Friday, 17 November 2017

Guru Sejati

Guru Sejati
Ciptaan: Syafiuddin


Guru Sejati


Suara orang itu mengeras nyaris seperti auman singa, sementara wajahnya memerah seakan darah dalam kepalanya ingin keluar, matanya terbelalak seolah melihat malaikat maut berdiri di hadapannya, mulutnya terbuka lebar, seakan ada yang mencekik lehernya dan mencengkram rahangnya. Sudah lebih sembilan jam ia mengerang kesakitan. Orang-orang yakin: dia terkena sihir dan hanya kematian yang sanggup menyelamatkannya.

Abah Hadi, yang dipanggil salah seorang sesepuh warga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di tengah pekarangan itu. Keramaian yang mencemaskan itu membuat suasana sore itu semakin mencekam. Abah Hadi dengan tenang mendekati tubuh orang itu, Abah Hadi lalu membacakan satu kalimat Basmalah kemudian beliau tiupkan di segelas minuman, kemudian beliau meminumkannya ke orang itu. Menurut orang-orang yang melihat kejadian itu sesaat setelah Abah Hadi memberikan minuman ke orang itu, sekujur badan orang itu terguncang hebat seperti dikejutkan oleh aliran listik. Lalu, cairan merah kekuningan berbau amis keluar dari hidung dan telinganya. Dari bawah badannya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Orang itu mengerang panjang. Abah Hadi hanya mengangguk ke arah orang-orang yang menyaksikan.”Biarkan dia beristirahat.”

Keesokan harinya, orang itu sudah sehat bugar.

Kisah itu hanyalah salah satu cerita yang sudah Umar dengar dari ayahnya dan beberapa orang, dan masih banyak lagi kisah tentang Abah Hadi yang di terkadang membuat Umar melamun berjam- jam hanya untuk mengingat kisah-kisah Abah Hadi. Umar suka membayangkan kisah-kisah Abah Hadi dengan dramatis layaknya adegan di film. Ayah umar adalah salah satu murid Abah Hadi, setiap beberapa hari sekali, Abah Hadi mengadakan sebuah pengajian dirumahnya dengan para jama’ahnya. Di dalam pengajiannya Abah Hadi selalu berpakaian sederhana, perawakannya yang kurus, berkulit coklat agak gelap, bersarung komprang, serta baju model kemeja warna terang, membuat penampilannya sama sekali tidak meyakinkan sebagai seorang kiai yang kharismatik. Tapi kesederhanaannya itulah yang justru membuat ia terlihat lebih berwibawa. Dan ini yang kemudian membuat Umar terkesan: meskipun Abah Hadi jarang mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, nasihatnya selalu disimak dan dipatuhi oleh muridnya. Bukan kiai yang suka mengobral ayat, Abah Hadi ialah sosok guru sejati, begitu komentar orang-orang. “Tak perlu sebentar-bentar mengutip ayat, untuk menjadi bijak.” ujar Abah Hadi, pada pengajian yang sempat Umar ikuti bersama ayahnya.

Pernah suatu ketika, Umar bergumam di dalam hatinya ketika ia melihat beliau pertama kalinya.”Ternyata Abah Hadi sama sekali tidak seperti kebanyakan kiai sekarang yang sering di televisi, yang selalu berpakaian modis atau bersurban putih.”
“Hehehe, saya ini memang orang biasa bahkan sebenarnya bukan kiai.” Abah Hadi tertawa terkekeh, sambil melirik Umar. Langsung membuat Umar tertunduk. Ia semakin yakin, Bahwa Abah Hadi memang bisa membaca yang dipendam dalam hati.

***


Sore itu, Umar melihat wajah ayahnya sedikit gugup,” Cepat kamu ke rumah Abah Hadi...”Wajah ayahnya yang tidak bisa menyembunyikan kegugupannya membuat Umar semakin bingung.”Ayo cepat, besok pagi adikmu sudah mulai ujian tes di Universitasnya, Abah Hadi mau memberi adik kamu minuman. Ayah seharusnya mengambil itu sekarang, tapi Ayah harus ke rumah nenek. Jangan sampai lupa, kamu ambil sekarang. Setelah maghrib nanti, adik kamu harus sudah minum itu. Jangan lupa!”

Mendengar ayahnya mengucapkan ‘jangan lupa’ sampai dua kali dan bernada tegas, Umar mengerti, persoalan minuman itu amat penting bagi ayahnya. Sejak adiknya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa,  ayahnya memang jadi terlihat gampang tegang. Ia sebenarnya juga tak terlalu setuju ketika Nayla adiknya  mulai ingin menjadi mahasiswa di bangku perkuliahan. “Buat apa sih jadi Mahasiswa, toh nantinya juga ujung-ujungnya bingung cari duit.”katanya waktu itu.”Lebih enak jadi pengusaha kan.?”

“Sekarang ini lulusan SMA saja tak cukup untuk cari pekerjaan,” jawab ayahnya. “Kamu tahu, jadi pengusaha kalau tidak dekat dengan partai juga sulit dapat proyek. Tidak bakalan dapat bagian. Semua politikus itu sudah melebihi pengusaha cara berpikirnya. Mereka hanya berpikir untung, untung dan untung. Mereka harus dapat bagian untuk setiap proyek yang mereka anggarkan. Proyek belum berjalan, mereka harus diberi persekot di depan. Sementara keuntungan pengusaha yang makin sedikit juga mesti dialokasikan buat setor ke partai. Kalau tidak, ya tidak bakal bisa menang.”

Terus terang, itu semua yang tak terlalu membuat Umar suka. Ia sempat bilang, “Kenapa sih Nayla mesti mendaftarkan diri jadi mahasiswa segala? Nanti malah repot….”

“Kamu jangan khawatir Umar,” jawab ayahnya sambil tersenyum. “Ayah ini hanya ingin supaya adik kamu bisa jadi orang yang berpendidikan tinggi. Banyak anak-anak yang meminta untuk menjadi mahasiswa, tapi orang tuanya tak mendukung. Yah, ayah ini ibaratnya hanya menjalankan amanah. Kalau nanti Nayla berhasil lulus tes, kan kamu juga ikut senang. Nayla nanti bisa ajari kamu cara menjadi pengusaha yang sukses...”

Ayah Umar hanya tertawa pelan. “Kamu tenang saja. Adik kamu mau mendaftar jadi mahasiswa begini ya setelah minta nasehat Abah Hadi kok. Beliau memberi restu. Kalau tidak, ya ayah tidak berani. Nanti, sehari menjelang tes pendaftaran, Abah Hadi akan memberi Nayla minuman.”

Minuman itulah yang harus segera diambil oleh Umar.

                                                                          ***


Beberapa minggu kemudian, hasil tes ujian pendaftaran Nayla diumumkan. Sedangkan Umar yang terlihat bengong ketika tes ujian sudah resmi diumumkan: Nayla berhasil lulus tes menjadi mahasiswa! Suasana rumah hari itu dipenuhi sukacita kebahagiaan. Ali adik laki-laki Umar yang masih SD, bahkan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya dengan berlarian teriak-teriak keliling halaman, “Yeaah, akhirnya Mbak jadi mahasiswa! Mahasiswa!!” Ibu dan ayah Umar sujud syukur. Puluhan tetangga bergiliran datang memberi selamat. Ibu dan ayah Umar terlihat selalu tersenyum menyambut setiap ucapan.

“Kenapa Mas Umar bengong begitu?” Ali menepuk pundak kakaknya. Membuat Umar tergeragap.
 “Mas tidak senang mbak Nayla jadi mahasiswa?” Tanya Ali.

Umar hanya tersenyum. Ia bukan tak suka adiknya berhasil lulus tes. Ia hanya heran, kenapa adiknya bisa lulus?! Umar melihat ayahnya melambai memanggilnya. Buru-buru ia mendekat.

“Ada apa, Ayah?”

“Nanti kamu antar ayah ke Abah Hadi. Ayah mesti sowan. Mesti berterima kasih. Ayah yakin berkat minuman Abah Hadi itulah adik bisa lulus.”

“Abah Hadi memang benar-benar guru sejati ayah..”

Umar cepat-cepat mengangguk. Bukan mengiyakan, tetapi lebih untuk menyembunyikan kegugupannya. Tiba-tiba ia ingat ketika mengambil minuman dari Abah Hadi sebagaimana disuruh ayahnya. Ia berharap adiknya tak lulus, makanya minuman dari Abah Hadi itu ia minum sendiri. Sementara minuman yang dia berikan pada pada adiknya hanyalah minuman yang ia beli di pinggir jalan.






                                                                                                                        Sidoarjo, 2017






Related Posts

Guru Sejati
4/ 5
Oleh