Monday, 21 August 2017

INSOMNIA

INSOMNIA
KANTUK adalah kutukan. Tidur adalah ancaman. Ia tak pernah lagi merasa tenang setiap matanya hendak terpejam sejak istri dan dua anaknya mati mengenaskan digorok dan dibacok rampok. Ia yang sedang di luar kota ditelepon tetangga, dan dalam bus matanya terus terjaga selama enam belas jam perjalanan pulang. Kepalanya penuh jeritan anaknya. Bahkan setelah dua hari penguburan masih saja ia mendengar jeritan itu. Ia terus melihat darah menggenangi lantai rumah. Sepanjang malam ia terus berjaga, duduk di kursi menatap pintu rumah, karena yakin para perampok itu akan datang lagi untuk membunuhnya. Pisau belati selalu tak jauh dari jangkauannya.

Kawan dan rekan sekantor menasihatinya untuk istirahat. Kamu sudah seperti mayat hidup, kata mereka. Tidurlah.

Tapi ia tak mau menyerah, meski tubuh telah begitu lelah. Tetap tak mau takluk oleh kantuk. Bergelas-gelas kopi. Segala obat yang bisa membuatnya tetap terjaga. Lampu selalu ia nyalakan. Atau ia pergi keluyuran menyusuri jalanan agar tak bosan. Belati terselip di pinggang. Di ujung gang seseorang terlihat berdiri menghadang. Ia bersiap menyerang. Ternyata itu sebuah tiang. Kota telah penuh bandit. Setiap saat para pembunuh itu akan menyerangnya. Sebelum bandit-bandit itu lenyap, tidur adalah neraka. Sebuah bayangan berkelebat. Ia segera mengejarnya. Tak ada siapa-siapa.

Berminggu-minggu tak tidur telah membuatnya menjadi makhluk kumal dengan mata merah cekung, hingga siapa pun tak merasa nyaman di dekatnya. Tapi ia sudah mulai terbiasa sendirian. Mengurung diri dalam kamar bersama kecemasannya. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Dan para kenalan mulai melupakannya. Sampai tetangga yang mencium bau busuk segera menelepon polisi.

Ia ditemukan mati meringkuk dalam kelopak matanya.

Krembung, April 2017

Related Posts

INSOMNIA
4/ 5
Oleh