TUBUH orang itu menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya kisut kering penuh sisik kasar dengan borok kering. Mulutnya perot, seakan ada yang mencengkeram rahang dan lehernya. Ia terbelalak seolah melihat maut yang begitu mengerikan. Sudah lebih delapan jam ia mengerang meregang berkelojotan. Orang-orang yakin: dia terkena teluh, dan hanya kematian yang bisa menyelamatkan.
Kiai Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan, tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astaghfirullah—puluhan paku berkarat menyembul dari pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan mur dan baut, potongan kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih terlihat berkilat. Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah yang menyaksikan, “Biarkan dia istirahat.”
Keesokan harinya, orang itu sudah bugar.
Kisah itu hanyalah salah satu dari banyak kisah yang sudah Hanafi dengar tentang Kiai Karnawi. Kisah paling dramatik yang Hanafi dengar, ialah saat terjadi bentrok petani dengan aparat. Para buruh tani yang bertahun-tahun menggarap lahan protes ketika diusir, karena hendak dibangun perumahan mewah. Merasa protesnya tak ditanggapi, mereka merusak pagar pembatas dan mulai bentrok dengan aparat yang mengepung. Beberapa gubuk petani dibakar beberapa preman yang disewa pengembang, membuat suasana makin kalap. Bentrokan tak bisa dihindarkan. Aparat mulai melepaskan tembakan. Satu peluru nyasar mengenai seorang bocah, tepat menghunjam kepalanya. Kemunculan Kiai Karnawi mampu meredakan amuk buruh tani. Saat itu Kiai Karnawi berhasil menangkap sebutir peluru yang ditembakkan kepadanya (Hanafi suka membayangkan adegan ini secara slow motion seperti dalam film) dan langsung membentak komandan pasukan, agar menarik mundur semua aparat. Bocah yang kepalanya tertembak dibopong Kiai Karnawi, yang langsung menyuapkan sebutir kurma. Pelan-pelan, peluru yang menancap dalam kepala bocah itu menggeliat keluar. Dan lubang bekas peluru itu, menutup dengan sendirinya.
Kisah lain adalah ibu hamil yang kandungannya sudah lebih dari 19 bulan, tapi bayi itu tak juga mau keluar. Ia buruh cuci harian, yang tak punya biaya untuk caesar. Perut itu menggelembung, seolah membopong sekarung beras, membuatnya kepayahan berjalan. Belum lagi rasa sakit yang selalu menyodok-nyodok dan mengaduk-aduk perutnya. Ia akhirnya hanya bisa terkapar dengan perut yang semakin membesar. Orang-orang kemudian kasak-kusuk, kalau bayi yang dikandungnya membawa kutukan. Kalaupun lahir hanya membawa keburukan. Setelah kehilangan harapan, suaminya mendatangi Kiai Karnawi, yang memberinya sebiji kurma. “Pulanglah, dan suruh istrimu makan kurma ini,” ujar Kiai Karnawi. Dua jam setelah makan kurma itu, bayinya lahir: selamat dan sehat.
Itu kurma ajwah, kata orang-orang. Kurma Nabi. Kurma dari surga, yang bisa menangkal sihir dan racun. Kanjeng Nabi sendiri yang menanam bibit pohon kurma itu di Madinah. Warnanya kehitaman, tak lebih hanya setengah jari orang dewasa, lebih kecil dibanding kurma lainnya, tapi paling enak rasanya. Kiai Karnawi memetik langsung kurma itu dari pohon yang ditanam Kanjeng Nabi. Kisah itu, sering diceritakan berulang-ulang Umar Rais kepada Hanafi. “Terkadang, setiap Jumatan, Kiai Karnawi sholat di Masjid Nabawi,” ujar majikannya. “Setelah itu, Kiai Karnawi selalu memetik kurma ajwah dan membawanya pulang. Di bulan Ramadhan, Kiai Karnawi juga sering sholat witir di masjid Madinah itu….”
Tapi ada lagi cerita lain yang didengar Hanafi. Kabarnya Kiai Karnawi didatangi Nabi Khidir dalam mimpi. Kiai Karwani diajak ke kebun kurma yang begitu luas, seakan batas kebun itu jauhnya sampai ke lengkung cakrawala. Ada beberapa tenda di dekat kebun kurma itu. Di sana sudah berkumpul beberapa orang. Sepertinya mereka kafilah pengembara dari berbagai negeri yang jauh. Nabi Khidir kemudian menyuruh mereka menunjukkan: yang mana pohon kurma ajwah di antara ratusan pohon kurma yang tumbuh di kebun itu. Dengan yakin, satu per satu orang itu menunjuk sebuah pohon. Tapi Nabi Khidir menggeleng. Tak satu pun dari orang-orang itu berhasil. Sampai tiba giliran Kiai Karnawi.
“Bisakah kisanak tunjukan, yang mana pohon kurma ajwah yang ditanam kanjeng Nabi, 14 abad yang lalu,” ujar Nabi Khidir.
“Sebelumnya, maafkan sahaya yang daif ini, Sinuhun,” Kiai Karnawi bicara sopan, “bisakan Sinuhun memberi tahu terlebih dahulu, di manakah arah kiblat….”
Lalu Nabi Khidir menunjuk satu arah. Tepat, di arah yang ditunjuk itu terlihat satu pohon kurma.
“Terima kasih, Sinuhun. Itulah gerangan pohon kurma ajwah yang Sinuhun maksud….”
Nabi Khidir tersenyum. Dipetik satu buah kurma, dan diberikan pada Kiai Karnawi. Banyak yang yakin, kurma itulah yang selalu diberikan Kiai Karnawi kepada orang-orang. Sebiji kurma itu, tak akan pernah habis dimakan. Ada kejadian yang dilihat langsung Hanafi terkait hal itu. Ia diajak majikannya mengikuti pengajian Kiai Karnawi. Ratusan orang hadir di pengajian lailatul qadar di rumah Kiai Karnawi yang kecil dan sederhana. Hanafi melihat sebutir kurma tersaji di piring seng yang sudah tampak kuno. Bergiliran, ratusan orang yang hadir mengambil kurma itu dan memakannya—atau ada yang mengantunginya untuk dibawa pulang—tapi di piring itu: tetap saja masih ada sebutir kurma….
Kurma ajwah pemberian Nabi Khidir, begitu banyak orang meyakini.
Beberapa kali Hanafi bertemu Kiai Karnawi, saat mengantar Umar Rais sowan. Tak hanya pada acara-acara keagamaan, tapi pada tiap kesempatan—biasanya pada akhir pekan dan saat ada bakti sosial seperti sunatan massal atau pengobatan gratis di rumah Kiai Karnawi—majikannya selalu menyempatkan datang.
Perawakan Kiai Karnawi kurus, agak pendek, berkulit coklat gelap. Penampilannya sama sekali tidak meyakinkan sebagai seorang kiai yang kharismatik. Tidak bergaya, gumam Hanafi saat pertama kali melihatnya, tidak seperti kebanyakan tokoh agama sekarang yang sering dilihatnya di televisi, yang selalu berpakaian modis atau bersurban putih necis. “Hehe, saya ini memang kiai jadul,” Kiai Karnawi tertawa terkekeh, sambil melirik Hanafi. Langsung membuat Hanafi tertunduk. Ia yakin, Kiai Karnawi bisa membaca yang dipendam dalam hatinya.
Sehari-hari Kiai Karnawi hanya berpeci hitam—yang sudah kusam—dan mengenakan sarung komprang, serta baju model kemeja warna gelap. Tapi kesederhanaannya itulah yang membuat ia terlihat lebih berwibawa. Dan ini yang kemudian membuat Hanafi terkesan: meskipun jarang mengutip ayat-ayat, nasihatnya disimak dan dipatuhi. Bukan kiai yang suka mengobral ayat, begitu komentar orang-orang. “Tak perlu sebentar-bentar mengutip ayat, untuk menjadi bijak,” ujar Kiai Karnawi, pada pengajian yang sempat Hanafi ikuti.
***
SORE itu Hanafi melihat majikannya agak gugup. “Cepat kamu ke rumah Kiai Karnawi…..” Wajah Umar Rais yang tak bisa menyembunyikan kepanikan membuat Hanafi malah jadi bingung, dan bengong. “Ayo, cepat. Besok sudah pencoblosan. Kiai Karnawi mau memberi saya kurma. Mestinya saya mengambilnya sekarang. Tapi saya mesti rapat konsolidasi terakhir dengan para pimpinan partai pendukung. Jangan sampai lupa. Biar saya diantar Hamid, kamu yang ambil kurma itu. Sebelum jam dua belas nanti, kurma itu harus sudah saya terima. Jangan lupa!”
Mendengar majikannya mengucapkan ‘jangan lupa’ sampai dua kali dan bernada tegas, Hanafi tahu, persoalan kurma itu amat penting bagi majikannya. Sejak terjun ke politik, majikannya memang jadi terlihat gampang tegang. Dua puluh tahun menjadi sopir Pak Rais, membuat Hanafi bisa merasakan perubahan itu. Ia sebenarnya juga tak terlalu setuju ketika majikannya mulai aktif di partai politik. “Buat apa sih ikut partai politik,” katanya waktu itu. “Lebih enak jadi pengusaha kan.”
“Sekarang ini tak cukup hanya jadi pengusaha,” jawab Umar Rais. “Kamu tahu, jadi pengusaha kalau tidak dekat dengan partai juga sulit dapat proyek. Tidak bakalan dapat bagian. Semua politikus itu sudah melebihi pengusaha cara berpikirnya. Mereka hanya berpikir untung, untung dan untung. Mereka harus dapat bagian untuk setiap proyek yang mereka anggarkan. Proyek belum berjalan, mereka harus diberi persekot di depan. Sementara keuntungan pengusaha yang makin sedikit juga mesti dialokasikan buat setor ke partai. Kalau tidak ya tidak bakal bisa menang tender&hellip.”
Hanafi diam mendengar jawaban itu. Hanafi sudah ikut Umar Rais sejak majikannya itu merintis usaha mebel. Ketika krisis moneter membuat nilai tukar rupiah jatuh, usahanya mendapat keuntungan berlipat, karena mebel yang diekspor dibayar dengan dollar. Kemudian majikannya mulai berbisnis sebagai kontraktor dan pengembang. Bagi Hanafi, itu dirasakannya sebagai masa-masa yang menyenangkan menjadi sopir Pak Rais. Ia merasa dekat dan hangat. Pak Rais banyak bercanda, dan punya banyak waktu buat keluarganya. Sebagai sopirnya, ia juga merasa lebih santai, tak seperti sekarang yang setiap hari bisa lebih sepuluh kali mengantar ke sana-kemari untuk pertemuan atau rapat partai. Apalagi ketika majikannya mencalonkan diri jadi wali kota. Setiap waktu jadi tampak serius dan tegang. Dari pagi Hanafi harus mengantar dari satu rapat ke rapat lainnya. Yang membuatnya lebih capek, ia harus sering mengirim bermacam atribut kampanye, berkardus-kardus barang dan bingkisan amplop—yang ia yakin berisi bergepok-gepok uang—ke posko-posko pemenangan hingga pelosok kampung. Bisa subuh ia baru pulang, dan harus siap lagi jam enam pagi. Melelahkan. Lagi pula ia takut, nanti kalau majikannya benar-benar jadi wali kota, buntut-buntutnya akan kesangkut korupsi.
Terus terang, itu semua yang tak terlalu membuat Hanafi suka. Ia sempat bilang, “Kenapa sih mesti mencalonkan diri jadi wali kota segala? Nanti malah repot….”
“Saya tidak mencalonkan diri, Hanafi,” jawab Pak Umar sambil tersenyum. “Saya ini hanya dicalonkan. Banyak partai yang meminta dan mendukung. Yah, saya ini ibaratnya hanya menjalankan amanah. Kalau nanti saya menang, kan kamu juga ikut senang. Kamu nanti saya jadikan kader partai nomer satu….”
“Jadi kader partai itu tidak enak, nanti malah jadi tumbal,” Hanafi melirik majikannya yang terdiam. “Saya lebih senang Bapak jadi pengusaha saja. Politik itu mengerikan.”
“Mengerikan bagaimana?”
“Ya, takut saja nanti Bapak kena KPK….”
Umar Rais hanya tertawa pelan. “Kamu tenang saja. Saya mau dicalonkan jadi wali kota begini ya setelah minta nasehat Kiai Karnawi kok. Beliau memberi restu. Kalau tidak, ya saya tidak berani maju. Nanti, sehari menjelang pencoblosan, Kiai Karnawi akan memberi saya kurma.”
Kurma itulah yang harus segera diambil oleh Hanafi.
***
“Kenapa kamu bengong begitu?” Hamid menepuk pundaknya. Membuat Hanafi tergeragap. “Kamu tidak senang Pak Umar menang?”
Hanafi mencoba tersenyum. Ia bukan tak suka majikannya menang. Ia hanya heran, kenapa bisa menang?! Hanafi melihat majikannya melambai memanggilnya. Buru-buru ia mendekat.
“Ada apa, Pak?”
“Nanti kamu antar saya ke Kiai Karnawi. Saya mesti sowan. Mesti berterima kasih. Saya yakin, berkat kurma Kiai Karnawi itulah saya bisa menang….”
Hanafi cepat-cepat mengangguk. Bukan mengiyakan, tetapi lebih untuk menyembunyikan kegugupannya. Tiba-tiba ia ingat ketika mengambil kurma Kiai Karnawi sebagaimana disuruh majikannya. Ia berharap majikannya tak terpilih, makanya kurma dari Kiai Karnawi itu ia makan sendiri. Adapun kurma yang dia berikan pada majikannya hanyalah kurma yang ia beli di pinggir jalan. (*)
Mojokerto, 2017
Kurma Kyai Karnawi
4/
5
Oleh
Syaf