SEJAK masih ingusan, Yu Gemi sudah menyimpan impian untuk pergi ke haji. Jangan tanya kenapa karena ia pasti kerepotan menjawabnya. Yu Gemi tidak memiliki titisan darah santri yang merasa kurang sempurna keimanannya bila belum berhaji. Dalam silsilah keluarganya, tidak satu pun di antara mereka yang mengenakan kopiah haji. Nenek moyangnya menderita kemiskinan berganda: miskin harta, melarat pula ilmu agama. Mana berani Yu Gemi bercerita tentang impiannya? Yu Gemi tahu diri, harapan itu pun tersimpan aman dalam lipatan angan-angan.
Ketika umur belasan ia dikawinkan, Yu Gemi berharap suaminya bakal membantunya membangun angan-angan itu menjadi kenyataan. Namun, ia kecele! Bukannya mendukung lelakinya itu justru menghardik.
”Kamu itu mabuk atau kesurupan?” bentaknya satu ketika. ”Jangankan pergi haji, buat makan saja kesulitan!”
”Tapi kita dilarang putus harapan, Kang!”
”Iya, tapi yang nalar. Jangan mimpi ketiban rembulan!”
Kalimat itu begitu menusuk ulu hati. Namun, Yu Gemi tidak mampu memungkiri kebenaran ucapan lelakinya. Sebagai buruh serabutan, kehidupan mereka memang jauh dari kecukupan. Tidak setiap hari perut Yu Gemi terisi nasi. Seringkali ia harus puasa karena nasi terakhir menjadi jatah lelakinya. Jadi, siapa menyuruh dirinya berpanjang angan-angan?
Sejak saat itu, di depan lelakinya, Yu Gemi memutuskan untuk berhenti berbagi mimpi. Kendati demikian, jangan mengira Yu Gemi putus harapan.
”Beribadah ke Tanah Suci itu soal hidayah, Yu. Bila tidak mendapat hidayah-Nya, seseorang belum tentu mampu ke sana. Tidak peduli betapa pun kayanya dia! Begitu pula sebaliknya. Meskipun melarat, seseorang mampu menjadi tamu Allah bila telah dikehendaki-Nya. Tuhan akan menunjukkan kemudahan bagi mereka.”
Kalimat guru ngaji di kampungnya itu menjadi pegangan Yu Gemi dalam memupuk harapan. Bagi Yu Gemi, harapan ibarat sebuah tanaman. Bila ia rajin merawat, memupuk dan menjaganya, suatu ketika akan tumbuh besar juga. Ia bakal menikmati buahnya. Yu Gemi percaya, Gusti Pangeran akan menaruh belas kasihan kepadanya.
Mendiang orang tuanya tidak keliru memberinya nama Gemi. Yu Gemi memang benar-benar “gemi”. Setiap rupiah yang berhasil dikaisnya, sebagian disisihkan sebagai simpanan. Mewarisi pekerjaan lelakinya sebagai buruh serabutan, tidak banyak yang dapat ia kumpulkan. Tapi, Yu Gemi tidak peduli. Pokoknya disimpan, entah kapan mencukupi, untuk membeli sebuah mimpi.
Mula-mula, Yu Gemi memelihara beberapa ekor ayam dari uang simpanan. Beberapa bulan kemudian, puluhan ayam itu tumbuh menjadi anak kambing. Kambing-kambing itu pun beranak pinak dan berkembang jadi sapi.
Beberapa tahun kemudian, sapi-sapi itu pun telah melahirkan sepetak sawah dan tanah pekarangan. Tidak luas memang. Tapi, bagi Yu Gemi, semua itu adalah bukti kemudahan dari Tuhan.
Demikialah. Demi impian indah yang kerap membuat tidurnya gelisah, sepetak sawah itu pun dijualnya. Kali ini, Yu Gemi tidak mampu menyembunyikan diri, entah siapa yang memulai, tetangganya ribut begitu tahu Yu Gemi mendaftarkan diri pergi haji.
”Oallah, Yu. Ngulon itu kan kalau mampu. Lha kalau sampai menjual sawah itu namanya nekat.“
”He-eh. Wong kesrakat kok nekat!“
Suara-suara itu jelas sumbang, namun Yu Gemi tidak ambil peduli. Setelah membayar panjar, Yu Gemi merasa sudah setengah perjalanan ke Mekah. Tanah pekarangan yang sekarang ia tempati, akan dijualnya nanti, bila saat keberangkatannya tiba.
”Nama Ibu sudah masuk daftar tunggu. Ibu akan memperoleh informasi resmi dari kami, bila masuk daftar keberangkatan nanti.“
Janji petugas pendaftaran haji itu membuat Yu Gemi menemukan hidupnya kembali. Sepeninggal suaminya, kehidupan Yu Gemi serasa tanpa makna. Bermula dengan pertengkaran hebat, suatu sore, lelakinya itu pergi untuk tidak kembali lagi. Yu Gemi dituding gabuk, tak mampu menghasilkan keturunan setelah belasan tahun terikat perkawinan. Belakangan Yu Gemi mengetahui, tudingan itu sekadar alasan tengik belaka. Bekas suaminya itu agaknya kecantol janda muda, pemilik warung kopi tetangga desa. Kembali Yu Gemi dipaksa harus tahu diri. Dibanding si janda kembang itu, dirinya kalah segalanya. Kalah cantik, kalah umur, kalah subur.
Yu Gemi bertahan lantaran menyimpan sebuah impian. Ya, Yu Gemi ingin berangkat haji. Dan kini, impian itu tinggal selangkah lagi. Seraya menunggu saat keberangkatannya tiba, Yu Gemi mendadak rajin mengunjungi mereka yang mau berangkat haji. Dia ingin ikut merasakan, betapa mendebarkan persiapan menjelang keberangkatan. Yu Gemi ingin ikut menikmati gairah, mereka yang yang sebentar lagi bakal melihat Ka’bah.
”Omong-omong, berapa tahun Ibu menunggu diberangkatkan?“ Seakan sebuah tradisi, Yu Gemi suka melontarkan pertanyaan ini.
”Wah, lama. Tidak kurang dari lima tahun.“
Lima tahun? Yu Gemi menelan ludah. Cukup lama dirinya mesti menyabarkan diri. ”Kalau sudah sampai di sana, tolong panggil nama saya G-e-m-i ya, Bu?” pintanya senantiasa. Konon, mereka yang dipanggil jamaah haji di Tanah Suci, insya Allah bakal ketularan berhaji. Dengan titipan doa itu, Yu Gemi ingin memastikan diri bahwa keberangkatannya ke Tanah Suci bukanlah sebatas janji.
Yu Gemi juga suka bersilaturahim kepada jamaah yang baru pulang haji. Baginya, mereka itu ibarat teman sekampung yang balik dari mudik. Membicarakan Tanah Suci, seakan melepaskan kerinduan akan kampung halaman.
Ada saja yang ditanyakan. Yu Gemi siap memberondongkan pertanyaan, keingintahuan sekaligus rasa penasaran. Bukankah dengan menimba pengalaman, perjalannya kelak bakal jauh dari rintangan? Demikian, setiap kali Yu Gemi membesarkan hati. Lima kali musim haji berlalu, Yu Gemi masih harus menunggu. Ia pun gelisah.
”Kuota jamaah haji kita terbatas. Ibu harus sabar karena yang antre begitu banyak. Satu ketika, ibu akan berangkat juga.“ Demikian janji buat Yu Gemi, setiap kali menemui petugas haji.
Janji yang tak kunjung pasti itu ikut merepotkan Siti, anak tetangga sebelah. Beberapa kali Yu Gemi memaksanya mengantar ke kota untuk menanyakan nasibnya. Haji Ja’far, ustaz kampung, juga kecipratan getah. Yu Gemi pasti lari menemuinya, bila kegelisahan hati sudah tak mampu ditanggungnya.
”Tidak setiap ibadah itu mudah. Ada saja godaannya, termasuk urusan haji.” Entah sudah berapa kali Haji Ja’far mengulang kalimat ini untuk mendinginkan hati Yu Gemi. ”Kalau harus menunggu giliran diberangkatkan ke Tanah Suci, ya kita terima dengan tawakal saja. Insya Allah kesabaran kita itu akan menjadi tambahan pahala bagi kita.”
Biasanya, petuah itu manjur seperti obat. Nasihat itu mampu membenamkan Yu Gemi dalam rutinitas keseharian. Namun tidak kali ini. Belum genap seminggu, Yu Gemi sudah balik melapor kepada Haji Ja’far lagi. Gara-garanya, Yu Gemi mengetahui bahwa Sutini, tetangga desa yang konon masih kerabat bupati, berangkat haji tahun ini.
”Ini keberangkatannya yang ketiga kali, Pak Ustaz. Padahal, ndaftarnya juga baru tahun ini. Kenapa dia bisa sedang saya tidak?“ tanya Yu Gemi, menuntut untuk dibuat mengerti.
Ustaz Ja’far terdiam. Sebagai ulama yang sering bersinggungan dengan jamaah haji, dia mengetahui bahwa urusan berangkat haji, para pejabat tidak mesti antre. Mereka memperoleh kemudahan lantaran jabatan. Namun, kemudahan itu sering disalahgunakan sanak keluarga para petinggi negeri ini. Celakanya, banyak di antara mereka yang tidak tahu diri. Setiap tahun mereka berangkat haji, tanpa peduli jutaan rakyat negeri ini mesti antre. Ustaz Ja’far mengetahui semua ini. Namun, bagaimana cara menjelaskannya pada Yu Gemi?
Sementara itu, Yu Gemi semakin larut dalam genangan air mata. Bahunya tergetar menahan tangisan. Sesekali batuknya memburu, di sela sedu sedan. Ustaz Ja’far sengaja membiarkan Yu Gemi tenggelam dalam ratapan. Dalam situasi seperti ini, tangisan menjadi pelarian yang paling memungkinkan. Ia berharap, perasaan Yu Gemi dapat sedikit lega, setelah tangisannya reda. Untuk beberapa lama suasana membeku, kedua orang itu terbuai angan-angan.
”Saya mesti bagaimana lagi, Pak Ustaz?“ desak Yu Gemi di ujung isakannya.
Ustad Ja’far mendesah. ”Kita hanya bisa bertawakal, Yu. Istighfar..,“ ujarnya, lesu.
Jawaban itu sama sekali tidak mampu mengobati luka hati Yu Gemi. Untuk urusan lain, perempuan yang rambutnya sudah dimakan uban itu mampu berlapang dada. Ketika pamong desa membagikan beras sembako dan dirinya terlupakan, Yu Gemi masih bisa tersenyum tanpa beban. Sewaktu beberapa bagian pekarangannya dicaplok tetangga sebelah, Yu Gemi dengan pasrah mengalah. Yu Gemi mampu bertahan meski dipojokkan dalam ketidakadilan. Tapi, kali ini urusan haji. Harapan yang dengan susah payah ia simpan sejak ingusan.
Peristiwa itu benar-benar memukul batin Yu Gemi. Setiap malam ia mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Yu Gemi merasa sudah cukup berkorban, ia menuntut keadilan. Kenapa dirinya terabaikan? Mengapa nasibnya terus dipermainkan? Apakah ibadah haji hanya menjadi milik yang kaya dan berkuasa belaka? Demikian ratapannya setiap malam tiba.
Janda tua itu tampak sering termenung di emperan rumah. Ia semakin jarang kelihatan membersihkan tanah pekarangan. Hari-harinya diisi dengan duduk diam dengan pandangan kosong melompong. Sesekali terdengar ia batuk-batuk. Batuk berat dan beruntun. Kalau sudah demikian, tubuhnya yang kerempeng terguncang-guncang, napasnya terengah-engah. Penyakit warisan yang dikiranya mati itu, kini agaknya hidup kembali.
Perubahan perilaku Yu Gemi menjadi amunisi bagi tetangga kanan kiri. Diam-diam mereka mengamati tingkah Yu Gemi, lantas bisik-bisik sambil sembunyi. Beruntung Yu Gemi masih memiliki Siti. Bocah belasan tahun yang sudah dianggapnya keponakan sendiri inilah yang setia menggantikan beban kesehariannya.
Suatu sore, Yu Gemi merasa perlu memanggil Siti. Perempuan yang biasanya sakit-sakitan itu kali ini tampak bergairah. Raut kesakitan lantaran batuk menahun yang menggerogoti dadanya itu tak berbekas di mukanya. Wajahnya cerah, senyumnya mengembang. Siti melihat, sore itu, Yu Gemi kelihatan sehat dan bahagia.
”Aneh, si Mbok kok semringah betul?“ tegur Siti, heran melihat perubahan Yu Gemi. Yu Gemi melebarkan senyumnya. ”Tentu saja gembira. Si Mbokmu ini jadi berangkat haji.“
”Betul, Mbok?“ Siti tercengang, namun ikut merasa senang. ”Alhamdulillah. Jadi si Mbok sudah mendapat kepastian bakal diberangkatkan?“
Yu Gemi menggeleng. Siti mengerutkan jidatnya, ditatapnya perempuan tua itu dengan keheranan.
”Sudah tidak usah dipikirkan,“ tukas Yu Gemi, memahami kebingungan Siti. ”Yang penting si Mbok jadi pergi haji. Kau bantu mengemasi barang-barang si Mbok, ya?“
Meski diliputi tanda tanya, Siti menurut. Ia tidak tega mengecewakan perempuan yang selama ini tulus mengasihinya itu. Sebuah koper besar telah disiapkan. Siti memasukkan mukena, sajadah, beberapa lembar pakaian, dan sejumlah kebutuhan untuk pergi haji. Sementara, tangannya sibuk bekerja, perhatiannya terpatri pada Yu Gemi.
Soal kesungguhan Yu Gemi ingin pergi haji, Siti sama sekali tidak merasa sangsi. Namun, benarkan Yu Gemi berangkat tahun ini? Tanpa sadar Siti menggelengkan kepala, ia tidak bisa memaksa dirinya untuk percaya.
”Apa yang terjadi pada diri Yu Gemi?” batin Siti tak kunjung mengerti.
Dalam tidurnya Siti bermimpi. Yu Gemi benar-benar pergi haji. Wajahnya semringah, putih bersih, seputih baju ihram yang melilit tubuhnya. Yu Gemi tersenyum seraya melambaikan tangan ke arahnya. Kemudian Yu Gemi pergi, bergabung dengan jutaan jamaah, thawaf mengelilingi Ka’bah.
Paginya Siti menemukan Yu Gemi tersungkur di atas sajadah. Bercak darah mengotori mukenanya. Sebuah kopor terguling di sampingnya. Batuk menahun mengantar kepergiannya.
Ketika umur belasan ia dikawinkan, Yu Gemi berharap suaminya bakal membantunya membangun angan-angan itu menjadi kenyataan. Namun, ia kecele! Bukannya mendukung lelakinya itu justru menghardik.
”Kamu itu mabuk atau kesurupan?” bentaknya satu ketika. ”Jangankan pergi haji, buat makan saja kesulitan!”
”Tapi kita dilarang putus harapan, Kang!”
”Iya, tapi yang nalar. Jangan mimpi ketiban rembulan!”
Kalimat itu begitu menusuk ulu hati. Namun, Yu Gemi tidak mampu memungkiri kebenaran ucapan lelakinya. Sebagai buruh serabutan, kehidupan mereka memang jauh dari kecukupan. Tidak setiap hari perut Yu Gemi terisi nasi. Seringkali ia harus puasa karena nasi terakhir menjadi jatah lelakinya. Jadi, siapa menyuruh dirinya berpanjang angan-angan?
Sejak saat itu, di depan lelakinya, Yu Gemi memutuskan untuk berhenti berbagi mimpi. Kendati demikian, jangan mengira Yu Gemi putus harapan.
”Beribadah ke Tanah Suci itu soal hidayah, Yu. Bila tidak mendapat hidayah-Nya, seseorang belum tentu mampu ke sana. Tidak peduli betapa pun kayanya dia! Begitu pula sebaliknya. Meskipun melarat, seseorang mampu menjadi tamu Allah bila telah dikehendaki-Nya. Tuhan akan menunjukkan kemudahan bagi mereka.”
Kalimat guru ngaji di kampungnya itu menjadi pegangan Yu Gemi dalam memupuk harapan. Bagi Yu Gemi, harapan ibarat sebuah tanaman. Bila ia rajin merawat, memupuk dan menjaganya, suatu ketika akan tumbuh besar juga. Ia bakal menikmati buahnya. Yu Gemi percaya, Gusti Pangeran akan menaruh belas kasihan kepadanya.
Mendiang orang tuanya tidak keliru memberinya nama Gemi. Yu Gemi memang benar-benar “gemi”. Setiap rupiah yang berhasil dikaisnya, sebagian disisihkan sebagai simpanan. Mewarisi pekerjaan lelakinya sebagai buruh serabutan, tidak banyak yang dapat ia kumpulkan. Tapi, Yu Gemi tidak peduli. Pokoknya disimpan, entah kapan mencukupi, untuk membeli sebuah mimpi.
Mula-mula, Yu Gemi memelihara beberapa ekor ayam dari uang simpanan. Beberapa bulan kemudian, puluhan ayam itu tumbuh menjadi anak kambing. Kambing-kambing itu pun beranak pinak dan berkembang jadi sapi.
Beberapa tahun kemudian, sapi-sapi itu pun telah melahirkan sepetak sawah dan tanah pekarangan. Tidak luas memang. Tapi, bagi Yu Gemi, semua itu adalah bukti kemudahan dari Tuhan.
Demikialah. Demi impian indah yang kerap membuat tidurnya gelisah, sepetak sawah itu pun dijualnya. Kali ini, Yu Gemi tidak mampu menyembunyikan diri, entah siapa yang memulai, tetangganya ribut begitu tahu Yu Gemi mendaftarkan diri pergi haji.
”Oallah, Yu. Ngulon itu kan kalau mampu. Lha kalau sampai menjual sawah itu namanya nekat.“
”He-eh. Wong kesrakat kok nekat!“
Suara-suara itu jelas sumbang, namun Yu Gemi tidak ambil peduli. Setelah membayar panjar, Yu Gemi merasa sudah setengah perjalanan ke Mekah. Tanah pekarangan yang sekarang ia tempati, akan dijualnya nanti, bila saat keberangkatannya tiba.
”Nama Ibu sudah masuk daftar tunggu. Ibu akan memperoleh informasi resmi dari kami, bila masuk daftar keberangkatan nanti.“
Janji petugas pendaftaran haji itu membuat Yu Gemi menemukan hidupnya kembali. Sepeninggal suaminya, kehidupan Yu Gemi serasa tanpa makna. Bermula dengan pertengkaran hebat, suatu sore, lelakinya itu pergi untuk tidak kembali lagi. Yu Gemi dituding gabuk, tak mampu menghasilkan keturunan setelah belasan tahun terikat perkawinan. Belakangan Yu Gemi mengetahui, tudingan itu sekadar alasan tengik belaka. Bekas suaminya itu agaknya kecantol janda muda, pemilik warung kopi tetangga desa. Kembali Yu Gemi dipaksa harus tahu diri. Dibanding si janda kembang itu, dirinya kalah segalanya. Kalah cantik, kalah umur, kalah subur.
Yu Gemi bertahan lantaran menyimpan sebuah impian. Ya, Yu Gemi ingin berangkat haji. Dan kini, impian itu tinggal selangkah lagi. Seraya menunggu saat keberangkatannya tiba, Yu Gemi mendadak rajin mengunjungi mereka yang mau berangkat haji. Dia ingin ikut merasakan, betapa mendebarkan persiapan menjelang keberangkatan. Yu Gemi ingin ikut menikmati gairah, mereka yang yang sebentar lagi bakal melihat Ka’bah.
”Omong-omong, berapa tahun Ibu menunggu diberangkatkan?“ Seakan sebuah tradisi, Yu Gemi suka melontarkan pertanyaan ini.
”Wah, lama. Tidak kurang dari lima tahun.“
Lima tahun? Yu Gemi menelan ludah. Cukup lama dirinya mesti menyabarkan diri. ”Kalau sudah sampai di sana, tolong panggil nama saya G-e-m-i ya, Bu?” pintanya senantiasa. Konon, mereka yang dipanggil jamaah haji di Tanah Suci, insya Allah bakal ketularan berhaji. Dengan titipan doa itu, Yu Gemi ingin memastikan diri bahwa keberangkatannya ke Tanah Suci bukanlah sebatas janji.
Yu Gemi juga suka bersilaturahim kepada jamaah yang baru pulang haji. Baginya, mereka itu ibarat teman sekampung yang balik dari mudik. Membicarakan Tanah Suci, seakan melepaskan kerinduan akan kampung halaman.
Ada saja yang ditanyakan. Yu Gemi siap memberondongkan pertanyaan, keingintahuan sekaligus rasa penasaran. Bukankah dengan menimba pengalaman, perjalannya kelak bakal jauh dari rintangan? Demikian, setiap kali Yu Gemi membesarkan hati. Lima kali musim haji berlalu, Yu Gemi masih harus menunggu. Ia pun gelisah.
”Kuota jamaah haji kita terbatas. Ibu harus sabar karena yang antre begitu banyak. Satu ketika, ibu akan berangkat juga.“ Demikian janji buat Yu Gemi, setiap kali menemui petugas haji.
Janji yang tak kunjung pasti itu ikut merepotkan Siti, anak tetangga sebelah. Beberapa kali Yu Gemi memaksanya mengantar ke kota untuk menanyakan nasibnya. Haji Ja’far, ustaz kampung, juga kecipratan getah. Yu Gemi pasti lari menemuinya, bila kegelisahan hati sudah tak mampu ditanggungnya.
”Tidak setiap ibadah itu mudah. Ada saja godaannya, termasuk urusan haji.” Entah sudah berapa kali Haji Ja’far mengulang kalimat ini untuk mendinginkan hati Yu Gemi. ”Kalau harus menunggu giliran diberangkatkan ke Tanah Suci, ya kita terima dengan tawakal saja. Insya Allah kesabaran kita itu akan menjadi tambahan pahala bagi kita.”
Biasanya, petuah itu manjur seperti obat. Nasihat itu mampu membenamkan Yu Gemi dalam rutinitas keseharian. Namun tidak kali ini. Belum genap seminggu, Yu Gemi sudah balik melapor kepada Haji Ja’far lagi. Gara-garanya, Yu Gemi mengetahui bahwa Sutini, tetangga desa yang konon masih kerabat bupati, berangkat haji tahun ini.
”Ini keberangkatannya yang ketiga kali, Pak Ustaz. Padahal, ndaftarnya juga baru tahun ini. Kenapa dia bisa sedang saya tidak?“ tanya Yu Gemi, menuntut untuk dibuat mengerti.
Ustaz Ja’far terdiam. Sebagai ulama yang sering bersinggungan dengan jamaah haji, dia mengetahui bahwa urusan berangkat haji, para pejabat tidak mesti antre. Mereka memperoleh kemudahan lantaran jabatan. Namun, kemudahan itu sering disalahgunakan sanak keluarga para petinggi negeri ini. Celakanya, banyak di antara mereka yang tidak tahu diri. Setiap tahun mereka berangkat haji, tanpa peduli jutaan rakyat negeri ini mesti antre. Ustaz Ja’far mengetahui semua ini. Namun, bagaimana cara menjelaskannya pada Yu Gemi?
Sementara itu, Yu Gemi semakin larut dalam genangan air mata. Bahunya tergetar menahan tangisan. Sesekali batuknya memburu, di sela sedu sedan. Ustaz Ja’far sengaja membiarkan Yu Gemi tenggelam dalam ratapan. Dalam situasi seperti ini, tangisan menjadi pelarian yang paling memungkinkan. Ia berharap, perasaan Yu Gemi dapat sedikit lega, setelah tangisannya reda. Untuk beberapa lama suasana membeku, kedua orang itu terbuai angan-angan.
”Saya mesti bagaimana lagi, Pak Ustaz?“ desak Yu Gemi di ujung isakannya.
Ustad Ja’far mendesah. ”Kita hanya bisa bertawakal, Yu. Istighfar..,“ ujarnya, lesu.
Jawaban itu sama sekali tidak mampu mengobati luka hati Yu Gemi. Untuk urusan lain, perempuan yang rambutnya sudah dimakan uban itu mampu berlapang dada. Ketika pamong desa membagikan beras sembako dan dirinya terlupakan, Yu Gemi masih bisa tersenyum tanpa beban. Sewaktu beberapa bagian pekarangannya dicaplok tetangga sebelah, Yu Gemi dengan pasrah mengalah. Yu Gemi mampu bertahan meski dipojokkan dalam ketidakadilan. Tapi, kali ini urusan haji. Harapan yang dengan susah payah ia simpan sejak ingusan.
Peristiwa itu benar-benar memukul batin Yu Gemi. Setiap malam ia mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Yu Gemi merasa sudah cukup berkorban, ia menuntut keadilan. Kenapa dirinya terabaikan? Mengapa nasibnya terus dipermainkan? Apakah ibadah haji hanya menjadi milik yang kaya dan berkuasa belaka? Demikian ratapannya setiap malam tiba.
Janda tua itu tampak sering termenung di emperan rumah. Ia semakin jarang kelihatan membersihkan tanah pekarangan. Hari-harinya diisi dengan duduk diam dengan pandangan kosong melompong. Sesekali terdengar ia batuk-batuk. Batuk berat dan beruntun. Kalau sudah demikian, tubuhnya yang kerempeng terguncang-guncang, napasnya terengah-engah. Penyakit warisan yang dikiranya mati itu, kini agaknya hidup kembali.
Perubahan perilaku Yu Gemi menjadi amunisi bagi tetangga kanan kiri. Diam-diam mereka mengamati tingkah Yu Gemi, lantas bisik-bisik sambil sembunyi. Beruntung Yu Gemi masih memiliki Siti. Bocah belasan tahun yang sudah dianggapnya keponakan sendiri inilah yang setia menggantikan beban kesehariannya.
Suatu sore, Yu Gemi merasa perlu memanggil Siti. Perempuan yang biasanya sakit-sakitan itu kali ini tampak bergairah. Raut kesakitan lantaran batuk menahun yang menggerogoti dadanya itu tak berbekas di mukanya. Wajahnya cerah, senyumnya mengembang. Siti melihat, sore itu, Yu Gemi kelihatan sehat dan bahagia.
”Aneh, si Mbok kok semringah betul?“ tegur Siti, heran melihat perubahan Yu Gemi. Yu Gemi melebarkan senyumnya. ”Tentu saja gembira. Si Mbokmu ini jadi berangkat haji.“
”Betul, Mbok?“ Siti tercengang, namun ikut merasa senang. ”Alhamdulillah. Jadi si Mbok sudah mendapat kepastian bakal diberangkatkan?“
Yu Gemi menggeleng. Siti mengerutkan jidatnya, ditatapnya perempuan tua itu dengan keheranan.
”Sudah tidak usah dipikirkan,“ tukas Yu Gemi, memahami kebingungan Siti. ”Yang penting si Mbok jadi pergi haji. Kau bantu mengemasi barang-barang si Mbok, ya?“
Meski diliputi tanda tanya, Siti menurut. Ia tidak tega mengecewakan perempuan yang selama ini tulus mengasihinya itu. Sebuah koper besar telah disiapkan. Siti memasukkan mukena, sajadah, beberapa lembar pakaian, dan sejumlah kebutuhan untuk pergi haji. Sementara, tangannya sibuk bekerja, perhatiannya terpatri pada Yu Gemi.
Soal kesungguhan Yu Gemi ingin pergi haji, Siti sama sekali tidak merasa sangsi. Namun, benarkan Yu Gemi berangkat tahun ini? Tanpa sadar Siti menggelengkan kepala, ia tidak bisa memaksa dirinya untuk percaya.
”Apa yang terjadi pada diri Yu Gemi?” batin Siti tak kunjung mengerti.
Dalam tidurnya Siti bermimpi. Yu Gemi benar-benar pergi haji. Wajahnya semringah, putih bersih, seputih baju ihram yang melilit tubuhnya. Yu Gemi tersenyum seraya melambaikan tangan ke arahnya. Kemudian Yu Gemi pergi, bergabung dengan jutaan jamaah, thawaf mengelilingi Ka’bah.
Paginya Siti menemukan Yu Gemi tersungkur di atas sajadah. Bercak darah mengotori mukenanya. Sebuah kopor terguling di sampingnya. Batuk menahun mengantar kepergiannya.
Yu Gemi Pergi Haji
4/
5
Oleh
Syaf