LEBIH setahun yang lalu.
“Ayo ke masjid,” ajak saya padanya, sebut saja si A, saat azan sudah terdengar dari masjid tak jauh dari rumah kos kami.
Biasanya dia hanya tersenyum. Atau menanggapinya sepintas lalu sambil bergurau. Dan kembali sibuk dengan aktivitas yang sedang dikerjakannya. Atau langsung ke belakang mengambil wudlu, tetapi tidak ikut berangkat ke masjid. Dia shalat munfarid di kamarnya.
“Kenapa?” tanya saya di lain waktu.
“Sama saja.”
Maksudnya sama saja antara shalat berjamaah di masjid dan shalat sendirian di kamarnya.
“Kan shalat berjamaah 27 derajat lebih utama dibandingkan shalat munfarid.”
Ia hanya tersenyum.
Lain halnya dengan seorang kawan saya yang lain, panggil saja si B. Lebih setahun yang lalu, ia seorang yang rajin dan bersemangat berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah saat hujan deras sekalipun. Tak jarang ia sudah berada di masjid saat saya baru tiba. Ya, ia jauh lebih rajin daripada saya saat itu.
Setahun kemudian. Si A yang dulu tak pernah berminat untuk shalat berjamaah di masjid kini menjadi sangat rajin. Ia hampir tak pernah telat hadir berjamaah di masjid. Hingga suatu waktu, saat seorang temannya mengajak bepergian, ia mengatakan, “Sebentar lagi waktu shalat, nanti setelah shalat saja perginya.” Begitulah.
Saya yang waktu itu mendengarnya langsung tersenyum kagum. Sungguh, sebuah peningkatan pemahaman yang patut diacungi jempol. Karena jika kita membuka kitab-kitab fikih, sebagian fuqaha—ahli fikih, berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid bagi setiap laki-laki muslim yang sudah baligh hukumnya sunnah muakkad, sangat dianjurkan, di mana Rasulullah Saw. selalu melaksanakannya. Dan sebagian fuqaha lagi berpendapat hukumnya adalah wajib ‘ain, sebuah keharusan yang menyebabkan orang yang terkena kewajiban berdosa jika meninggalkannya.
Pendapat kedua ini didasarkan pada dua buah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Hadis pertama berbunyi, “Seorang laki-laki buta mendatangi Rasulullah Saw. dan ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penunjuk jalan yang dapat menuntunku menuju masjid.’ Rupanya ia meminta agar Rasulullah Saw. memberikan keringanan padanya untuk melakukan shalat (fardlu) di rumah. Maka beliau memberikan keringanan itu. Ketika sahabat itu baru saja berpaling hendak pulang ke rumahnya, tiba-tiba Rasulullah Saw. memanggilnya kembali dan bertanya, ‘Apakah engkau mendengar seruan shalat—mendengar azan?’ ‘Ya,’ jawabnya. ‘Maka penuhilah panggilan itu.’” (H.R. Muslim)
Sedangkan redaksi lengkap hadis kedua mengatakan, “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku bermaksud hendak menyuruh orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan azan untuk shalat dan menyuruh seseorang sebagai imam bagi orang banyak. Aku akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut berjamaah, lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hal yang bertolak belakang justru terjadi pada si B. Ia kini seolah tak berminat lagi memenuhi panggilan agung sang muazin. Kini ia acuh mendengar seruan shalat itu.
***
Dua realita yang bertolak belakang di atas mengajarkan pada saya sebuah pelajaran berharga tentang pasang surut kehidupan. Bahwa kondisi saya saat ini tidak mencerminkan sebuah gambaran utuh diri saya di masa yang akan datang. Namun akan sangat tergantung pada bagaimana persepsi saya dalam menyikapi setiap episode hidup berikutnya yang akan saya lalui. Akan terus memacu diri dan berusaha mengoptimalkan semua potensi yang saya miliki, sudah cukup puas dengan apa yang saya punyai hari ini, atau justru berpikir negatif tentang masa depan saya. Pilihan-pilihan itulah kata kuncinya. Karena bukan hal yang mustahil, seorang pengusaha terpandang kini, kelak akan jatuh melarat jika ia tak pandai membangun relasi dan menjaga konsistensi yang sudah mapan saat ini. Pun tak menutup kemungkinan, seorang pecundang di masa sekarang akan menuai kesuksesan besar di masa yang akan datang jika ia terus meng-upgrade diri dan meningkatkan kadar keilmuannya setiap hari.
Seperti itulah roda kehidupan ini akan terus berputar. Akan selalu ada jejak perubahan yang dicatat oleh tinta sejarah dari waktu ke waktu. Menjadi lebih baik atau mengalami kemunduran dari masa yang telah lalu. Saya, Anda, kita semua hanya tinggal memilihnya.
Anda pilih yang mana? (*)
“Ayo ke masjid,” ajak saya padanya, sebut saja si A, saat azan sudah terdengar dari masjid tak jauh dari rumah kos kami.
Biasanya dia hanya tersenyum. Atau menanggapinya sepintas lalu sambil bergurau. Dan kembali sibuk dengan aktivitas yang sedang dikerjakannya. Atau langsung ke belakang mengambil wudlu, tetapi tidak ikut berangkat ke masjid. Dia shalat munfarid di kamarnya.
“Kenapa?” tanya saya di lain waktu.
“Sama saja.”
Maksudnya sama saja antara shalat berjamaah di masjid dan shalat sendirian di kamarnya.
“Kan shalat berjamaah 27 derajat lebih utama dibandingkan shalat munfarid.”
Ia hanya tersenyum.
Lain halnya dengan seorang kawan saya yang lain, panggil saja si B. Lebih setahun yang lalu, ia seorang yang rajin dan bersemangat berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah saat hujan deras sekalipun. Tak jarang ia sudah berada di masjid saat saya baru tiba. Ya, ia jauh lebih rajin daripada saya saat itu.
Setahun kemudian. Si A yang dulu tak pernah berminat untuk shalat berjamaah di masjid kini menjadi sangat rajin. Ia hampir tak pernah telat hadir berjamaah di masjid. Hingga suatu waktu, saat seorang temannya mengajak bepergian, ia mengatakan, “Sebentar lagi waktu shalat, nanti setelah shalat saja perginya.” Begitulah.
Saya yang waktu itu mendengarnya langsung tersenyum kagum. Sungguh, sebuah peningkatan pemahaman yang patut diacungi jempol. Karena jika kita membuka kitab-kitab fikih, sebagian fuqaha—ahli fikih, berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid bagi setiap laki-laki muslim yang sudah baligh hukumnya sunnah muakkad, sangat dianjurkan, di mana Rasulullah Saw. selalu melaksanakannya. Dan sebagian fuqaha lagi berpendapat hukumnya adalah wajib ‘ain, sebuah keharusan yang menyebabkan orang yang terkena kewajiban berdosa jika meninggalkannya.
Pendapat kedua ini didasarkan pada dua buah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Hadis pertama berbunyi, “Seorang laki-laki buta mendatangi Rasulullah Saw. dan ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penunjuk jalan yang dapat menuntunku menuju masjid.’ Rupanya ia meminta agar Rasulullah Saw. memberikan keringanan padanya untuk melakukan shalat (fardlu) di rumah. Maka beliau memberikan keringanan itu. Ketika sahabat itu baru saja berpaling hendak pulang ke rumahnya, tiba-tiba Rasulullah Saw. memanggilnya kembali dan bertanya, ‘Apakah engkau mendengar seruan shalat—mendengar azan?’ ‘Ya,’ jawabnya. ‘Maka penuhilah panggilan itu.’” (H.R. Muslim)
Sedangkan redaksi lengkap hadis kedua mengatakan, “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku bermaksud hendak menyuruh orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan azan untuk shalat dan menyuruh seseorang sebagai imam bagi orang banyak. Aku akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut berjamaah, lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hal yang bertolak belakang justru terjadi pada si B. Ia kini seolah tak berminat lagi memenuhi panggilan agung sang muazin. Kini ia acuh mendengar seruan shalat itu.
***
Dua realita yang bertolak belakang di atas mengajarkan pada saya sebuah pelajaran berharga tentang pasang surut kehidupan. Bahwa kondisi saya saat ini tidak mencerminkan sebuah gambaran utuh diri saya di masa yang akan datang. Namun akan sangat tergantung pada bagaimana persepsi saya dalam menyikapi setiap episode hidup berikutnya yang akan saya lalui. Akan terus memacu diri dan berusaha mengoptimalkan semua potensi yang saya miliki, sudah cukup puas dengan apa yang saya punyai hari ini, atau justru berpikir negatif tentang masa depan saya. Pilihan-pilihan itulah kata kuncinya. Karena bukan hal yang mustahil, seorang pengusaha terpandang kini, kelak akan jatuh melarat jika ia tak pandai membangun relasi dan menjaga konsistensi yang sudah mapan saat ini. Pun tak menutup kemungkinan, seorang pecundang di masa sekarang akan menuai kesuksesan besar di masa yang akan datang jika ia terus meng-upgrade diri dan meningkatkan kadar keilmuannya setiap hari.
Seperti itulah roda kehidupan ini akan terus berputar. Akan selalu ada jejak perubahan yang dicatat oleh tinta sejarah dari waktu ke waktu. Menjadi lebih baik atau mengalami kemunduran dari masa yang telah lalu. Saya, Anda, kita semua hanya tinggal memilihnya.
Anda pilih yang mana? (*)
Titik Perubahan
4/
5
Oleh
Syaf