Sunday, 20 August 2017

SAKSI MATA

SAKSI MATA
SEPERTINYA, di antara berbagai macam kegilaan yang pernah terjadi, tak ada yang lebih ganjil dari apa yang akan kuceritakan ini.

Jenderal Ortega Galgado tak hanya mati tragis, tetapi juga menyedihkan. Ditemukan di semak belukar, mayatnya telah membusuk dalam keadaan bugil, berlepotan tai dan penuh luka bacokan serta sayatan. Tentu saja itu bukanlah cara mati yang pantas bagi Jenderal Besar dengan sederet bintang penghargaan, yang tempat pemakamannya saja sudah disiapkan di Taman Makam Pahlawan kelas VVIP dengan fasilitas lengkap, termasuk pendingin udara agar jasadnya bisa terbaring tenang di alam kubur.

Polisi tak kunjung mampu mengungkap pembunuhan itu, hingga banyak yang percaya bahwa itu adalah konspirasi tingkat tinggi. Terlebih-lebih setelah muncul desas-desus keterlibatan Jenderal Ortega Galgado dalam skandal korupsi yang melibatkan puluhan petinggi negara. Agar kecurigaan tak semakin liar, pemerintah merasa perlu membentuk pengadilan khusus yang langsung dipimpin Hakim Agung, agar menggelar sidang terbuka dengan memanggil saksi mata peristiwa pembunuhan itu.

Celakanya, satu-satunya saksi mata yang dianggap bisa mengungkap pembunuhan itu ialah seekor anjing. Dan anjing itu buta.

Bagaimanapun, nama baik dan martabat Jenderal Ortega Galgado harus dibersihkan, karena itu Hakim Agung tak perduli dengan segala macam sindiran dan kecaman hingga tetap berkeras memanggil saksi mata itu. “Ia harus memberikan kesaksiannya di bawah sumpah di hadapan hukum, karena itulah satu-satunya cara agar kita bisa mengetahui siapa pelaku pembunuhan yang mengerikan itu,” tegas Hakim Agung. Kau pasti sudah terlalu sering mendengar persidangan yang berlangsung aneh dan ganjil, tapi kau mungkin tak pernah membayangkan pengadilan semacam ini.



Keheningan terasa mencekam ketika Saksi Mata itu digiring masuk oleh dua petugas. Semua ternganga, antara takjub dan merasa begitu bodoh, ketika Saksi Mata itu melenggang tenang dengan ekor bergoyang-goyang. Wajahnya nyaris begitu datar, dengan hidung yang teramat pesek dan lebar, seperti anjing Pug, tetapi dengan kepala lonjong panjang dan leher pendek, seakan-akan ia campuran Buston Terrier dan Pomeranian tetapi dengan ekspresi yang sangat kampungan dan tubuh kudisan, hanya saja matanya yang hitam buta itu terlihat kosong tetapi begitu jujur tetapi juga terkesan tolol, hingga siapa pun yang bertatapan dengannya merasa begitu kasihan.

Kau mungkin pernah mendengar Martha, anjing keturunan Neapolitan Mastiff, yang ditemukan sekarat di pinggir jalan dan matanya nyaris buta hingga dioperasi berkali-kali, sementara wajahnya menggelambir seperti kain rombeng atau kaleng yang begitu penyok dan rongsok. Begitu mengharukan wajahnya, hingga Martha dianggap anjing paling jelek sedunia dalam World’s Ugliest Dog Contest. Tapi, bila melihat wajah Saksi Mata itu, kau pasti akan mengatakan betapa wajahnya jauh teramat lebih menyedihkan daripada anjing bernama Martha itu.

Ia terlihat bingung ketika dua petugas itu memaksanya untuk duduk di kursi saksi. Ketika petugas itu terus memaksanya, ia terlihat marah dan nyaris menggigit lalu hanya berputar-putar kebingungan memutari kursi. Semua yang hadir tak bisa menahan tawa, dan Saksi Mata itu makin gugup menyalak ribut. Para wartawan foto dengan cepat memotret momen itu hingga suasana semakin gaduh. Hakim segera mengetuk palu menenangkan keadaan.

“Saudara Saksi Mata!”

“Guk guk guk!!”

“Saudara Saksi Mata, saudara harus berlaku sopan!”

“Guk guk guk…”

“Harap saudara Saksi Mata cepat duduk! Atau saudara akan didakwa menghina pengadilan!”

“Guk… Guk.. Guk…” Lalu mengeram panjang dengan liur berleleran.

Untunglah, seorang pawang, yang memang sudah disiapkan untuk menghadapi situasi seperti ini, segera bisa menyuruh Saksi Mata itu duduk tenang. Hakim segera memulai sidang. Seorang pengacara, yang ditunjuk oleh negara, segera bicara. “Yang mulia, bukankah ini berlebihan dan tak masuk akal, kita menghadirkan Saksi Mata, sementara sampai saat ini kita belum juga menemukan siapa terdakwanya!”

“Bagaimana Saudara Jaksa?” tanya hakim.

“Sidang bisa dilanjutkan, karena ini bukan menyangkut dakwaan. Kita hanya ingin meminta kesaksian Saksi Mata secara terbuka. Lagi pula, tak ada yang berlebihan dan tak masuk akal bila kita ingin menemukan kebenaran dan keadilan. Pengadilan ini ingin mendengar langsung kesaksian saudara Saksi Mata, agar semuanya menjadi jelas.”

“Tetapi, seperti Yang Mulia lihat sendiri, saudara Saksi Mata tak mungkin memberikan kesaksian apa yang tak bisa dilihatnya. Sebab ia buta.”

“Siapa pun sama di hadapan hukum, buta atau tidak buta, tak bisa menghindar dari kewajiban memberikan kesaksian bila pengadilan memintanya,” tegas hakim.

“Guk guk guk…”

“Saudara Saksi Mata! Jangan berkata kalau tidak ditanya!”

“Sepertinya saudara Saksi Mata hanya ingin mengutarakan pendapatnya, Yang Mulia.”

“Tidak penting apa pendapatnya, sidang ini hanya ingin tahu kesaksiannya.”

“Guk guk guk!”

“Saudara Saksi Mata, sekali kami peringatkan, jangan membuat gaduh pengadilan. Semakin kamu sering menggonggong, hanya membuktikan ketakutanmu.”

“Canis timidus vehementius latrat quam mordet,” jaksa menambahi, “Anjing penakut memang selalu menyalak lebih keras dari gigitannya.”

“Karena itulah saya perintahkan, agar saudara Saksi Mata tak terlalu sering menggonggong di ruang sidang ini. Paham?!!”

“Guk! Guuukkk… guuukkkkkk! Grrrrrhhhh….”

Suaranya menyimpan kemarahan, memandang ke arah meja hakim. Suasana menjadi tegang. Saksi Mata itu berdiri dengan dua kaki di atas kursi, seakan siap menerjang. Semua yang berada dalam ruang sidang menahan nafas ketakutan, ketika saksi mata itu meloncat turun sambil terus mengeram memperlihatkan gigi-giginya yang mengerikan, siap mencabik-cabik. Ia berjalan menuju meja hakim. Membuat Hakim Agung beringsut mundur. Orang-orang membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi pada hakim itu.

Saksi Mata itu mengangkat satu kaki belakangnya, kemudian kencing dengan tenang.



Demi keadilan yang seadil-adilnya, seperti ditegaskan berkali-kali oleh Hakim Agung, maka pengadilan merasa perlu mendatangkan bermacam saksi ahli untuk menguji kesaksian Saksi Mata itu. Tak hanya ahli hukum pidana dan perdata, atau ahli hukum tata negara dan tata boga, pengadilan juga mendatangkan ahli semiotika bahasa, ahli psikologi, profesor filsafat, dan ahli fisiognomi yang membaca ekspresi wajah dan gerak-gerik Saksi Mata. Dan tak ketinggalan seorang dog whisperer yang konon kabarnya juga memahami bahasa binatang, yang mewarisi langsung ilmu itu dari Kanjeng Nabi Sulaiman melalui mimpi. Menurut Hakim Agung, semua pendapat dan masukan dari para saksi ahli itu diperlukan, agar pengadilan bisa memutuskan apakah kesaksian Saksi Mata itu palsu atau bisa dipercaya.

“Kami ingin mendengar pendapat para ahli yang terhormat, agar kami bisa yakin dengan kesaksian yang akan disampaikan Saksi Mata dalam persidangan ini.”

“Di bawah sumpah saya menegaskan, Saksi Mata dalam kondisi stabil, dan tidak dalam keadaan tertekan oleh pihak mana pun,” kata ahli psikologi.

“Saya bisa memastikan, dari ekspresi wajah Saksi Mata, dan berdasarkan struktur rahang dan tulang pipinya, juga caranya mengedipkan mata dan menggerak-gerakkan ekornya, saudara Saksi Mata sangat bisa dipercaya,” ujar ahli fisiognomi. “Ia memang terlihat sedikit gugup, terkesan ragu-ragu, tetapi itu tidak menandakan kalau ia menyimpan kebohongan. Saya telah mengenal banyak wajah yang begitu jujur, tapi rasanya tak ada yang melebihi kejujuran saudara Saksi Mata saat ini.”

Ahli hukum tata negara memastikan bahwa pengadilan ini tak menyalahi konstitusi dan semua perundang-perundangan yang ada. Lalu profesor filsafat dari universitas ternama menjelaskan panjang lebar hakekat filosofis keberadaan Saksi Mata bagi penegakan hukum yang berkeadilan agar tak melukai rasa keadilan masyarakat. “Semua ini terkait juga dengan teologi hukum, yang tidak boleh melepaskan hukum formal dari tujuan hukum. Dalam konteks inilah, logika hukum yang berdasarkan argumentasi hukum, bangunan logis dan sistem hukum serta struktur hukum, harus menempatkan keberadaan Saksi Mata untuk mencapai keadilan yang hakiki itu,” profesor filsafat itu memberikan pendapatnya. “Baik Jenderal Ortega Galgado—semoga arwahnya tak penasaran—dan Saksi Mata, harus mendapatkan hak keadilannya. Justitia est ius suum cuique tribuere, keadilan harus diberikan kepada siapa pun yang memang sudah menjadi haknya.”

“Apakah Saudara Saksi Mata mengerti?” tanya hakim.

“Guk guk guk.”

“Bagus…”

Kemudian profesor filsafat itu menambahkan, “Bagaimana pun, Yang Mulia Bapak Hakim, all humans are equal before the law, without distinction sex, race, religion, and social status.”

“Bagaimana Saudara Saksi Mata?”

“Guuuuuk…. Guuuuuk…”

“Yang tegas!!”

“Guk!”



Sering jalannya sidang menjadi gaduh karena kelakuan Saksi Mata yang kebingungan ketika dicecar pertanyaan hakim. Bahkan pernah Saksi Mata sampai terberak-berak ketakutan ketika hakim memintanya menjawab dengan jelas dan tak bertele-tele. Untunglah, ahli anjing yang menguasai bahasa binatang itu bisa menjadi penerjemah yang handal hingga sidang yang diliput dan disiarkan hampir seluruh stasiun televisi secara live itu semakin menarik perhatian semua masyarakat yang menyaksikan.

Perdebatan dalam sidang semakin ramai ketika pihak pengacara dan tim kuasa hukum Saksi Mata juga menghadirkan saksi ahli-saksi ahli tandingan, agar client-nya benar-benar mendapatkan keadilan. Perdebatan dan adu argumentasi yang panjang dan bertele-tele dari para ahli itu sering membuat Saksi Mata terlihat terbengong-bengong. Ia pasti heran melihat orang-orang pintar itu jadi terlihat konyol. Kedunguan memang bukan hanya milik orang bodoh. Dari sidang ke sidang, yang sehari bisa berlangsung sampai 12 jam, Saksi Mata itu semakin terlihat bingung dan tertekan, seakan-akan ia ingin menyerah dan menyudahi semua hal yang tak pernah bisa dimengertinya. Para ahli mempertanyakan, menguji, mengklarifikasi dan bahkan menggugat kesaksian Saksi Mata, sementara Saksi Mata itu sendiri merasa belum pernah memberi kesaksian apa pun. Lagi pula, ia memang tak mengerti kalau dirinya adalah saksi kunci kematian Jenderal Ortega Galgado—setidaknya begitulah yang dikatakan ahli bahasa binatang itu, tetapi segera dibantah oleh ahli psikologi dan semiotika, “Karena pada prinsipnya, seluruh ekspresi Saksi Mata adalah tanda, yang mengandung makna komunikasi. Bahkan tinggi rendah keras kecilnya suara ketika ia menggonggong, adalah komunikasi. Dalam konteks komunikasi semiotika inilah, saya yakin, Saksi Mata mengerti kenpa ia menjadi saksi kunci dalam persidangan ini.”

“Guk guk guk.”

Bila kau, saat ini, melihat wajah Saksi Mata yang disorot begitu dekat oleh kamera televisi, pastilah kau akan tergetar oleh matanya yang hitam kosong berkaca-kaca.

Media kemudian mengungkap riwayat hidup Saksi Mata yang punya kesedihan begitu panjang, seakan-akan seluruh hidupnya hanyalah serangkaian kesedihan yang terus-menerus berulang. Tak jelas siapa ayah ibunya, ia besar di tempat sampah dan berkali-kali nyaris mati terbunuh oleh para gelandangan yang ingin memangsanya. Ia juga selalu diusir setiap memasuki kampung karena dianggap najis. Kedua matanya buta akibat lemparan batu seorang begundal. Ia anjing yang baik, tapi nasib buruk membuatnya begitu menderita. Kisah hidupnya yang begitu nelangsa membuat banyak orang seperti merasakan penderitaannya sendiri.

Sering Saksi Mata itu terlihat begitu sedih, menangis terisak-isak, seolah ia memilih mati ketimbang menjalani persidangan yang membuatnya merasa begitu tertekan. Ia hanyalah Saksi Mata, tetapi diperlakukan seperti terdakwa. Apalagi ketika pengadilan menetapkan agar Saksi Mata itu ditahan, agar tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.

Kegilaan memang selalu menyebalkan, tetapi kegilaan juga membuat kita terpuaskan. Yang selalu tak terduga justru hal-hal yang ditimbulkannya. Menyaksikan bagaimana Saksi Mata itu diperlakukan, memang bisa membuat siapa pun geram. “Bila pada seekor anjing saja hukum tidak bisa berlaku adil, apalagi terhadap kita manusia,” kata seorang pengunjung ketika sidang telah berlangsung lebih dari 12 kali. Banyak yang kemudian semakin tak masuk akal. Tetapi, di tengah semua kegilaan seperti itu, apa yang masuk akal dan tak masuk akal memang sudah tak penting lagi. Bahkan orang-orang yang paling gila pun aku kira tak akan memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi ini. Tapi aku bisa memahami perasaan orang-orang yang mulai simpati pada Saksi Mata itu, yang dianggap telah dijadikan “kambing hitam” dari kebusukan yang sedang ditutup-tutupi. “Menganggapnya sebagai kambing hitam saja sudah merupakan penghinaan bagi dirinya, karena Saksi Mata bukan kambing, tapi anjing. Anjing yang harus kita hormati hak-hak keanjingannya. Pengadilan ini tak lebih pertunjukan topeng monyet, dan anjing itu hanyalah korban persekongkolan jahat,” kata seseorang yang yakin bahwa kematian Jenderal Ortega Galgado memang sebuah upaya untuk menutupi skandal korupsi yang terjadi di pusat kekuasaan. Kabarnya selama ini, banyak koruptor besar yang berlindung di balik punggung Jenderal Ortega Galgado. Dan pengadilan itu hanyalah sebuah upaya agar orang-orang teralihkan perhatiannya dari kasus korupsi itu. Terlebih-lebih ketika muncul kabar, bahwa Jenderal Ortega Galgado dibunuh lawan politiknya karena akan maju dalam pencalonan presiden tahun depan.

Sudah terlalu lama kita tak lagi dipersatukan oleh perasaan senasib, hingga aku pun bisa memahami ketika banyak yang mulai simpati Saksi Mata itu, kemudian menjadikannya simbol perlawanan bersama terhadap kekuasaan dan hukum yang sewenang-wenang. Kita memang selalu merindukan sosok pahlawan yang bisa menyatukan perlawanan. Bila memang saat ini tak ada tokoh yang pantas dijadikan pahlawan, maka seekor anjing pun tak apalah. Maka muncul kelompok-kelompok yang membela dan mendukung agar Saksi Mata mengungkapkan apa yang dilihat dan tidak dilihatnya dalam kasus pembunuhan itu. Kebenaran harus dibuka sejujur-jujurnya. Bagaimana pun anjing memiliki penciuman tajam dan indera yang lebih peka dari manusia, karena itu meskipun buta, ia pasti bisa mengendus siapa sebenarnya dalang pembunuhan itu dan apa konspirasi di baliknya. Oleh para pemuja dan pendukungnya wajah Saksi Mata itu dicetak di kaos, juga poster dan spanduk yang dibentangkan ketika persidangan itu terus berlangsung. Gambar Saksi Mata itu jadi terlihat seperti tengah mengenakan baret Che Guevara, dan dicetak dalam berbagai gaya gambar, mulai sablon murahan bergaya silhuet sampai digital print pop art. Bahkan ada yang menggambar Saksi Mata itu seperti anjing komik Tintin yang sedang berlari, dan di bawahnya ditulis bermacam slogan: Lawan Korupsi, Katakan Tidak Pada Korupsi, Anti Korupsi Harga Mati, dan bermacam lainnya.

Kau pasti bisa menduga, bila ada yang memuja, sudah tentu ada pula yang menentangnya. Oleh para pemuja Saksi Mata, kelompok penentang ini dianggap hanyalah kelompok bayaran, pasukan nasi bungkus yang digalang untuk mengintimidasi pengadilan. Kegilaan memang melahirkan para pembenci yang bahkan lebih fanatik dari kebencian itu sendiri. Para pembenci saksi mata ini menyebut diri mereka sebagai Front Pembela Akal Sehat, yang percaya bahwa membela akal sehat pun perlu menggunakan segala macam cara yang tak masuk akal sehat, sebagai senjata. Yang tak sependapat dengan mereka dianggap sesat, dan bila mati mayatnya tak boleh didoakan. Mereka begitu membenci Saksi Mata itu, yang dianggapnya merongrong persatuan dan mengancam bahaya toleransi. Bahkan Saksi Mata itu disebut sebagai jelmaan hantu laten kiri, hanya karena kaki kiri anjing itu lebih bengkok dari kaki kanannya.

Aku harap kau tak tertawa mendengar ini. Barangkali kita memang selalu membutuhkan musuh yang setiap waktu bisa dimaki-maki. Mereka begitu membenci Saksi Mata itu, sekaligus yakin ia adalah antek dari sindikat kelompok misterius yang “secara struktur, massif dan terencana” ingin merusak reputasi Jenderal Ortega Galgado. Mereka percaya, anjing itulah yang sesungguhnya membunuh Jenderal Ortega Galgado yang mereka yakini akan menjadi pemimpin besar di masa depan. Mereka berorasi di depan pengadilan, “Anjing itu telah membuat kita kehilangan harapaan mempunyai pemimpin yang mampu membangkitkan kembali martabat bangsa. Dasar anjing!” Lalu yel-yel anti anjing diteriakkan. “Anjing itu harus dihukum mati. Tak cukup dihukum mati sekali, tapi mesti dihukum mati berkali-kali dengan cara paling keji.” Suara dikeraskan pelantang itu membuat siang menjadi semakin panas, timbul tenggelam di antara deru angkutan, udara berdebu, dan bau bacin dari selokan.

Kau bisa bayangkan bagaimana kegaduhan itu berlangsung berbulan-bulan, tak hanya dalam ruang sidang tetapi juga di luar gedung pengadilan. Aku tak pernah tahu sampai kapan semua kegilaan ini akan terus berlangsung.



Seperti katamu, hidup terlalu singkat untuk kegilaan dan terlalu sia-sia untuk kebencian. Semua kegilaan ini sudah begitu membosankan, tetapi aku tak tahu bagaimana menghindar dari semua kegilaan itu. Kini aku mengerti, kenapa pada suatu hari kau memutuskan pergi dari negeri ini, mengembara ke tempat-tempat paling sunyi yang tak ada dalam peta. Kau ingin hidup di Negeri Kesunyian, yang entah di mana letaknya, yang menurutmu begitu tenang, gemah ripah loh jinawi ayem tentram karta raharja, yang dinginnya tak terlalu yang panasnya tak terlalu, dan segalanya terasa nyaman tetapi tak pernah membosankan. Pastilah menyenangkan hidup di tempat paling sunyi di dunia ini di mana kita tak disibukkan oleh berbagai macam kegilaan yang menyedihkan. Tetapi, adakah tempat di dunia ini yang terbebas dari wabah kegilaan?

Kutulis cerita ini untukmu, meski tak yakin apakah cerita ini akan sampai padamu, karena memang tak seorang Tukang Pos pun yang tahu di manakah Negeri Kesunyian itu. Barangkali aku memang harus mulai terbiasa dengan semua kegilaan ini. Duduk terkantuk-kantuk dengan segelas kopi yang telah dingin, menyaksikan tayangan sidang itu disiarkan televisi. Aku seperti saksi mata yang dipaksa dan tak berdaya menyaksikan segala keganjilan ini. Saat menatap wajah Saksi Mata itu, yang semakin terlihat begitu menyedihkan, aku seperti menatap wajahku sendiri.



                                                                                                           Sidoarjo, 18 Agustus

Related Posts

SAKSI MATA
4/ 5
Oleh