkan kaki menuruni dua undakan balai. Di hadapan cucumu yang masih menunduk dalam, aku bertanya, “Apa benar kau yang membunuhnya?”
“Iya!” cucumu mengangguk sekali. Suaranya lirih.
“Kenapa? Apa kesalahan lelaki itu?”
“Dia menggoda Murtipah.”
Murtipah? Kuulang nama itu dalam hati. Aku ingat. Dua malam sebelumnya, cucumu memang minta izin untuk meminang anak perawan itu. Cucumu menyukainya.
“Menggoda?” mataku memicing.
“Tidak hanya itu. Tadi Murtipah pulang sendirian karena teman-temannya menonton tanggapan saronen. Aku sengaja mengikuti Murtipah diam-diam karena sebelumnya aku dengar lelaki itu memang selalu mengganggu Murtipah dan teman-temannya sepulang dari langgar. Ternyata benar. Lelaki itu mencegat Murtipah di tikungan jalan. Tidak sekadar menggoda, ia juga menyeret Murtipah ke balik rimbun pohon singkong milik Nom Sakrah!”
“Lalu?”
“Kami terlibat perkelahian. Kami sama-sama tidak bersenjata. Tapi dia menantang, menyuruhku mengambil celurit warisan ini karena ia tidak percaya celurit ini mampu melukainya karena dirinya sudah memiliki ilmu kebal.”
Celurit itu memang dikenal tidak hanya di desa kami. “Kau membawa celurit itu tanpa seizinku!”
“Bukankah Eppa’ sedang menghadiri undangan di rumah pengantin yang menanggap saronen?”
Dadaku serasa dipenuhi gumpalan asap tebal. Kulit wajahku seperti diusapi ulekan cabai. Sebagai kalebun, keadilan seperti apa yang harus kutegakkan? Seandainya cucumu tidak menyukai perawan itu, barangkali aku bisa memutuskan lain.
“Bagaimana ini, Pak Kalebun?”
“Kalian sudah mendengar duduk persoalannya. Anakku telah main hakim sendiri. Itu tidak dibenarkan!”
“Lantas keadilan apa yang akan Pak Kalebun berikan?” Murakkab, lelaki yang tadi menggiring cucumu ke halaman balai desa seperti kambing hendak dikembalakan, bertanya lantang dengan muka sinis. Ada bara dendam di matanya. Barangkali karena kau pernah mengeksekusi saudaranya yang tinggal di kampung sebelah setelah kepergok jadi maling sapi di desa ini.
“Kalian sudah tahu, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi! Malam Jumat nanti, datanglah kemari kalau ingin menyaksikan eksekusinya!” keputusanku membuat hadirin terbungkam. Aku tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah mereka masing-masing. Hanya wajah Murakkab yang tampak tersenyum puas karena ia berdiri di baris depan dengan kaki mengangkang.
Apakah keputusanku ini benar? Kuurut dada dengan mata terpejam setelah warga beranjak pulang dan mayat digotong untuk diantarkan ke sanak keluarganya.
Senjata akan makan tuan. Cucumu akan menghadapi eksekusi hukum mati besok malam, dengan celurit ini. Celurit yang leluhur kita wariskan.
Aku terduduk lemas ke kursi. Sedu tangis terdengar tak henti dari kamar tidurku, beradu dengan denyit gesekan pohon bambu di belakang rumah. Sejak malam peristiwa itu, menantumu tidak memiliki pekerjaan lain kecuali menguras air mata. Ia membisu setelah sempat berdebat sengit pada malam peristiwa sepulang dari balai. Ia beranggapan keputusanku salah. Tapi cucumu menyukai perawan itu. Ia bisa saja membunuh karena terbakar api cemburu. Apakah menurutmu keputusanku keliru?
Di atas meja di depanku, ada lipatan kain kafan, buntelan kapas, daun pandan yang sudah dikerat-kerat sepanjang lima sentimenter dan diuntai dengan benang sepanjang satu meter, serbuk dupa dan parutan cendana berwadah mangkok.
Selepas isya, eksekusi akan dilakukan di halaman balai desa.
***
Tubuhku tersandar lemas ke dinding dengan pandangan tak berkedip. Ke mana celurit itu? Celurit itu raib. Padahal, baru tadi menjelang magrib aku me-nyonson-nya. Begitu selesai, celurit itu kuletakkan kembali ke tempatnya, dan kamar ini kukunci seperti biasa. Tidak mungkin ada orang menyusup masuk. Jendela pun masih tertutup rapat.
Tubuhku melorot kulai ke lantai seperti karung kosong. Tidak! Tidak mungkin. Apakah warisan itu lenyap dengan sendirinya?
Tidak ada yang tersisa. Di mata orang-orang aku sudah seperti pecundang yang lari dari medan perang. Jabatan kalebun pun tak berhak kupertahankan. Aku kalah. Mungkin seharusnya aku tidak menyuruh cucumu lari demi menghindari eksekusi yang telah kujatuhkan sendiri. Sekarang, raibnya celurit itu serasa melengkapi kekalahanku.
Maukah kau menemani kesendirianku? Tapi kenapa aroma tubuhmu di kamar ini juga lenyap?
Celurit Warisan
4/
5
Oleh
Syaf