Guru Sejati
Suara orang itu mengeras nyaris seperti auman singa, sementara
wajahnya memerah seakan darah dalam kepalanya ingin keluar, matanya terbelalak
seolah melihat malaikat maut berdiri di hadapannya, mulutnya terbuka lebar,
seakan ada yang mencekik lehernya dan mencengkram rahangnya. Sudah lebih
sembilan jam ia mengerang kesakitan. Orang-orang yakin: dia terkena sihir dan hanya
kematian yang sanggup menyelamatkannya.
Abah Hadi, yang dipanggil salah seorang sesepuh warga, muncul.
Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di tengah pekarangan
itu. Keramaian yang mencemaskan itu membuat suasana sore itu semakin mencekam.
Abah Hadi dengan tenang mendekati tubuh orang itu, Abah Hadi lalu membacakan
satu kalimat Basmalah kemudian beliau tiupkan di segelas minuman, kemudian
beliau meminumkannya ke orang itu.
Menurut orang-orang yang melihat kejadian itu sesaat setelah Abah Hadi
memberikan minuman ke orang itu, sekujur badan orang itu terguncang hebat
seperti dikejutkan oleh aliran listik. Lalu, cairan merah kekuningan berbau
amis keluar dari hidung dan telinganya. Dari bawah badannya merembes serupa
kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Orang itu mengerang panjang. Abah
Hadi hanya mengangguk ke arah orang-orang yang menyaksikan.”Biarkan dia
beristirahat.”
Keesokan harinya, orang itu sudah sehat bugar.
Kisah itu hanyalah salah satu cerita yang sudah Umar dengar dari
ayahnya dan beberapa orang, dan masih banyak lagi kisah tentang Abah Hadi yang
di terkadang membuat Umar melamun berjam- jam hanya untuk mengingat kisah-kisah
Abah Hadi. Umar suka membayangkan kisah-kisah Abah Hadi dengan dramatis
layaknya adegan di film. Ayah umar adalah salah satu murid Abah Hadi, setiap
beberapa hari sekali, Abah Hadi mengadakan sebuah pengajian dirumahnya dengan
para jama’ahnya. Di dalam pengajiannya Abah Hadi selalu berpakaian sederhana,
perawakannya yang kurus, berkulit coklat agak gelap, bersarung komprang, serta
baju model kemeja warna terang, membuat penampilannya sama sekali tidak
meyakinkan sebagai seorang kiai yang kharismatik. Tapi kesederhanaannya itulah
yang justru membuat ia terlihat lebih berwibawa. Dan ini yang kemudian membuat
Umar terkesan: meskipun Abah Hadi jarang
mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, nasihatnya selalu disimak dan dipatuhi oleh muridnya.
Bukan kiai yang suka mengobral ayat, Abah Hadi ialah sosok guru sejati, begitu komentar orang-orang. “Tak perlu sebentar-bentar mengutip
ayat, untuk menjadi bijak.” ujar Abah
Hadi, pada pengajian yang sempat Umar ikuti bersama ayahnya.
Pernah suatu ketika, Umar bergumam di dalam hatinya ketika ia
melihat beliau pertama kalinya.”Ternyata Abah
Hadi sama sekali tidak seperti kebanyakan kiai sekarang yang sering di
televisi, yang selalu berpakaian modis atau bersurban putih.”
“Hehehe, saya ini memang orang biasa bahkan sebenarnya bukan kiai.”
Abah Hadi tertawa terkekeh, sambil melirik Umar. Langsung membuat Umar
tertunduk. Ia semakin yakin, Bahwa Abah Hadi memang bisa membaca yang dipendam
dalam hati.
***
Sore itu, Umar melihat wajah ayahnya sedikit gugup,” Cepat kamu ke
rumah Abah Hadi...”Wajah ayahnya yang tidak bisa menyembunyikan kegugupannya
membuat Umar semakin bingung.”Ayo cepat, besok pagi adikmu sudah mulai ujian
tes di Universitasnya, Abah Hadi mau memberi adik kamu minuman. Ayah seharusnya
mengambil itu sekarang, tapi Ayah harus ke rumah nenek. Jangan sampai lupa,
kamu ambil sekarang. Setelah maghrib nanti, adik kamu harus sudah minum itu.
Jangan lupa!”
Mendengar ayahnya mengucapkan ‘jangan lupa’ sampai dua kali dan
bernada tegas, Umar mengerti, persoalan minuman itu amat penting bagi ayahnya.
Sejak adiknya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa, ayahnya memang jadi terlihat gampang tegang.
Ia sebenarnya juga tak terlalu setuju ketika Nayla adiknya mulai ingin menjadi mahasiswa di bangku
perkuliahan. “Buat apa sih jadi Mahasiswa, toh nantinya juga ujung-ujungnya
bingung cari duit.”katanya waktu itu.”Lebih enak jadi pengusaha kan.?”
“Sekarang ini lulusan SMA saja tak cukup untuk cari pekerjaan,”
jawab ayahnya. “Kamu tahu, jadi pengusaha kalau tidak dekat dengan partai juga
sulit dapat proyek. Tidak bakalan dapat bagian. Semua politikus itu sudah
melebihi pengusaha cara berpikirnya. Mereka hanya berpikir untung, untung dan
untung. Mereka harus dapat bagian untuk setiap proyek yang mereka anggarkan.
Proyek belum berjalan, mereka harus diberi persekot di depan. Sementara
keuntungan pengusaha yang makin sedikit juga mesti dialokasikan buat setor ke
partai. Kalau tidak, ya tidak bakal bisa menang.”
Terus terang, itu semua yang tak terlalu membuat Umar suka. Ia
sempat bilang, “Kenapa sih Nayla mesti mendaftarkan diri jadi mahasiswa segala?
Nanti malah repot….”
“Kamu jangan khawatir Umar,” jawab ayahnya sambil tersenyum. “Ayah
ini hanya ingin supaya adik kamu bisa jadi orang yang berpendidikan tinggi.
Banyak anak-anak yang meminta untuk menjadi mahasiswa, tapi orang tuanya tak
mendukung. Yah, ayah ini ibaratnya hanya menjalankan amanah. Kalau nanti Nayla
berhasil lulus tes, kan kamu juga ikut senang. Nayla nanti bisa ajari kamu cara
menjadi pengusaha yang sukses...”
Ayah Umar hanya tertawa pelan. “Kamu tenang saja. Adik kamu mau
mendaftar jadi mahasiswa begini ya setelah minta nasehat Abah Hadi kok. Beliau
memberi restu. Kalau tidak, ya ayah tidak berani. Nanti, sehari menjelang tes
pendaftaran, Abah Hadi akan memberi Nayla minuman.”
Minuman itulah yang harus segera diambil oleh Umar.
***
Beberapa minggu kemudian, hasil tes ujian pendaftaran Nayla
diumumkan. Sedangkan Umar yang terlihat bengong ketika tes ujian sudah resmi
diumumkan: Nayla berhasil lulus tes menjadi mahasiswa! Suasana rumah hari itu
dipenuhi sukacita kebahagiaan. Ali adik laki-laki Umar yang masih SD, bahkan
tak bisa menyembunyikan kegembiraannya dengan berlarian teriak-teriak keliling
halaman, “Yeaah, akhirnya Mbak jadi mahasiswa! Mahasiswa!!” Ibu dan ayah Umar
sujud syukur. Puluhan tetangga bergiliran datang memberi selamat. Ibu dan ayah
Umar terlihat selalu tersenyum menyambut setiap ucapan.
“Kenapa Mas Umar
bengong begitu?” Ali menepuk pundak kakaknya.
Membuat Umar tergeragap.
“Mas tidak senang mbak Nayla
jadi mahasiswa?” Tanya Ali.
Umar hanya tersenyum. Ia
bukan tak suka adiknya berhasil lulus tes. Ia hanya heran, kenapa adiknya bisa lulus?! Umar melihat
ayahnya melambai memanggilnya. Buru-buru ia mendekat.
“Ada apa, Ayah?”
“Nanti kamu antar ayah ke Abah Hadi. Ayah mesti sowan.
Mesti berterima kasih. Ayah yakin berkat minuman Abah Hadi itulah adik bisa
lulus.”
“Abah Hadi memang benar-benar guru sejati ayah..”
Umar cepat-cepat mengangguk. Bukan mengiyakan, tetapi lebih untuk
menyembunyikan kegugupannya. Tiba-tiba ia ingat ketika mengambil minuman dari Abah
Hadi sebagaimana disuruh ayahnya. Ia berharap adiknya tak lulus, makanya
minuman dari Abah Hadi itu ia minum sendiri. Sementara minuman yang dia berikan
pada pada adiknya hanyalah minuman yang ia beli di pinggir jalan.
Sidoarjo,
2017
Guru Sejati
4/
5
Oleh
Syaf