Monday, 28 August 2017

Sepasang Mata Ibu dan Sepasang Mata Bocah Lugu

Sepasang Mata Ibu dan Sepasang Mata Bocah Lugu
Sepasang mata anak kecil yang mungil, mata yang tak mengerti kesedihan apa-apa, menatap tajam pada daun-daun yang berguguran dari pohon di tengah taman.

“Kenapa daun-daun itu jatuh, Ibu?” tanyanya kepada perempuan yang sejak tadi terdiam sambil menunjuk daun-daun yang pelan-pelan terlempar ke tanah basah sebab hujan tadi siang. Wajah polos itu menampakkan kepolosan.

“Kenapa daun-daun itu jatuh, Ibu?” tanyanya sekali lagi. Kali ini sambil menatap kedua mata ibunya yang sendu dan wajah yang kusut tak menentu. Seperti sebuah kebosanan. Seperti sebuah ketidakminatan. Seolah-olah daun-daun yang dimaksud anaknya adalah kesia-siaan. Lalu, terdengar pelan embusan napas panjang.

“Karena ada angin yang menerjangnya.” Perempuan itu buka suara sembari membuang pandangan ke arah pepohonan. Pepohonan yang lama-kelamaan terlihat buram karena matahari hampir tenggelam. Sejak kemarin ia kehilangan nafsu bicara. Bahkan walau hanya sepatah kata.

“Berarti angin itu jahat?” Anak itu bertanya lagi dengan kepolosan yang tak ada habis-habisnya.

“Kenapa jahat?” Perempuan itu balik bertanya. Tentu dengan nada agak menukik. Seperti jalan kehidupan yang selama ini ia lalui. Atau seperti jalan sebelum menuju taman itu.

“Karena angin telah menjatuhkan daun-daun.”

“Tidak. Tidak jahat. Bahkan angin itu baik. Ia ingin memberi tahu daun-daun, hidup mesti bergantian. Setelah daun-daun jatuh, pasti ada pengganti berupa daun-daun lain.” Suara perempuan yang dipanggil Ibu itu ngelantur. Ia seperti tidak peduli apakah anaknya paham atau tidak. Yang jelas, sebagai orang dewasa, ia mesti menghargai anak-anak, termasuk dalam berbicara. Ia tidak boleh diam jika anaknya bertanya.

Anak itu terdiam. Terdiam sebentar—kalau ditaksir dalam perhitungan waktu, sekitar satu menit. Satu menit terlihat sebentar jika dibandingkan satu jam tentu saja. Angin mulai berembus kembali. Kali ini agak kencang. Menyibak rambut panjang perempuan itu dan menyibak rambut pendek anaknya. Sejenak, dunia ini hanya terdiri atas angin belaka. Anak kecil itu memandang orang-orang lalu-lalang yang menggumam entah apa, barangkali sebuah ketiadaan, barangkali sebuah ketidakabadian. Lalu kembali ia angkat bicara.

“Aku ingin seperti angin.”

Tak ada tanggapan dari ibunya, perempuan dengan wajah muram dan mata sendu seolah-olah menggambarkan di dunia ini tidak ada perasaan lain kecuali kesedihan.

“Ibu, aku ingin seperti angin.” Mulut anak kecil itu, seperti robot otomatis, merentetkan kata-kata, tak habis-habis.

“Alasanmu?” Ibunya menanggapi tanpa selera.

“Aku ingin seperti angin. Aku ingin jadi orang baik.”

“Oh, bagus kalau begitu. Dan memang harus seperti itu.”

“Bisa kan, Bu?”

“Jelas bisa dong.” Perempuan itu tak mengira anaknya sudah sepintar itu. Siapa mengajari? Apakah di sekolah ada pelajaran seperti itu? Ah, tidak, tidak. Anak itu belum sekolah. Meski seharusnya sudah pantas sekolah.

Langit sore mulai menampakkan warna kemerah-merahan. Sebentar lagi matahari bersembunyi di balik gunung-gunung yang berderet dari utara ke selatan. Seorang ibu dan anak itu masih duduk di taman. Tak ada cemilan, seperti cokelat, permen, dan jajanan lain, di samping mereka. Tak ada minuman, walau sebatas air mineral. Yang ada hanya kekosongan. Kau dengar, yang ada hanya kekosongan.

Orang-orang timbul-tenggelam di balik pepohonan. Orang-orang berseliweran di jalan sambil membawa aneka barang. Tas, hape, bunga, ransel, cangkir kopi, hidangan makanan. Orang-orang berseliweran dengan apa saja. Semisal, hewan peliharaan, anak kecil, sahabat remaja, pasangan muda, dan lain-lain yang sebenarnya bisa ditulis di sini, tetapi tidak terlalu penting untuk menyebutkan semua. Ada yang masuk ke museum kecil yang berada tepat di pinggir taman. Ada juga yang keluar dari museum kecil itu.

Namun ibu itu tidak ingin beranjak. Ia mungkin lebih senang duduk di bangku taman bersama anaknya yang cerewet sambil menikmati menit-menit berlalu, menunggu hari benar-benar malam.

“Ibu?”

“Ya.”

“Itu pohon apa?”

“Yang mana?”

“Yang itu.” Anak itu menunjuk pohon berbuah segi lima.

“Oh, itu pohon belimbing.”

“Kok buruk gitu?”

“Apanya yang buruk?”

“Daun-daunnya. Tadi berjatuhan.”

“Rapuh maksudmu?”

Anak itu mengangguk-angguk seolah mengerti arti kata “rapuh” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan untuk apa kata itu perlu diadakan di dunia.

“Ya, karena mau berganti daun-daun baru yang lebih hijau, yang lebih segar,” tambah ibunya.

“Bukankah yang jatuh itu juga daun-daun yang masih hijau dan masih segar?”

Perempuan itu diam, mungkin menikmati keheningan dalam dirinya, ah, kesepian dalam dirinya. Atau mungkin memikirkan sebuah puisi tentang senja yang sebentar lagi menghilang dan lampu-lampu taman yang menyala secara bersamaan. Atau mungkin sudah risau dan bosan mendengar ocehan anaknya. Ah, memang dunia hanya penuh kemungkinan-kemungkinan.

“Ibu?”

“Ya.”

“Kalau yang itu pohon apa?” Rupanya anak kecil itu sudah melupakan pertanyaan mengenai hijau daun-daun belimbing yang berjatuhan. Ia menunjuk pohon besar dan sulur-sulur seperti akar tumbuh di batangnya.

Terdengar lagi embusan napas panjang.

“Itu pohon beringin.”

“Kok serem banget?”

“Apanya yang serem?”

“Akar-akarnya keluar dari tanah.” Seperti monster mengerikan yang mengeluarkan aroma kebencian.

Perempuan itu hanya terdiam. Ia mungkin sudah sangat kesal atas ocehan anak itu. Sepasang matanya menyusuri trotoar yang mulai lengang. Lalu ia pandangi wajah anaknya yang polos, yang tak mengerti arti kata kesepian. Arti kata kehilangan. Dengan perasaan begitu dalam ia mengusap-usap rambut anaknya. Setiap kali ada senyuman dari bibir mungil itu, ia balas dengan senyuman juga. Senyuman getir. Amat getir. Seperti menahan beban sangat berat dalam kehidupannya.

“Aku tak ingin jadi beringin.”

“Kenapa?” jawab perempuan itu hambar.

“Aku tidak ingin jadi orang yang serem. Aku tidak ingin jadi orang yang menakutkan.”

Ia tidak membalas. Pandangannya kini tertuju ke sebuah rumah megah yang memancarkan cahaya gemerlapan. Lampu-lampu merah kuning hijau dan warna-warna lain menyala bergantian. Mungil. Seperti kunang-kunang beterbangan membelah ilalang.

“Ayo ke sana.”

“Ke mana, Bu?”

“Ke rumah itu.” Tangannya menunjuk rumah dengan beranda yang luas dan ada gazebo di dalamnya.

“Untuk apa?”

“Tidur.”

Anak itu hanya mengangguk-angguk. Tak berapa lama, ia digendong ibunya. Mereka menuju rumah megah itu. Perempuan itu tertatih-tatih menahan lapar. Langkah kakinya lemah dan gemetar. Sesampai di depan rumah megah itu, ia baru sadar, pintu gerbang pastilah terkunci. Dan di gazebo itu, ia tidak mungkin tidur di sana.

“Mau ke mana lagi, Bu?”

Tak ada jawaban apa pun. Perempuan itu menyeret kaki tanpa tujuan. Entah akan ke mana ia berjalan. Sampai larut malam, ia tetap berjalan.

Lalu di sebuah toko cat yang tutup dan di sebuah ujung kekuatan langkah kakinya, perempuan itu berhenti. Duduk dan membiarkan anaknya berlari ke pinggir jalan yang agak sepi untuk mengambil sepotong roti yang entah milik siapa terjatuh di sana. Roti, yang walau masih ada bungkusnya, telah gepeng.

Anak kecil itu bahagia. Matanya memandang ibunya yang tengah bersandar ke pintu toko. Seperti mengisyaratkan dia sedang menemukan harta karun. Namun matanya kemudian memandang seorang lelaki yang sedang mendorong gerobak. Ya, ia dipanggil lelaki itu.

Anak kecil itu berlari menuju gerobak. Seorang lelaki yang sudah tidak muda tetapi juga tidak terlalu tua memberinya seplastik bakso, lalu pergi begitu saja sambil mendorong gerobak.

Agak lama anak kecil itu memandangi langkah kaki lelaki itu. Sampai jauh. Sampai hilang ditelan tikungan jalan. Lalu, kaki mungilnya menghambur ke arah perempuan yang masih bersandar di emperan toko.

“Ibu?” kata anak kecil itu sambil ngos-ngosan.

“Ya.”

“Bapak yang memberi bakso tadi siapa?”

Perempuan itu hanya diam dan memandangi wajah anaknya yang semringah sambil menenteng seplastik bakso. Kini, sepasang matanya berkaca-kaca.

Related Posts

Sepasang Mata Ibu dan Sepasang Mata Bocah Lugu
4/ 5
Oleh