Langit kelam dan senja lebam dalam guyuran hujan lebat. Kilat menjilat sambung-menyambung seperti ingin membakar langit. Halilintar bersahut-sahutan tiada henti bagai ingin membelah dunia. Kedinginan di halte bus senja itu aku merasa benar-benar kecil. Pasrah oleh jilatan tempias hujan atau sesekali cipratan air yang dilindas ban-ban mobil. Angin berkesiur liar kian kemari. Terlintas dalam benakku bagaimana jadinya jika aku disambar petir. Tubuh terbakar hangus seketika. Gosong. Atau tiba tiba air bah datang dan menghanyutkan tubuhku seperti sepotong kayu. Rasa sesal dan kesal menyeruak dalam dadaku. Betapa bodoh dan tololnya aku. Bukankah aku seharusnya turun di dua halte berikutnya? Kalau tidak melakukan tindakan tolol ini, mungkin aku sudah duduk sembari ngopi ditemani istriku di sebuah gubuk tempat kami mengontrak selama ini. Dalam badai petir seperti ini, mungkin juga aku sudah berada di tempat tidur bersama istriku, seorang perempuan yang tidak cantik tapi juga tak bisa disebut jelek. Dalam dingin apa saja bisa terjadi di tempat tidur.
Seorang laki-laki sepantaran aku yang sejak tadi berdiri agak jauh mendekat. Aku bersiaga. Khawatir juga kalau-kalau ia ingin mencari kehangatan bersamaku. Ia tak mungkin merampok aku karena tak ada sesuatu pun yang bisa dirampasnya dari aku. Di dompetku cuma ada tiga lembar uang lima ribuan. “Punya korek?” ia menyergapku sebelum aku sempat menggeser. Sebatang rokok siap dinyalakan. Kurogoh saku celana sebelah kanan untuk mengambil korek api lalu kuberikan kepadanya. Setelah menyulut rokoknya, laki-laki itu menyodorkan bungkus rokoknya kepadaku. Buru-buru kuucapkan terima kasih seraya mengambil bungkus rokok milikku dari saku belakang celana. Masih tersisa dua batang. Kuambil satu. Agak mletot karena terduduki. Sesaat kemudian asap rokok kami sudah berpilin-pilin menjadi satu untuk kemudian hilang menyatu dengan putihnya tempias hujan.
“Mau pulang?” laki-laki itu bertanya. Tanpa menoleh ke arahku.
Aku berdehem. “Aku salah turun. Seharusnya di dua halte berikutnya. Kalau tidak, mungkin aku sudah sampai di rumah,” kataku sembari menatap ke jalan. Senja makin lebam. Hujan masih saja lebat. Genangan air mulai meninggi. Angin masih berkesiur. Aku bersidakep menahan dingin.
“Bekerja di mana?” laki laki itu melanjutkan setelah melepas asap rokoknya untuk kesekian kali.
“Dulu. Di sebuah kantor,” aku sengaja berbohong.
“Tapi aku dipecat. Perusahaan hampir pailit karena kelebihan karyawan, sementara order menurun. Aku jadi korban. Sekarang nganggur. Kerja serabutan. Apa saja. Yang penting bisa makan.”
Laki laki itu tertawa kecil. Suaranya nyaris tak terdengar karena hujan begitu lebat. Tak jelas mengapa ia tertawa.
“Kalau mau, aku bisa bantu,” kata laki-laki itu kemudian. “Atau tepatnya mungkin kau bisa membantu aku.”
Untuk pertama kali aku menoleh ke arah laki-laki itu. Tubuhnya hampir tak berbeda dengan aku. Agak kurus. Agak tinggi. Hidung mancung. Mata dan pipi cekung. Rambut mulai banyak ditumbuhi uban. Agak gondrong.
“Kerja apa?” aku bertanya sembari menggaruk-garuk dahi untuk menyembunyikan perasaan gembiraku.
“Kenalkan dulu,” ujarnya seraya menyodorkan tangan. “Namaku Sukra.”
“Sukro,” aku menyebut namaku.
Laki-laki itu tiba-tiba terbahak. “Nama kita hampir sama ya. Aneh juga. Tapi itu tidak penting. Yang penting kau mau bekerja sama.”
Setelah itu kami jadi lebih akrab. Kami ngobrol hingga senja hilang dan sinar merkuri mulai memunculkan siluet. Dan hujan tiris. Ketika aku akhirnya melangkah meninggalkan halte bus itu, terus terngiang ajakan Sukra.
“Kita merampok,” katanya getas. Aku kaget. Sukra tertawa. “Kita merampok orang kaya. Karena umumnya orang kaya pun perampok. Uang mereka pun belum tentu uang halal. Ada yang hasil korupsi, ada yang curang dalam berdagang, macam-macamlah. Kita ambil barang sedikit dari mereka. Mereka pasti tidak jadi jatuh miskin. Uang mereka banyak. Banyak sekali.”
Tak kuceritakan pertemuan tak terduga dengan Sukra itu kepada istriku. Tak ada gunanya. Lagi pula istriku selama ini tak pernah mau tahu apa pekerjaanku. Baginya yang penting aku pulang membawa uang. Seperti hari ini. Meski cuma lima belas ribuan. Malamnya, meski dingin menyungkup, aku jadi tak bisa tidur. Gelisah saja. Ajakan laki laki itu terus menggodaku. Istriku di sebelahku sudah terlelap. Dalam remang kulihat wajah pasrahnya. Kadang-kadang kasihan juga aku melihat wanita ini. Di antara empat saudaranya, hidupnyalah yang paling susah. Kakaknya, seorang wanita, menikah dengan seorang juragan beras. Adiknya, laki laki, bekerja di sebuah perusahaan cukup besar. Entah di bagian mana. Yang pasti, hidupnya tak pernah kelihatan susah. Ia memiliki sebuah mobil dan dua sepeda motor. Si bungsu, perempuan, menikah dengan seorang polisi. Hidupnya juga tak kelihatan susah. Malah yang paling makmur.
Merampok? Ah, tak mungkin kulakukan pekerjaan itu. Aku terlalu pengecut untuk melakukan perbuatan penuh risiko itu. Bagaimana kalau yang punya rumah terbangun? Lalu terjadi perkelahian. Lalu aku terluka. Atau bagaimana kalau aku tertangkap warga? Bisa babak belur. Bisa juga dibakar massa.
Esoknya aku bekerja tanpa gairah. Hari itu, tugasku memasang pompa air. Sudir, teman sekerjaku, sampai jengkel karena setiap kali mengangkat pipa yang akan ditancapkan ke perut bumi kulakukan dengan setengah tenaga. Sebentar-sebentar aku juga minta istirahat. Kubilang badanku kurang enak.
Sukra tiba-tiba muncul lagi ketika aku sedang duduk berteduh dengan seplastik air dingin di tanganku. “Untuk apa kau bekerja keras kalau sebenarnya ada pekerjaan lain yang jauh lebih ringan dengan penghasilan yang jauh lebih besar,” kata Sukra sembari mengepulkan asap rokoknya.
“Merampok itu bukan pekerjaan ringan, Kra,” jawabku sinis.
Sukra mengakak. “Kalau kau takut merampok, aku bisa memberimu pekerjaan lainnya. Ada banyak pilihan pekerjaan, Sukro. Itu kalau kau mau. Kalau tidak, selamanya hidupmu susah. Selamanya miskin.”
Aku diam saja. Semilir angin membelai dan menyejukkanku.
“Kalau kau mau,” Sukra meneruskan kalimatnya. “Jadi pengedar, misalnya. Ada ekstasi, sabu-sabu, ganja, atau apa saja yang dibutuhkan konsumen.”
“Pekerjaan itu cuma merusak bangsa sendiri, Sukra!” aku membentak.
Sukra mengakak lagi. “Kalau bukan kita yang melakukannya, orang lain yang mengambil alih. Sama saja. Apa salahnya justru kita yang mengambil kesempatan itu.”
“Kesempatan merusak orang lain? Merusak bangsa sendiri?”
“Sudahlah kalau kau memang tak tertarik,” Sukra membanting rokoknya. Lalu beranjak pergi dengan membawa derai tawanya.
Sukra muncul lagi di hari ketiga ketika aku makan siang di sebuah warung Tegal. Ia langsung duduk di sebelahku. Tanpa basa-basi kepadaku, ia ikut memesan makanan.
“Diajak merampok enggak mau, jadi pengedar enggak mau. Jadi maumu apa?” Sukra berkata kepadaku. Agak berbisik. Aku diam saja.
“Oya, nanti malam, kalau kau mau, aku ada pekerjaan untukmu. Bukan merampok. Bukan jadi pengedar.”
“Jadi apa?”
“Aku punya tamu. Lima turis Jepang. Mereka mau ke Bali besok sore. Mereka butuh teman wanita. Bisa kau carikan? Bayarannya besar, Kro. Upahmu seratus ribu untuk setiap satu perempuan. Ini tanpa risiko. Kau bisa cari di banyak tempat di Jakarta ini,” kata Sukra. Lalu disebutnya nama sebuah hotel tempat di mana aku bisa menemuinya.
“Itu pekerjaan haram,” kataku singkat membuat Sukra tertawa.
“Haram? Ya, mungkin kau benar. Tapi, cobalah berpikir sedikit lebih rasional, Sukro. Setiap hari kau bekerja keras. Untuk hasil yang pasti tak sepadan. Hanya cukup untuk makan. Itu pun mungkin pas-pasan. Nah, kalau kau ambil pekerjaan yang kutawarkan ini, dalam beberapa jam saja kau sudah bisa mengantongi uang lima ratus ribu. Apalagi kalau pekerjaanmu bagus. Setiap pekan aku pasti punya tamu orang asing. Dan mereka membutuhkan wanita-wanita penghibur. Jadi, setiap pekan kau bisa membawa pulang lebih banyak dibandingkan apa yang sudah kau peroleh selama ini.”
Buru-buru kutinggalkan Sukra di warung Tegal itu. Ia mengakak seperti biasanya seraya meraih tanganku. Menahanku dengan paksa. “Tenang dulu, Kro! Mau ke mana kau? Baiklah kalau kau tak mau menerima tawaranku. Tapi setidaknya kita bisa ngobrol-ngobrol. Tentang apa saja.”
Dengan perasaan agak jengkel aku terpaksa duduk lagi. Mendengar celoteh Sukra. Tentang hidup enak dengan jalan pintas. Merampok. Jadi pengedar. Jadi makelar wanita. Kini entah apa lagi yang akan ia tembakkan dan cekokkan kepadaku di warung Tegal yang kecil dan pengap itu, tempat di mana aku bisa menjejalkan makanan ke perutku sampai kenyang hanya dengan uang lima ribuan.
Aku mengambil sebatang rokok. Sebelum sempat kunyalakan, seorang perempuan setengah baya duduk di sebelah kiriku. Terpaksa aku menggeser sedikit, memepet Sukra. Rokok tak jadi kunyalakan. Tak enak juga mengepulkan asap rokok di tempat kecil itu dan di sana ada seorang perempuan.
“Sudah lama kau bekerja seperti sekarang?” Sukra memulai lagi percakapan.
“Sudah kubilang setelah dipecat dari sebuah perusahaan,” sahutku ogah ogahan.
Sukra tertawa kecil. “Maaf, aku lupa.”
Selepas makan, Sukra membawaku ke sebuah tempat di bawah pohon mahoni di seberang warung Tegal tempat kami barusan makan. Aku sebenarnya ingin buru-buru berpisah darinya. Tapi ia bilang masih ada satu peluang bagiku untuk mengubah hidupku menjadi lebih baik. Ia baru akan membiarkan aku pergi setelah mendengar tawarannya. “Kau tolak pun tak apa. Tapi sebaiknya kau dengarkan dulu. Siapa tahu kau tertarik,” katanya meyakinkanku.
Di bawah pohon mahoni yang daunnya meneduhkan dan menyejukkan itu kami kemudian duduk berdua di dua buah batu besar. Berhadap-hadapan. “Aku punya tawaran pekerjaan lain yang sangat menyenangkan. Tak begitu berat. Secara fisik kau juga mungkin akan mendapatkan kenikmatan selain juga menerima bayaran yang sangat sepadan,” Sukra memulai serangannya. Aku cuma terdiam.
“Wajahmu cukup ganteng. Apalagi kalau sedikit kau rawat. Dan muda. Sebagai pekerja kasar, kau juga berotot. Kurasa pekerjaan ini cocok untukmu. Lagi pula, kau tak perlu bekerja setiap hari atau setiap malam. Kau hanya bekerja bila tenagamu benar-benar dibutuhkan. Sebelum atau sesudah menunaikan tugasmu, kau bisa tetap berkumpul bersama istrimu.”
Aku masih saja bungkam. Tetap belum dapat kutebak ke mana arah bicaranya.
“Kau tahu pekerjaan apa yang aku maksud?” Sukra seperti memaksa aku bicara setelah terus-menerus diam mendengarkan. Aku menggeleng.
“Aku punya dua klien. Yang pertama seorang wanita setengah baya. Cantik. Janda. Kaya. Kesepian. Kau bisa bekerja untuknya. Mungkin dua kali seminggu. Mungkin juga seminggu sekali. Tergantung kebutuhannya. Tapi gajimu tetap tiap bulan. Tidak tergantung pada seberapa banyak kau bekerja. Kau bahkan tetap menerima gaji andai klienku ini ke luar negeri dan kau tak bekerja dalam sebulan. Atau, bisa juga dia mengajakmu ke luar negeri.”
Sebelum aku berkata-kata, Sukra melanjutkan, “yang kedua adalah seorang pria. Usianya mungkin dua atau tiga tahun lebih tua darimu. Ia masih membujang. Ia tak suka wanita. Ia menyukai sesama jenis. Nah, kau juga bisa bekerja untuknya. Tidak setiap hari juga. Dan, kau bisa ambil klienku yang wanita saja, atau yang pria saja. Boleh juga kedua-duanya sekaligus kalau kau mau dan mampu. Gajimu pun jadi dua kali lipat??
“Kedua-duanya pekerjaan haram,” aku berkata ketus. Sukra tertawa. “Mengapa bukan kau saja yang melakoninya?”
“Kro, Sukro. Aku mau menolongmu. Aku malaikat penolongmu. Semua pekerjaan yang pernah kutawarkan kepadamu itu sudah kulakoni. Sekarang aku mau berbagi denganmu. Itu saja.”
“Aku tidak tertarik,” berkata begitu, aku buru-buru meninggalkan Sukra. Tanpa menoleh.
“Sukro!” Sukra berteriak. “Tunggu!”
“Tidak! Tidak! Tidak! Kau setan! Bukan malaikat!” aku berteriak. Dan lari. Sampai terengah engah.
“Ada apa, Mas?” istriku mengguncang-guncang tubuhku. Aku terbangun. Masih terengah-engah. Kunyalakan lampu kamar. Kuteguk air putih untuk menenangkan diri. Lalu kulihat diriku pada cermin di kamarku. Di cermin itu kulihat wajah Sukro.
Sukro Dan Sukra
4/
5
Oleh
Syaf